Duka

woman, alone, crowd-2666433.jpg

Satu hal yang paling berat dalam perjalanan penyembuhan diri buatku adalah tahap berduka. Berduka saat menyadari bahwa luka yang ada pada diri kontribusi paling besarnya adalah ketidaksempurnaan dalam pengasuhan saat kita masih kecil hingga remaja. Banyak kepercayaan yang terlanjur mengakar karena salah persepsi terhadap perlakuan pengasuh (orang tua/keluarga/dll) meskipun hal itu dilakukan karena rasa cinta. Saat menyadari hal ini dan melalui amarah yang cukup panjang, rasa cinta tanpa syarat pada orang terdekat mulai muncul seiring dengan rasa duka. Duka karena mau tidak mau, seleksi alam sedang berlangsung. Diri sudah beberapa langkah mendekat kepada versi otentik diri sejatinya, sehingga apa-apa yang tidak selaras lagi akan menjauh bahkan hilang. Misalnya hubungan dengan orang tua, teman, keluarga, kerabat, siapapun, akan terasa berbeda. Beberapa hubungan akan bertahan dengan bentuk berbeda, dan lainnya mungkin harus direlakan dengan penuh cinta demi kebaikan dan pertumbuhan bersama. Bukan karena merasa lebih baik dari orang lain, tapi karena frekuensi sudah tidak cocok lagi untuk ruang dan waktu ini.

Dalam fase berduka, aku sering diingatkan jangan sampai menyalahkan orang lain yang menyebabkan luka, karena bagaimanapun mereka tetap mencintaiku dengan segala keterbatasannya sebagai manusia yang mungkin juga menyimpan banyak luka. Saat diingatkan seperti ini (baik langsung maupun saat terpapar konten edukasi mengenai ini) sering aku dapati diri dalam dua keadaan: defensif atau menyalahkan diri. Defensif karena merasa ini bagian dari perjalanan yang harus dilewati, begitupun amarah yang muncul saat menyadari penyebab luka, sehingga aku tidak suka disalahkan. Tapi di waktu lain aku menyalahkan diri karena merasa jadi orang jahat yang sulit berlapang dada dan berdosa karena sempat merasakan amarah itu.

Tapi aku berusaha melihat dari kaca mata lain. Bagaimana caranya agar dalam rasa duka setelah amarah berlalu ini aku tetap bisa melihat versi otentik orang-orang terdekatku dengan hati mereka yang penuh cinta untukku namun juga memberi cinta untuk diriku dengan melindungi energiku sendiri? Apakah maksudnya untuk tetap melihat orang-orang terdekat dengan penuh cinta bukan berarti harus mampu berada di sekitar mereka terus-menerus? Bukankah juga bentuk cinta, jika kita melindungi diri dari energi yang tidak selaras? Bukankah juga bentuk cinta untuk menjaga keterhubungan yang murni dengan jiwa-jiwa yang kita cintai dengan melindungi diri dari paparan sisi gelap yang menyelubunginya?

Hal ini juga masih sulit aku terima. Meski true self bilang demikian, egoku masih sering berusaha mengambil kendali agar aku tetap memaksakan dekat secara fisik dengan orang-orang terdekatku dan masih ada kecenderungan untuk nurut aja apa kata mereka agar aku diterima meski dalam hati meradang. Tapi aku sekuat tenaga menguatkan akar, agar aku tidak terjerumus lagi ke pola yang sama. Aku berusaha sebesar apapun nervous systemku tersenggol, aku tetap sabar memprosesnya dan tidak bereaksi apapun hingga tenang dan tidak memberi batas waktu untuk memaksakan emosi cepat-cepat pergi.

Aku juga berusaha untuk mengontrol kapan mau ngegas kapan ngerem dan melepaskan dorongan untuk harus mengatakan sesuatu untuk menjelaskan diriku.

Namun selalu percaya bahwa semua orang punya perjalanannya masing-masing, dan jika konsep ruang waktu adalah ilusi dalam kaca mata energi, sebenarnya kita semua satu dan ada dalam perjalanan yang sama. Biarkan cinta menyatukan terlepas dari apakah secara fisik masih terhubung atau tidak.

Seperti quotes yang baru kudengar kemarin: I love these people, but I love me more.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart