Dilema Lebaran

An array of delicious Mediterranean dishes arranged on a wooden table, perfect for sharing.

Setiap akan menyambut bulan Ramadan, sepatutnya kita bergembira. Karena di momen ini, dalam ajaran Islam, Allah memanggil seluruh orang beriman untuk kembali pada-Nya, utuh secara rohani dan merasakan cinta kasih-Nya, dengan melepaskan kemelekatan pada dunia. Siapa yang tidak bahagia saat datang hilal Ramadan, menyambut undangan Tuhan-Nya untuk kembali bersatu dengan-Nya?

Tapi sangat menyedihkan kenyataannya tidak demikian. Meski dikatakan sangat merugi jika ada orang yang tidak bahagia dengan kedatangan Ramadan, banyak pula yang berpura-pura bahagia menyambut Ramadan karena takut berdosa. Bahkan banyak yang menampakkan keluh-kesah terang-terangan. Semakin mendekat ke momen Idul Fitri/lebaran, semakin banyak yang gelisah, termasuk aku sendiri. Apa yang menggelisahkan?

Aku pribadi cemas menghadapi Ramadan, sederhana karena masalah lambung dan stamina. Jika ada orang yang merasa puasa lebih ringan, lebih mudah mendekat pada Allah, aku justru merasa dipaksa merasakan ketidaknyamanan berada dalam tubuh ini. Aku harus memperhatikan kesehatanku lebih ekstra dibanding hari-hari sebelumnya. Aku tidak termasuk orang yang mampu berkegiatan dengan mulus di bulan puasa, karena otakku lebih off dibanding hari biasa. Aku yang paling tidak suka tidur siang, di bulan puasa sulit menjaga mata tetap terjaga. Ini karena tubuhku membutuhkan tenaga ekstra untuk berpikir, yaitu dari makanan. Kadang-kadang aku merasa seperti bocah baru belajar puasa tiap Ramadan tiba. Ini buatku sebenarnya menjadi berkah, karena aku dipaksa untuk diam dan lebih istirahat di banding hari lainnya. Tapi tidak mengapa, biasanya penyiksaan ini berlangsung di tujuh hingga sepuluh hari pertama saja. Tapi penyiksaan lain menyusul: gelisah lebaran akan tiba.

Aku tau bahwa aku tidak sendiri, jadi biarlah kuganti kata aku menjadi kita dari sini hingga akhir.

Kita, terutama yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga besar, ada rasa kerinduan untuk pulang dan bertemu mereka. Mengingat kembali akar kita. Momen lebaran ini seakan disetel, agar silaturahmi dilakukan borongan di satu waktu, secara kolektif pula. Proses kita “bersih-bersih” tubuh, pikiran, dan jiwa selama Ramadan seakan harus digenapi di momen lebaran ini. Selama Ramadan kita buang racun di tubuh, kita hadapi segala dengki, dendam, sakit hati, dan mental korban lainnya yang kita tunjuk ke muka orang lain secara diam-diam yang sebenarnya cermin diri yang terluka. Lalu kita minta ampun dan memasrahkan diri untuk Allah sembuhkan dari macam-macam penyakit hati ini. Lebaran semestinya menjadi momen kita akhirnya bisa melebur, kembali dalam keadaan suci kepada Tuhan dan menikmati hidangan-Nya berupa sabar, damai, kasih sayang, dan sebagainya, sehingga ringan bertemu kembali dengan sanak saudara dengan hati lapang.

Tapi, jika mengingat lebaran mengapa justru merasa gelisah? Keinginan bertemu keluarga berbenturan dengan keengganan menghadapi wawancara yang memojokkan tentang pilihan-pilihan hidup kita. “kapan lulus? Kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan nambah anak? Kerja di mana sekarang? Kenapa tidak bekerja? Berapa gajinya sebulan? Kenapa malah resign? Kenapa tinggal di sana? Kenapa gak di kampung aja” dan daftar pertanyaan panjang tidak akan ada habisnya jika diteruskan. Oke pertanyaan ini sanggup kita layani jika kita hanya menjawab di satu keluarga. Tapi di lebaran pertama, kita menghadapi mungkin lima sampai sepuluh keluarga lain. Belum habis satu hari di 1 Syawal, energi kehidupan kita yang sudah penuh terisi setelah susah payah merasakan ketidaknyamanan menghadapi busuk-busuk dalam diri selama Ramadan demi pemurnian, tersedot dan bocor, habis tak bersisa. Sangat melelahkan. Sering aku terkapar kelelahan, bahkan semakin bertambah usia, ditambah pula dengan lambung sakit dan kepala berdenyut di 1 Syawal.

Kita mundur sedikit setelah lewat lima belas hari berpuasa. Kegelisahan mulai muncul tentang makanan apa yang perlu dipersiapkan, baju sudah lusuh dan ingin punya setidaknya satu baju baru, belum lagi yang punya anak merasa harus membelikan baju lebaran untuk menyenangkan hatinya. Lalu kita mulai pusing membuka aplikasi e-commerce, mulai membuat daftar kebutuhan untuk menyiapkan suguhan lebaran. Menjelang lebaran, kita mulai sibuk “masak besar”: masakan bersantan dan daging-dagingan pada umumnya, belum lagi penganan ringan penuh gula, terigu, dan lemak jenuh, yang di setiap rumah menyiapkan suguhan yang serupa. Di rumah kita makan itu, ke rumah sanak saudara disuguhkan itu lagi dan didesak untuk memakannya. Kasihan perut, baru istirahat langsung digeber terus menerus dengan makanan berat. Memang kita bisa menolak di satu-dua kali kita disuguhkan. Masalahnya adalah, kita tidak hanya mengunjungi satu rumah dalam satu hari di bulan Syawal: sangat melelahkan.

Soal penganan ringan berupa kue kering juga aneh sekali, setiap rumah template kue keringnya itu-itu lagi, dan jarang sekali disentuh karena kebanyakan orang tidak selera memakannya. Sungguh perilaku mubazir: menyiapkan kue kering hanya untuk pajangan, asal ada saja di ruang tamu. Di rumah, kue kering pasti yang terakhir laku, apalagi di rumah orang lain, enggan kita menyentuhnya. Tapi tetap kita siapkan, dengan dalih biar terasa suasana lebarannya. Suasana lebaran macam apa yang dimaksud? Kita semua terganggu, kan dengan hal ini?

Kadang-kadang, aku merasa momen lebaran seperti pembunuhan yang korbannya banyak tapi tidak langsung mati. Sering kita amati, rumah sakit yang lebih sepi di lebaran pertama, mulai terisi ramai di lebaran ketiga, keempat, dan seterusnya. Orang-orang bertumbangan, tidak hanya karena kaget tubuhnya, tapi juga mentalnya. Mana katanya lebaran kembali ke fitrah?

Tradisi lebaran sedikit banyak justru mencegah kita merasakan hakekat lebaran itu sendiri, yaitu melebur dengan Tuhan, gara-gara satu hal: materialisme berlebihan. Proses kita melepas kemelekatan dengan dunia untuk merasakan lebaran ini, dicegah dengan hal-hal duniawi yang tidak perlu. Tradisi menyuguhkan makanan terus-menerus hingga perut mau meletus, bertemu sanak saudara di satu momen dengan wawancara memojokkan dengan tema material pula (seputar pasangan, anak, pekerjaan, penghasilan, harta-benda, dan sebagainya). Sia-sia proses berdarah-darah satu bulan penuh. Atau memang sebagian besar dari kita pada dasarnya tidak berproses apa-apa di dalam diri? Atau memang secara kolektif kita sengaja dicegah untuk bisa berkesadaran Tuhan, entah oleh siapa, dengan tradisi tidak penting tentang makanan dan silaturahmi yang superfisial?

Mungkin kita bisa memikirkan ulang, apa yang bisa kita lakukan agar tradisi ini-jikapun harus tetap kita jalankan sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat-dijalankan dengan lebih baik. Mungkin kita bisa membuat niat untuk apa kita melaksanakan tradisi lebaran: mungkin ingin menyambung silaturahmi dengan pulang kampung atau saling kunjung, memuliakan tamu dengan suguhan makanan dan minuman spesial, atau menjadi momen check in sejauh mana kita sudah sembuh setelah berproses memurnikan diri selama Ramadan.

  • Jika niatnya silaturahmi, fokus pada koneksinya. Jawab sekedarnya pertanyaan soal materi. Daripada ngobrol soal itu, lebih baik sekalian ngobrol receh yang membuat tertawa. Dan jika berani, mungkin kita bisa ngobrol dengan sanak-saudara tentang pengalaman puasa Ramadan kali ini, apa yang berbeda dari sebelumnya, mungkin berbagi pengalaman tentang pelajaran apa yang didapat, bagaimana itu mengubah cara pandangnya. Ini sebenarnya tukar suguhan yang menutrisi jiwa (I know, it is so cheesy kalau dipraktekkan, kan kita bisa lihat-lihat dengan siapa kita berbicara: tidak semua orang bisa diajak ngobrol soal ini. Seriously, ngobrol receh, sereceh nonton Dono, lebih bermanfaat dari pada pertanyaan “kapan nikah? kerja di mana sekarang?”)
  • Jika niatnya memuliakan tamu dengan suguhan, mungkin kita bisa menyiapkan sesuatu yang menyamankan perut dan tubuh tamu kita. Mungkin menyuguhkan minuman herbal sederhana yang enak seperti bandrek atau wedang-wedangan lainnya, makanan atau minuman fermentasi, buah-buahan, atau apalah yang bisa membantu menyamankan perut tamu kita. Happy tummy happy people 🙂
  • Jika niatnya untuk check in, siapkan dada yang lapang dan pasrah jika ternyata masih ada bagian diri kita yang masih terperangkap ego, atau tanggapan kerabat yang kurang menyenangkan saat ngobrol di momen lebaran itu

Ramadan hingga Syawal membuat kita mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah (read: pembersihan diri). Melelahkan memang. Kita juga perlu sadar diri, bahwa kita tidak selalu punya energi yang cukup untuk masuk ke tradisi lebaran. Tidak apa-apa, kok, kalau lebaran kali ini kita niatkan untuk pengutuhan diri, dengan mengambil jeda untuk lebaran sendirian saja sesekali. Kadang rasa rindu dengan tradisi lebaran tidak melulu tentang kerinduan akan akar kita, tapi bercampur dengan kemelekatan pada kebiasaan turun-temurun. Butuh keberanian untuk menjadi diri sendiri dengan pemahaman lebih baik tentang tradisi lebaran, dan butuh kebijaksanaan saat kita, mau tidak mau, harus terlibat dalam tradisi ini. Bagaimanapun, masih ada kebaikan yang bisa kita saring dari sana.

Semoga, lebaran kali ini kita semakin mahir memisahkan mana yang esensial dan mana yang bukan. Semoga kita semua kembali ke fitrah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart