
Betul kata orang-orang kalo dunia ini dijalankan dengan cara laki-laki. Sayangnya, kehidupan lahir dari perempuan, yang juga punya misi jiwa masing-masing, yg jalan dan timeline-nya berbeda sama sekali dengan laki-laki.
Contoh besarnya, perempuan berpotensi suatu hari bisa punya anak di usia yang produktif. Catat: produktif. Di saat laki-laki timeline hidupnya lurus (sekolah-kerja-bangun karier-mapan), perempuan di USIA PRODUKTIFNYA punya anak yang harus dibesarkan, sehingga mau tidak mau harus slow down dalam berkarier. Betul, memang bisa dikejar semua dalam satu waktu (kata para feminis kenapa perempuan harus memilih?) tapi konsekuensinya coba dirasa di tubuh masing-masing, apa rasanya punya anak kecil sekalian mengejar semua pencapaian? Tentunya mungkin-mungkin aja dengan support system memadai, tapi gak jarang juga the only support system is yourself. Amat sangat berat. Hormon terganggu sampai siklus menstruasi tidak jelas adalah sinyal umum yang terjadi sebagai tanda badan teriak, tapi antara kita mengabaikan atau merasa tidak ada pilihan lain selain teruskan perjuangan ini.
Kadang-kadang aku mikir, bahkan usia produktif perempuan tu jauh berbeda dari laki-laki. Coba perhatikan sekitar, kapan perempuan bisa melejit kariernya? Saat dia belum menikah, dan saat anaknya udah agak gede. Betapa perempuan bersinar di usia 40 tahun lebih. Kekuatannya optimum untuk berkarya. Tapi ada rentang waktu di tengah-tengah yg jadi “kosong” untuk karier saat anak masi kecil. Karena saat perempuan dan pasangannya memutuskan mau punya anak, otomatis tanggung jawab besar dipikul untuk membesarkan anaknya, dan ini butuh energi sekampung. Tapi dunia modern ini isi kampungnya cuma orang tua dan si anak, kadang (jika ada support system memadai) bekerja di luar rumah justru terasa jadi jeda untuk si ibu dari hiruk pikuk menjadi orang tua. Kekurangan support system juga bikin ibu jadi merasa terjebak: antara gak kuat terus-terusan menghadapi anak sendiri, dan jadi kepingin nerusin panggilan jiwa untuk menuntaskan misi di kehidupan ini sekarang juga, karena takut keburu “expired” usianya, padahal manusia makin dewasa—harusnya—makin matang yakan. Sedih sekali program busuk yang ditanamkan elit-gembel-so-they-say, bahwa perempuan harus ketakutan kehilangan kesempatan di usia akhir 20 hingga awal 40annya untuk melejit berkarya untuk dunia, padahal waktunya untuk berlari sekencang-kencangnya, bersinar seterang-terangnya, adalah di usia yang “matang”.
Seandainya aja dunia gak diatur dengan cara patriarki, gak ada tu perempuan yang ketakutan kariernya terhambat atau kehilangan pekerjaan saat dia mesti slow down di masa-masa punya anak kecil. Dia bisa merasa aman membesarkan anaknya sampai bisa mandiri dan dilepas, dan dia bisa lari kencang lagi dan menjalankan misinya yang lain selain jadi orang tua. Timeline perempuan berbeda dari laki-laki yang overall linier. Perempuan banyak naik-turunnya. Perempuan perlu diijinkan untuk menjalani hidup sesuai timeline-nya demi peradaban. Perempuan sangat capable kok di usia matang. Justru memaksakan perempuan beroperasi saat dia mesti slow down dari dunia luar untuk membesarkan anak, dunia makin chaos. Energi yg keluar gila-gilaan. Sudah habis duluan tubuh, jiwa, dan pikiran perempuan jika energinya dipakai semua dalam satu waktu, yang seharusnya bisa dipakai di waktu yang lain. Yang gak sanggup disanggup-sanggupin. Betul kata feminis: perempuan tidak harus memilih. Perempuan bisa jadi semuanya. Tapi, sangat kejam kalau semuanya itu maksudnya dalam satu waktu~
Tapi dunia emang disetel sedemikian rupa agar berjalan kayak gini yakan. Sang ibu merasa “kalo gak sekarang kapan lagi?” dan akhirnya cari uang karena kebutuhan atau mengejar mimpi saat anak masi harus dalam pengasuhannya, ujung-ujungnya jadi lapak jualan sekolah-sekolah mahal, agar darah ibu makin terkuras habis untuk bekerja, mengejar mimpi, dan menyekolahkan anak di satu waktu. Asli, siapapun sebenarnya gak mampu melakukan ini, tapi lagi-lagi “ya mau gimana lagi?”
(Gak ada benar salah di tiap keputusan yg kita ambil. Semua ada konsekuensinya.)