
Warning! This is a long, long writing. So, bare with me. Hope this will help.
Pada satu-dua waktu, aku mengamati dalam hidupku sendiri dan sekelilingku, bahwa apapun yang dipelajari tidak sesempurna prakteknya, salah satunya dalam perjalanan penyembuhan diri. Begitu banyak ideal dalam teori yang nyaris tidak mungkin tercapai selama kita melihat ideal itu hanya dari satu sudut pandang. Begitu banyak keharusan baru, yang di teori disebut menjadi kunci pembebasan, justru menjadi gembok kerangkeng yang kuncinya kita sembunyikan sendiri di tempat yang sengaja kita lupakan. Akhirnya, bukannya menjemput kebebasan, kita hanya keluar dari matriks lama bentukan dunia luar, dan masuk ke matriks baru yang hanya dikemas ulang dengan janji-janji manis yang juga bentukan dunia luar. Sangat menyedihkan. Sangat disayangkan.
Beberapa hal berikut kudapati hanya dipahami sepotong-sepotong dalam proses menjemput sisi ilahiah dalam diri.
- Memberi label yang keras tentang suatu hal benar atau salah (black and white mentality)
Sebelum kita mengalami kebangkitan spiritual, mungkin kita merasa tidak ada yang salah dengan hidup kita. Sampai suatu ketika, ada titik dimana kita merasa seperti tersambar petir dan merasa semua yang kita jalani salah, kita tidak berjalan kemanapun alih-alih berlari di roda hamster, lalu bingung harus bagaimana untuk keluar dari keadaan ini. Di titik ini, kita mulai mempertanyakan semuanya, terutama siapa diri kita dan untuk apa kita hidup di dunia. Lalu kita mulai belajar ini itu dan melihat ada kemungkinan kita menjemput realita baru dengan menyembuhkan diri.
Tapi, karena masih dalam keadaan terluka, kita jadi sangat mudah menunjuk ke luar atas apapun yang kita alami selama ini. Kita juga merasa mengapa hanya kita yang menyadari ini, sedangkan dunia luar terlihat buta dan tidak sadar akan kacaunya kehidupan mereka. Lalu kita mulai memberi label yang secara sederhana adalah: “mereka salah, aku yang benar. Mereka hidup di dunia yang buruk, dan aku ada di dalamnya. Aku ingin hidup di dunia yang lebih baik”.
Mungkin setelahnya kita jadi tau kebusukan dunia, dan mulai mengambil pilihan yang lebih baik. Mungkin jadi mengurangi jajan di luar, memilih produk perawatan yang alami, organik, sustainable, memilah sampah, olahraga, resign dari pekerjaan kantoran, berencana pindah ke desa, dan sebagainya. Atau mulai rajin meditasi, journaling, breathwork, dan sebagainya. Lalu mulai mempertanyakan keyakinan selama ini dan menemukan kebenaran lain. Semua ini tentu baik dan bagian dari proses. Tapi, jika kita menjalaninya dengan keadaan masih sangat terluka, kita sangat rawan memberi label bahwa yang sedang kita jemput adalah yang paling benar, sedangkan orang lain yang kita anggap “belum sadar” seakan hidup dalam total mess. Padahal tidak seperti itu.
Jika kita membuka mata sedikit lebih lebar dan mengamati sedikit lebih dalam, kita bisa kok, melihat kebenaran dimanapun dan pada siapapun. Di titik ini aku percaya, tidak ada satu manusiapun yang pure evil atau pure angel. Aku masih percaya, tidak mungkin ada satu manusiapun yang 100% dikontrol sama apapun di luar diri tanpa merasakan keganjilan di hatinya. Seburuk-buruknya manusia pasti kompasnya masih jalan. Pasti masih ada kebenaran yang kita lihat dari mereka. Pun kita adalah bagian dari keseluruhan alam semesta ini, dan semuanya memiliki kebijaksanaan masing-masing, mau terlihat seperti iblis atau malaikat. Menurutku, cara pandang ini sangat penting kita pegang sejak awal, meski pasti sulit. Tidak harus dipaksakan, tapi simpan saja dulu.
- Menganggap melepaskan adalah memvisualisasi energi yang menyumbat keluar dari tubuh
Aku yakin banyak dari kita yang ikut sesi ini itu, biasanya yang ada meditasinya, ada panduan untuk merasakan energy blockage entah di tubuh fisik maupun yang memberatkan dalam bentuk emosi, lalu setelah puas dirasakan lalu dibayangkan untuk dilepas. Atau misalnya ada keterikatan tertentu dengan seseorang yang membuat kita setiap teringat orang itu merasa emosi yang mengganggu. Lalu kita dipandu untuk membayangkan ada tali energi yang menyambung, lalu kita putuskan dengan pisau atau gunting. Lalu setelahnya kita merasa lebih lega, dan merasa sudah melepaskan.
Memang, ada ilmunya tentang ini, bahwa visualisasi yang kita bayangkan sebenarnya memang sudah demikian adanya. Apa yang kita gambarkan dan kita lakukan sesuatu tentang itu seperti melepas atau memotong sebenarnya semacam perintah otak untuk tubuh, dan dengan demikian tubuh, pikiran, dan emosi kita mulai menyembuhkan dirinya sendiri. Tapi yang sering menjadi kekeliruan adalah, kita sering menganggap proses ini selesai dalam satu kali sesi oleh seseorang yang kita percaya punya keahlian membantu kita. Kenyataannya tidak seperti itu.
Melepaskan bukan proses satu-dua hari. Orang yang kita percaya membantu, sering disebut healer, hanya memantik sesuatu di diri kita, diajarkannya, lalu secara berkelanjutan kita lakukan secara mandiri. Ada masanya beban emosi yang mungkin terasa sampai level fisik terjadi begitu sering, sampai proses merasakan dan duduk dengan emosi harus sering dilakukan, dan dibarengi dengan pelepasan yang bukan hanya dengan visualisasi atau memberi afirmasi tertentu, tapi dengan napas dan gerak tubuh. Mungkin ya, visualisasi dan afirmasi masih perlu dilakukan untuk membentuk kenyataan baru di otak, tapi pelepasan energi juga penting dilepaskan lewat gerak. Memang ada saja modalitas tertentu yang spesifik mengajarkan hal ini, tapi sebenarnya kita sendiripun bisa melakukannya dengan menuruti apa yang tubuh perlukan saat itu. Dan lagi-lagi, ini tidak selesai dalam satu-dua hari. Bisa jadi bertahun-tahun.
Proses melepaskan bukan dimulai dari visualisasi, afirmasi, dan gerak, tapi sejak kita mengijinkan diri merasakan emosi apapun yang kita hindari selama ini senyata-nyatanya. Di saat kita berani melakukannya, atas ijin dan bantuan Allah, block akan hancur dengan sendirinya, dan kelegaan bisa kita rasakan, meskipun emosi serupa hadir kembali di kemudian hari, dia tidak akan membentuk hambatan baru.
- Selalu meminta bantuan (ikut kelas, ambil sesi, cari buku, dll) saat merasa tidak kuat berproses atau sekedar penasaran
Karena gabungan dari rasa haus informasi dan menganggap masih selalu ada otoritas yang lebih tinggi dari diri sendiri, kita sering mencari apapun keluar. Ikut kelas, belajar banyak modalitas healing, mengenali blue print, dan sebagainya. Memang ini hal yang sangat penting juga karena kita semua butuh belajar. Tapi kita sering berlebihan karena takut menghadapi diri sendiri, sendirian. Padahal, sebanyak apapun yang kita pelajari, mau tidak mau, hanya kita sendiri yang bisa membereskan. Proses sesungguhnya bukan di dalam kelas atau sesi, tapi saat kita hanya ada dengan diri kita sendiri, baik secara fisik sendirian, maupun di tengah-tengah keramaian commuter line, kantor, pasar, atau teriakan anak-anak di rumah.
Berproses di dalam, atau dikenal sebagai inner work, tidak terjadi saat kita belajar di level intelektual. Proses pengumpulan informasi terjadi sebelum kita melakukan inner work, atau sangat mungkin dan perlu dilakukan beriringan, agar kita punya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana cara melalukannya. Jika dicermati, kita sebenarnya bisa tau inti semuanya sama: duduk bersama emosi, melepaskan di level fisik (napas dan gerak tubuh), dan sabar. Let God does the rest.
- Menganggap berproses selalu membutuhkan ruang dan waktu khusus/ideal
Aku pikir dulu, untuk duduk merasakan emosi harus menyediakan waktu khusus. Bahwa untuk menyembuh harus mengasingkan diri/retreat. Bahwa untuk hidup dengan benar harus tanpa handphone dan elektronik lainnya. Tanpa musik. Tanpa orang-orang toxic. Harus ada orang yang bisa dimintai bantuan untuk mengurus rumah agar bisa fokus dengan diri sendiri. Harus punya ruangan tidur sendiri. Harus punya waktu me time ke salon atau jalan-jalan sendirian. Harus menampil selayakna perempuan tulen sesuai standar masyarakat. Dan lain sebagainya.
Setiap kali aku salah paham akan sesuatu, aku selalu merasa Allah memberi peringatan secara instan. Aku tersadar hidupku sangat jauh melenceng di saat aku punya seorang bayi, saat suami sedang sibuk di rumah sakit di masa pandemi, saat aku sendiripun kerepotan bekerja dari rumah yang kala itu sangat tidak kenal waktu (masih ada rapat online di jam tidur). Aku tidak bersedia hidup seperti itu. Lalu aku baru menyadari aku butuh healing. Ya, aku melakukan poin satu sampai tiga tadi juga. Apa yang terjadi? Bukannya semakin damai, aku malah tambah kacau. Aku merasa kondisi ideal untuk healing tidak bisa kudapati. Aku kerepotan mengurus anak sambil bekerja. Aku tidak punya asisten rumah tangga yang entah kenapa keadaan membentuk memang tidak memungkinkan untuk ada yang membantu. Keadaan diperparah saat harus menjalani hubungan jarak jauh dengan suami beberapa bulan, sehingga aku harus mengurus anak, rumah, dan bekerja kantor dalam sekali waktu. Bagaimana aku bisa sembuh kalau begini?
Saat itu aku masih banyak menyalahkan diri tentang apa yang terjadi. Jangan percaya ada orang yang hanya menyalahkan diri: dia pasti sekaligus menyalahkan orang lain dan segalanya. Aku banyak tidak terima dengan keadaan, termasuk kesulitan yang kujalani saat sedang berproses keluar dari keadaan itu. Karena, saat beberapa bulan kemudian kami bertiga berkumpul kembali dengan keadaan yang lebih tenangpun, aku masih sama kacaunya.
Pada akhirnya, kunci penting dari berproses adalah penerimaan. Termasuk tentang “duduk bersama emosi” tidak selalu berarti kita bisa memaksa harus merasakan emosi dalam keadaan duduk. Saat kita menerima bahwa ideal yang ditawarkan oleh teori bukanlah ideal untuk kita, proses merasa dan melepaskan jadi lebih mudah. Tidak punya asisten rumah tangga, tidak ada satupun keluarga yang mampu menolong dalam bentuk tenaga dan finansial, tidak memiliki waktu yang banyak antara suami dan anak, tidak sanggup mengijinkan anak bermain di luar rumah karena panas terik, canggung bertetangga, hanya mampu menjangkau makanan yang seadanya, bukan yang extra clean and organic, dan sebagainya, adalah idealku. Dengan menerima, segalanya menjadi lebih ringan. Mungkin dari luar terlihat sulit dan membosankan, tapi kesadaran menjadi lebih luas, sehingga rasa apapun yang ingin hadir saat itu bisa diijinkan saja untuk dirasakan seutuh-utuhnya, senyata-nyatanya.
- Meyakini hanya ada satu bentuk kenyataan yang ideal
Satu hal yang kudapat belakangan ini adalah soal kesempurnaan. Kesempurnaan bukan berarti semuanya baik, tapi seluruh kebaikan dan keburukan ada di dalamnya. Dengan pemahaman ini, kita tidak lagi mudah menghakimi bahwa sesuatu itu mutlak buruk dan yang lain mutlak baik. Saat kita membunuh nyamuk, di mata nyamuk kita mungkin pembunuh yang jahat. Tapi di mata kita, kita melindungi diri dari serangan. Di mata kita, mungkin orang-orang yang pergi kerja sebelum subuh dan pulang selepas isya adalah zombie, padahal mereka pasti memiliki peran penting untuk kebaikan, meskipun kebanyakan mereka tidak sadar siapa yang menggerakkan mereka dan apa tujuan mereka sesungguhnya. Karena sebenarnya yang penting bukanlah tentang apa yang dilakukan, tetapi mengapa kita melakukan hal tertentu, dan apakah kita sadar dalam melakukannya. Pasti tetap ada kebaikan dan kesadaran di level tertentu di setiap manusia yang bisa kita ambil hikmahnya.
Meski dari luar suatu hal terlihat sia-sia, bisa jadi ada makna lain yang lebih dalam dibaliknya. Bukankah saat ini melamun dan duduk tanpa melakukan apa-apa justru sesuatu yang mahal, sulit, dan nyaris tidak terjangkau? Lagi pula, apapun yang terjadi di dunia ini memang haruslah terjadi, tinggal bisakah kita melihat kebenaran hakiki yang menyeluruh tentang segala hal, baik ataupun buruk? Bisakah kita sadar tentang siapa yang menggerakkan dorongan yang ada di dalam diri?
- Cara pandang tentang organic time and reality
Saat kita bisa melihat dan memahami segala sesuatu secara utuh (meski terkadang menerima hal ini apa adanya sekaligus menerima bahwa kita tidak mungkin tau semuanya), maka segalanya sebenarnya sudah berjalan secara organik. Itulah organic time and reality yang sebenarnya untukku. Kasih sayang Allah penampilannya tidak terbatas. Kekacauan dunia pun sebenarnya bentuk kasih sayang-Nya, karena Dia ingin kita kembali padanya dalam keadaan suci. Tinggal kita bisa atau tidak menerima ini sebagai bagian dari proses yang harus kita lewati.
Kita terlahir di dunia ini, di era ini, karena kita perlu belajar tentang hal yang spesifik terjadi sekarang. Mampukah kita menyadari dan melihatnya secara apa adanya? Mampukah kita melihat lebih dari “dunia kacau karena si 1%”? Bisakah kita mengingat kembali bahwa Allah adalah Satu-Satunya Sumber, maka sejahat-jahatnya hingga sesuci-sucinya makhluk juga berasal dari-Nya? Dimana kita menempatkan diri di dunia ini? Peran apa yang perlu kita mainkan? Saat menyadari hal ini, maka organic time and reality bukan lagi merupakan konsep yang membuat dahi berkerut. Sederhananya, saat kita menjalani keseharian dengan penuh kesadaran bahwa diri kita sepenuhnya digerakkan oleh Allah, maka kita sedang berjalan di organic time and reality.
- Memahami kehendak bebas sebagai co-creator Tuhan
Kita perlu berhati-hati dalam mengakui diri sebagai khalifah di muka bumi. Mungkin di saat belum terbangun, kita merasa khalifah adalah pemimpin-pemimpin besar, sedangkan kita hanya kerak nasi. Tapi saat mulai terbangun dalam keadaan lemah dan terluka, kita mulai menyadari ini dan muncul victim mentality sekaligus keangkuhan, bahwa kita memiliki kehendak bebas dalam menentukan segala sesuatu karena kita adalah co-creator Tuhan di muka bumi. Kita mulai percaya tentang kata hati dan kehendak, dan secara tidak matang meyakini semua kehendak selama terlihat “baik” adalah kehendak-Nya yang dititipkan di hati. Kita lalu mengenali yang namanya intuisi, sehingga dorongan apapun kita sebut intuisi.
Padahal dalam keadaan seperti ini, kita masih rabun dan harus berlatih meraba dan mengenali lapisan-lapisan diri kita. Ego kita berlapis, dan kepribadian kita banyak. Kita masih harus mengenali satu-per-satu, yang akan terbuka seiring waktu dan tidak bisa dipaksakan. Seiring proses ini, kita pelan pelan mengenali, mana hasrat yang muncul dari ego (dan ego yang mana), mana yang memang bimbingan Tuhan, dan kepribadian apa yang menampil seiring hasrat ini. Tentu perlu melakukan pengamatan secara empiris pada diri sendiri secara terus menerus, sehingga kita bisa membedakan. Seiring waktu, pandangan kita semakin jernih dan tidak lagi meraba, sehingga hal ini akan menjadi otomatis. Ini yang sering digaungkan sebagai discernment/furqan. Mengklaim diri bisa mendengar intuisi di saat baru terbangun dalam keadaan terluka sangatlah berbahaya, karena kita belum punya data yang cukup. Betul, Allah selalu “berbicara” pada kita, tapi frekuensi kita tidak selalu ada di frekuensi yang sama dengan Allah. Tidak mungkin kita mampu mendengarkan intuisi dalam keadaan labil dan tidak sadar sedang dikontrol emosi, pikiran, apalagi faktor luar.
Saat kita menyadari dan mengijinkan diri hanya digerakkan oleh-Nya, disitulah kita berfungsi sebagai co-creator., bukan dengan berkehendak sesuka hati.
- Perubahan realita 3D seiring berproses dari dalam
Banyak sekali “jualan healing” yang menjanjikan dunia eksternal yang akan berubah seiring kita berproses. Mungkin keuangan membaik, hubungan suami-istri menjadi romantis, kenyataan yang disembunyikan akan terungkap dengan sendirinya, pekerjaan yang dinantikan datang, anak yang diidamkan hadir, orang tua atau pasangan menjadi lembut, dan sebagainya. Di level tertentu, beberapa hal itu memang terjadi. Tapi jeleknya adalah, hal itu menjadi tujuan yang kita kejar dalam melakukan healing. Lalu kita berekspektasi, jika kita berubah seharusnya orang-orang terdekat berubah. Lalu mereka dari kacamata kita yang masih retak terlihat tidak mau berubah, lalu kita menyalahkan mereka dan segala hal.
Suka tidak suka, tidak selalu realita 3D berubah saat internal kita bertransformasi. Bisa jadi dari luar kenyataan kita tidak berubah. Bisa jadi kita masih tetap berangkat subuh dan pulang isya. Masih berdesak-desakan di commuter line. Masih sebal dengan atasan yang otoriter. Masih marah pada anak yang tidak mau menurut. Masih kesal saat salah melihat jadwal serial on going yang sudah kita tunggu seharian ini yang ternyata baru tayang besok. Tapi bahkan di emosi yang sangat menyebalkan sekalipun kita bisa merasakannya dengan sadar. Langkah pertama keluar dari pintu rumah subuh-subuh kita lakukan dengan doa sepenuh hati. Pekerjaan kita di kantor kita lakukan dengan penuh kesadaran dan bisa menemukan antusiasme di sana (kalau memang yang dikerjakan adalah panggilan hati kita) semenyebalkan apapun teman kantor dan bos kita. Lalu pulang dan menyentuh kasur dengan keadaan puas. Terlihat sangat berbeda dari zombie, bukan? Singkirkan kebiasaan cara pandang hitam-putih.
- Cara pandang tentang keberadaan Tuhan beserta makhluk-makhluk-Nya
Pemahaman tentang Tuhan sulit menjadi utuh kalau masih berupa konsep yang kita pelajari di buku, pengajian, atau di ceramah-ceramah yang kita dengar di podcast atau youtube. Keberadaannya baru bisa kita sadari dan pahami jika kita mampu melihat kehidupan kita sendiri dan sekeliling kita secara utuh. Jika cara pandang kita sudah lebih jernih (dan pasti akan semakin jernih seiring waktu meski tidak mungkin benar-benar bisa melihat segalanya karena kita hanya manusia biasa), tanpa dipaksa dan dibuat-buat tidak mungkin kita tidak selalu teringat pada-Nya. Kebahagiaan yang kita rasakan dari jemuran yang kering sempurna karena hari ini matahari muncul setelah beberapa hari hujan deras, sampah yang akhirnya diangkut petugas kebersihan setelah hampir seminggu absen, mie ayam yang enak setelah seminggu dinantikan dan baru sempat kita beli, kecewa karena tukang servis AC batal datang setelah ditunggu seharian, atau keluarga yang menyinggung perasaan seenaknya, semua mengingatkan kita pada-Nya. Semua bentuk kasih sayang-Nya, yang ingin membuat kita belajar sesuatu.
Pada akhirnya, proses healing itu customized. Tidak ada yang persis satu orangpun. Bentuk umumnya ada, tapi spesifiknya berbeda. Jangan sampai kita terpaku pada keharusan-keharusan baru. Jagan pula buru-buru meyakini diri berbeda sendiri dan melakukan sesuka hati karena mendengar intuisi dalam keadaan diri yang masih amat sangat terluka. Sabar dalam prosesnya. Nikmati. Tidak ada yang instan, dan kita tidak sedang mengejar apa-apa. Bukan tujuan akhir yang mau kita kejar, tapi perjalanan itu sendiri sejatinya adalah sebuah tujuan. Bukankah itu doa yang kita ucap minimal 17 kali sehari? Bimbinglah kami ke jalan yang lurus (QS 1:6)