Aku amati beberapa pemikiran orang-orang yang dibagikan di media sosial tentang pola parenting generasi baby boomer dan dampaknya ke generasi setelahnya alias generasi millenials dan Z. Secara umum pandangan ini terbagi dua: kubu menjabarkan-mengkritisi; dan kubu membenarkan-memaklumi. Sebenarnya kubu pertama juga ujung-ujungnya memaklumi, tapi ada perjalanan menuju ke sana yang lebih panjang. Ada satu hal yang menggangguku di sini: orang-orang yang bisa langsung memaklumi cenderung menyalahkan orang-orang yang membahas kekeliruan pola asuh orang tuanya (keliru kalau dilihat dari sudut pandang kita, generasi yang baru menjadi orang tua, di era sekarang).
Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan.
1. Untuk berusaha menjadi orang tua yang baik, kita harus paham apa sifat/sikap/kebiasaan gak baik dari diri kita. Dan untuk paham hal itu, kita harus paham akar masalah yang jadi penyebabnya.
Kemungkinan besar hal itu muncul akibat pola asuh kita di masa kecil. Untuk tau, tentu kita perlu menjabarkan apa-apa aja kekeliruan pola asuh itu, yang mungkin sering disalah artikan “nyalah-nyalahin orang tua”.
Membicarakan hal ini memang gak nyaman. Bukan hanya karena stigma yang udah tertanam di kepala kita kalau membicarakan hal “kurang baik” tentang orang tua adalah dosa, tapi juga mungkin ada rasa takut dalam diri mengakui kenyataan itu. Tapi, untuk memperbaiki masalah yang ada di permukaan tentu kita harus menyelam jauh ke dalam diri. Mencari akar masalah, mengetahui, memahami, menerima, baru bisa memperbaiki. Kalau belum apa-apa kita udah resisten dan bikin label “durhaka” sama orang-orang yang mencari dan berbicara tentang ini, gimana kita mau berubah?
Memang, gak selalu penyebabnya adalah trauma masa kecil akibat pola asuh orang tua. Bisa jadi kehidupan di sekolah, lingkungan bertetangga, atau bahkan kesalahpahaman kita tentang tindakan/reaksi/perilaku orang tua kepada kita. Misalnya, orang tua kita lagi tenggelam di pikirannya sendiri saat kita pamerin gambar yang kita buat susah payah, lalu orang tua gak ngeh kita nunjukin gambar itu, terus kita gak merasa diapresiasi. Padahal orang tua gak maksud gitu, tapi sedihnya kebawa sampe kita besar di kehidupan sehari-hari, misalnya gak pede nunjukin hasil karya. Mungkin kita gak ingat lagi sebabnya, tapi udah tertanam di bawah sadar dan muncul di perilaku sehari-hari jadi gak pedean. Hal-hal kayak gini kan harus diselesaikan. Caranya cuma satu: selami diri pelan-pelan, lapis-per-lapis, lalu diakui, dan kasi tau ke diri kalo karyamu berharga, dan reaksi orang lain sama sekali gak menurunkan keberhargaan kamu.
2. Saat pertama kali kita tau kita adalah “korban”, wajar reaksi pertama adalah marah.
Misalnya ada orang yang bentak kamu karena kamu dituduh salah untuk hal yang gak kamu pahami, kira-kira kamu marah gak? Masuk akal gak kalo kamu bisa langsung maafin dan memaklumi saat itu juga? Kita bukan Nabi yang se pure itu jiwanya sampe apapun gak nembus pertahanan dirinya. Kita manusia biasa, yang emosinya banyak layer. Kalo digituin pasti muncul kaget, marah, gak terima, mulai tenang, baru berpikir jernih, “oh, dia gak tau kalau aku belum paham, aku bisa jelasin pelan-pelan sambil coba memahami”, misalnya. Sama juga saat orang coba cari akar masalah dan ketauan kalau dia punya trauma berat waktu kecil sering dikuhum lewat kekerasan fisik atau verbal sama orang tuanya, sampe ngaruh ke perilaku dia saat dewasa, misalnya jadi sering blank saat belajar. Wajar reaksinya di awal-awal marah, karena merasa hal pahit yang dia alami akibat orang lain, dan orang lain itu adalah orang tuanya, pasti marah, sedih, kesal, dan kecewanya lebih besar menerima kenyataan ini. Pasti marah. Tapi percayalah, marah ini juga ada masanya, dan harus dilalui. Rasanya berat dan sama sekali gak nyaman.
Yang dilakukan hanya bisa sabar sampai rasa ini pelan-pelan mereda, apalagi orang tua adalah orang yang sangat kita sayangi dan penting di hidup kita. Lalu kita bisa mulai berpikir jernih dan memahami kenapa semua ini terjadi. Oh, mungkin orang tua kita juga membawa traumanya di masa lalu. Orang tua kita juga manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Mereka punya keterbatasan juga dari segi ilmu atau kemampuan untuk meregulasi emosinya sendiri. Lagipula mereka pasti udah mengupayakan yang terbaik untuk mendidik kita, anak-anaknya. Apapun yang terjadi di masa lalu, orang tua kita punya cinta yang sangat besar untuk kita, dan itu yang paling penting. Perjalanan orang-orang yang punya trauma masa kecil dari mengenali sampai bisa rilis gak mudah dan panjang, jadi jangan menghakimi orang-orang ini anak durhaka. Justru dia sedang berusaha untuk gak jadi anak durhaka, dengan melalui proses pahit ini.
3. Gak semua orang punya pengalaman pahit masa kecil, jadi mungkin gak relate sama pembicaraan tentang kekeliruan pola asuh generasi sebelumnya. Tapi meski begitu, please, kasi compassion. Bukan malah nuduh orang-orang ini durhaka.
Memang kadang nada ngomongnya, cara penyampaian tulisannya, terkesan kayak gitu. Anggap aja itu fase awal yang dia alami setelah tau apa yang salah dengan dirinya selama ini. Jujur, sebetulnya aku sekarang yang insyaAllah udah melewati fase marah itu, juga mulai terganggu sama orang-orang yang masih marah-marah dalam hati atau lewat postingan, apalagi sampe berani ngomong langsung ke orang tuanya. Cuman aku kasitau dan ingatin diriku, aku juga pernah ada di titik itu, dan insyaAllah akan lewat masanya, dan bisa menyayangi orang tua dengan jauh lebih baik. Salah satu yang pernah aku coba adalah bikin unsent letter. Tulis apa yang pingin disampein ke orang tua atau siapapun yang pernah kamu anggap bikin luka di masa kecilmu. Jangan dikirim atau dikasih. Ini tujuannya untuk kamu mengenal apa aja trauma kamu dan cara berpikir kamu saat dulu waktu kejadian dari sudut pandangmu saat dewasa sekarang. Mungkin gak cukup sekali, bisa jadi kamu tulis perkara yang sama berulang kali, dan itu bagus buat kamu semakin mengerti dan merilis rasa sakit kamu dan cari solusi untuk mengubah pola berulang kurang baik/nyaman yang ada pada dirimu. Gak cuma untuk trauma masa kecil, untuk orang lain yang kamu temui saat dewasapun kamu bisa terapkan unsent letter ini.
4. Apapun yang terjadi antara kamu dan orang tua, sejatinya tanpa disuruh siapapun, Allah udah kasi rasa sayang dan hormat yang teramat-sangat besar antara kamu dan orang tua.
Dengan menjalani proses gak nyaman ini, dengan mengakui bahwa kamu punya luka karena orang tua kamu, dengan melepas rasa sakitnya, insyaAllah gak ada lagi penghalang rasa sayang antara kamu dan orang tua. Bayangkan rasa sayang itu terhalang oleh rasa sakit itu. Sembuhkan dulu lukanya, baru bisa rasain lagi sayang yang tak terhingga untuk dan dari orang tua 🙂
Intinya dari semua ini adalah: give compassion, not judgement.