
Kondisi sesuai fitrah sebenarnya belum tercapai selama kita masih bisa memberi label terhadap kondisi itu.
Kembali pertanyaan tentang “apa itu fitrah?” mampir di kepalaku.
Sejak kecil hingga besar, boro-boro pertanyaan ini mampir. Fitrah hanya istilah yang melekat dengan momen Idul Fitri yang dimaknai sebagai kondisi bayi yang baru lahir, masih bersih dari dosa. Tapi sejak bertemu Human Design (untuk yang belum familiar benda apakah itu, bisa dibaca di sini) aku punya gambaran seperti apa bentuk fitrah itu. Karena merasa cukup bertransformasi sejak kenal Human Design, aku coba membantu orang lain dengan membacakan Human Design-nya dan menjadikannya servis berbayar. Aku sempat merasa, sepertinya servis ini yang selaras dengan fitrahku, sehingga bisa membantu orang lain mengenal dirinya dengan cara sistematis yang masih bersinggungan dengan sains seperti Human Design (meski aku paham bahwa tidak semua orang mau menerima bagian ancient wisdom yang sulit dibuktikan secara ilmiah). Tapi lama-kelamaan aku mulai merasa kosong, pelan-pelan seiring perasaan ini klien juga makin sepi, dan aku mulai merasa bingung dan kekurangan pemasukan. Aku mulai merasa seperti robot lagi: takut tidak berpenghasilan, tapi aku kehilangan makna dengan Human Design sendiri. Apa yang salah?
Hingga akhir tahun lalu, aku masih lumayan aktif memberi servis Human Design dan memberi konten edukasi di Instagram @tanyakedalam tentang Human Design. Aku masih “terbeli” dengan konten edukasi tentang spiritualitas dan penyembuhan diri yang mayoritas adalah berupa ide dan konsep, masih mengambang konkretnya seperti apa, tapi masih terasa beresonansi dengan sesuatu dalam diri. Tapi, tanpa kusadari terbuka lapisan tabir lain yang menyelubungi pandanganku sejak pertengahan tahun: aku mulai baca novel lagi setelah bertahun-tahun aku tidak pernah menikmatinya. Sejak saat itu, mataku terbuka jauh, jauh lebih lebar tentang apa itu penyembuhan dan seperti apa bentuk konkret penerimaan yang menjadi kunci penyembuhan itu sendiri.
Tentang takdir dan cobaan
Novel yang bagus (yang ditulis oleh penulis hebat yang kesadaran spiritualnya kita tau sangat baik, sereceh dan senyetrik apapun tampilanya) menampilkan berbagai peristiwa dan tokoh “nyata” dalam bentuk fiksi yang bisa membuat kita bercermin. Dari sana, kita bisa melihat dan merasakan, bahwa peristiwa pahit adalah kenyataan yang tidak bisa disangkal. Pahit ya memang pahit. Penyebabnya? Tidak selalu karena dia memiliki trauma atau harus membayar karma masa lalu. Bisa jadi itu karena ada pelajaran yang perlu dia lampaui, sehingga harus ada ujiannya. Di komunitas spiritual, entah mengapa terlalu anti dengan kenyataan bahwa Tuhan memberikan ujian pada hamba-Nya, seakan ujian itu tidak ada dan hanya konsekuensi dari yang terjadi di masa lalu. Harry Potter, misalnya, jadi yatim piatu, tinggal di rumah bibinya yang kejam, selama enam tahun masa sekolahnya selalu dilabeli “anak biasa saja yang selalu mujur dapat pertolongan di masa sulit, kalau tidak ada orang yang mendukung mustahil dia berhasil menang turnamen Triwizard, menghancurkan Hurcrux, dan lain-lain”, mengalami banyak kehilangan dan kehancuran, hanya untuk membuatnya tau bahwa dia punya kemampuan memimpin, berpikir cepat, jago bertarung, dan hati yang bersih di atas rata-rata.
Tidak ada satupun hal yang kita benar-benar tau sebabnya. Hanya Allah Yang Maha Tahu. Kita hanya dibukakan sedikit pengetahuan tentang sebabnya. Buatku, novel yang bagus, yang ditulis oleh orang yang tidak mengenal agama sekalipun, selalu mengingatkan kita tentang hal esensial yang enggan diamini banyak orang tentang Tuhan dan kehidupan itu sendiri, meski orang-orang itu mengaku spiritualnya bagus, langsung atau tidak langsung.
Tentang dualitas
Orang baik dan orang jahat itu memang ada di dunia ini sebagai orkestra yang bermain dengan keharmoni, bahkan bukan antara satu dengan yang lain, tetapi antara diri dan diri sendiri. Tidak ada yang 100% baik atau 100% jahat. Tapi soal dunia yang terbentuk seperti saat ini, kita tidak bisa menampik bahwa dunia sudah dirancang sedemikian rupa agar dualitas ini menjadi terang benderang sekatnya, bukannya menjadi harmoni, tapi beroperasi sendiri-sendiri dan tidak untuk menyejahterakan semua orang. Orang kecil hanya dibuat sebagai figuran, pemeran utamanya pemerintah, dan dikontrol oleh penguasa dunia sejak awal.
Contohnya ditunjukkan di novel 1984. Di sini menggambarkan dengan jelas bahwa orang-orang yang bekerja dengan pemerintah itu dikontrol 24/7, tidak boleh berekspresi sama sekali bahkan hanya untuk menulis jurnal, bahasa direduksi, tergantung penuh dengan teknologi, bermuka dan bertubuh jelek karena tidak olah raga dan hanya mengonsumsi makanan buatan. Sedangkan orang-orang kecil masih bisa berekspresi dan merasa bebas, meski mereka hanya tinggal di gang-gang kotor, tapi kebebasan mereka (kita) lah kunci perubahan. Di sini juga diceritakan bagaimana negara-negara tertentu memang dibuat sejak awal selalu berkonflik, juga tentang paradoks Bumi sudah menyiapkan segala-galanya bahkan tanpa bekerja keras kita sudah berkecukupan (abundance) tetapi mengapa orang kecil masih miskin. Ini memang novel, tapi bukankah ini gambaran nyata keadaan saat ini? Tentang perang, tidak selesai dengan meditasi memproteksi diri dan menaikkan frekuensi untuk sesama. Tentang kemiskinan akibat kapitalisme, tidak selesai dengan visualisasi tentang keberlimpahan, atau keluar dari corporate job, atau hidup off grid, apalagi bekerja mood-mood-an. Tentang bagaimana orang-orang kecil teriak bersuara hanya akan dianggap angin lalu dan hanya sebagai “nyanyian latar” di drama yang dimainkan oleh orang-orang besar. Iya, memang solusi nyatanya adalah untuk sadar dalam tiap keputusan yang kita ambil dan tidak membiarkan diri beroperasi tanpa bertanya (autopilot), tapi lantas hal ini bisa kita harapkan berakhir “baik” dengan baik versi yang kita tau? Belum tentu 🙂 Bahwa orang-orang yang berkuasa selalu berusaha mempertegas batas antara baik dan buruk, atas dan bawah, tinggi dan rendah, mulia dan hina versi mereka dan mengotak-ngotakkannya, akan selalu menjadi agenda mereka.
Tentang sisi tergelap diri
Novel yang bagus selalu memunculkan pikiran, hasrat, dan emosi terdalam dari tokohnya bahkan yang paling gelap dan kotor sekalipun dengan bahasa yang sangat deksriptif, sampai-sampai kita merasa itu menggambarkan sisi gelap diri kita juga dengan bahasa yang terlalu tepat. Membaca novel membantu kita mengakui sisi gelap ini dengan terbuka dan melihatnya apa adanya. Tanpa membaca novel, sulit sekali menemukan bahasa yang tepat dalam mendeskripsikan perasaan yang gelap: yang ada malah mengarang-ngarang bahkan kadang berujung pada membohongi diri sendiri. Maka, membaca novel adalah jalan yang paling jitu buatku saat ini untuk melihat kehidupan dari berbagai sisi dan di masa-masa yang berbeda. Karma leluhur, trauma lintas generasi, program yang turun-temurun diwariskan pada kita, juga bisa kita urai dengan membaca novel, terutama novel-novel jadul berbau sejarah.
Contohnya saat aku membaca Max Havelaar atau Gadis Pantai, aku terasa dari mana rasa benci, sungkan berlebihan, rendah diri, keangkuhan, kebodohan, pola pikir keliru, bahkan kegigihan berjuang yang ada di dalam diri berasal. Dengan membacanya, aku jadi terlalu malu bahkan untuk menunjuk keluar meski di dalam hati, tentang kekesalanku pada kelakuan orang-orang, karena ternyata yang kukesalkan adalah bagian dari diriku sendiri. Sehingga, membaca novel sebenarnya sangat membantu kita untuk rendah hati dan merasa setara dengan siapapun, karena kita tau bahwa tidak ada orang yang benar-benar bersih atau benar-benar kotor. Dengan menyadari dan mengakui ini sebagai bagian dari diri kita, lebih mudah pula kita melihat sisi terangnya. Kita juga lebih mudah melihat dan menerima siapapun yang kita temui, langsung atau tidak langsung, apa adanya dan mampu berbuat dengan sadar sesuai kadar.
Tentang diri otentik
Lalu, apa hubungannya semua ini dengan fitrah?
Buatku, fitrah bukan lagi sesuatu yang bisa kita lekatkan dengan label seperti yang dideskripsikan oleh birth chart manapun, termasuk Human Design. Human Design bisa dibacakan atau kita baca sendiri apa adanya dulu tanpa harus kita paksakan masuk dan cocok dengan kehidupan kita saat ini. Human Design bisa kita jadikan bahan untuk eksperimen. Tidak bisa disangkal bahwa Human Design banyak membantuku berkaca dan sadar dengan tubuh, kepribadian, dan bawah sadar diri saat beroperasi jauh dari energetic blue print (yang kubaca di birth chart dan memang cocok dengan tubuh di segala lapisan). Tapi akan menjadi keliru jika justru kita jadikan Human Design atau bacaan apapun (termasuk bermacam personality test) sebagai otoritas baru yang mendikte kita. Biarkan Allah menuntun kita menjadi apapun, lewat peristiwa apapun yang harus terjadi menurut kehendak-Nya, meskipun pada perjalanannya kita harus bergeser dulu dari keadaan ideal kita sesuai energetic blue print. Justru kondisi fitrah adalah, saat kita mampu berserah diri untuk dituntun, diajarkan (lewat pertanyaan dan jawaban yang tidak selalu datang dari arah yang kita sangka sesuai dengan arah pencarian kita), dibersihkan, digerakkan oleh satu-satunya yang berhak menggerakkan kita.
Fitrah, atau diri otentik, bukan lagi sesuatu yang mampu kita usahakan (bukannya aslinya memang kita seperti versi otentik itu?) melainkan konsekuensi tak terhindarkan sebagai hasil dari proses bertanya, menemukan jawaban, mengenali diri, dan berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki.
Dulu, aku sibuk merancang kata-kata hanya untuk mengungkapkan apa yang terasa benar tapi terasa takut kusuarakan secara langsung, face-to-face dengan orang tertentu. Tapi sekarang, tanpa sadar membicarakan kebenaran terasa lebih spontan, tanpa perlu melalui jantungan tidak habis-habis (ngomong ya ngomong aja kalau memang perlu, dan diam ya diam aja kalau gak ada yang perlu diomongin). Gas dan rem lebih terampil kukuasai. Dulu kukira bicara banyak soal healing, Human Design, atau spiritualitas di IG story sudah berupa pengungkapan kebenaran dan otentisitas diri. Tapi ternyata justru buatku tantangan sebenarnya baru dimulai saat aku muak dengan segala teori spiritualitas dan penyembuhan diri yang sangat mengambang dan tidak konkret bentuknya. Justru dengan membaca novel, teori-teori itu ada bentuk jelasnya dan bisa kita jadikan cermin langsung di kehidupan ini, tanpa sibuk lagi bertanya bolak-balik pada healer-nya “maksudnya gimana? Aku harus gimana?”
Beranikah aku jadi orang yang biasa-biasa saja, yang mungkin sesekali membuat kreasi nyata tanpa embel-embel healing atau Human Design yang terungkap gamblang tapi mengawang? Beranikah aku mengungkapkan bahwa I am done with the healing things karena ternyata healing tidak perlu seribet itu tapi sesederhana tarik napas, berdoa, makan enak, bergerak, dan baca novel? Beranikah aku, kalau aku mengungkapkan ini aku akan kehilangan “teman-teman baru” yang kutemui sepanjang “proses healing” itu? Beranikah aku, kalau setelah ini aku dianggap “balik lagi ke kesadaran 3D” hanya karena aku sudah malas membahas perhilingan dengan kata-kata indah maupun pedas yang tidak jelas bentuk konkretnya? Beranikah aku dianggap “balik lagi ke kesadaran 3D” karena di titik ini aku tidak bisa percaya lagi tentang sesuatu selama tidak terbukti nyata dan bekerja di realitaku yang teramati dengan panca indera?
Kali ini kurasa sudah cukup. Sesungguhnya otentik tidak terikat dengan apa-apa, termasuk “aku emang orangnya begini”, kan bisa saja kita sewaktu-waktu berubah. Waktunya mengakui bahwa-setelah sempat ada di berbagai posisi (menghakimi orang lain-meski dalam hati-yang kelihatan tidak berproses dan tenggelam di rutinitas, merasa lebih tau, lebih pantas mengedukasi, merasa healer, life coach, dan sejenisnya adalah pekerjaan impian yang kukagumi berlebihan, ketagihan menjadi detektif diri dan merasa itu kegiatan paling produktif, membacakan birth chart orang lain dan berpenghasilan dari “adalah” sampai sepi sama sekali)-pada akhirnya yang kuperlukan sesederhana jadi yang bener-bener aja deh, gak usah aneh-aneh.
Aku saat ini hanya cocok memaknai lebih dalam ajaran Islam, lebih dalam dari sekedar pengetahuan dan amalan harian yang terasa wajib tapi dangkal pemaknaan, dan melakukan hal yang pasti ada bentuknya saja tapi ada maknanya. Karena sesungguhnya, kemanapun aku melihat (konten spiritualitas, novel, film, serial, orang-orang yang kutemui, bahkan kehidupan secara keseluruhan), ajaran Islam selalu terngiang. Mungkin aku bukan orang relijius, tapi aku sadar bahwa agama Islam adalah jalan yang mampu mengantarkanku pada-Nya (dan kuyakini pula tiap orang punya jalannya masing-masing, selama yang kita tuju adalah Tuhan yang sama, yaitu satu-satunya Tuhan yang meliputi seisi alam semesta <3)