Bandung Ep 7 – Akhir Penantian

Sebelumnya: Bandung Ep 6 – Masa Kegelapan 2.0

Hari-hari menunggu di Takengon sangat menegangkan dan mencemaskan. Aku merasa tidak ada pilihan lain untukku bertahan hidup selain lulus CPNS BMKG. Aku perlu status di masyarakat. Aku perlu berpenghasilan. Aku perlu settle sebelum menikah. Aku tidak mau menikah dengan keadaan tidak ada pekerjaan tetap, takut disetir. Aku ingin berdaya. Gimana kalau aku gak lulus? Apa nasibku di mata masyarakat? Hari-hariku hanya dipenuhi tangis ratapan, persis seperti orang mengemis pada Tuhannya. Begitulah kesadaranku saat itu. Little did I know, Allah akan memerintahkan seisi alam semesta untuk menghadirkan apa yang selaras dengan vibrasiku saat itu. Vibrasi rendah kemelaratan akan mengundang hal yang sama. Vibrasi rendah meminta dalam keadaan merasa serba kurang sedangkan aku sebenarnya cukup apa adanya. Mental pengemis.

Dan akhrinya, di hari pengumuman tiba, namaku secara ajaib ada di sana. Lulus, dengan kode spesial. Kenapa ajaib? Karena yang diterima dari tiga orang ini harusnya hanya satu. Tapi di hari itu yang diterima dua. Aku dan Mba Dini. Apa lagi ekspresi yang keluar selain nangis? Ke depan, kami jadi ceesan berkeluh kesah dan bodor-bodoran di kantor hahaha.

Di hari  yang sama, satu isi rumah heboh karena waktu yang disediakan untuk mengurus pemberkasan hanya satu minggu. Dan berkasnya tidak sedikit. Kami bagi tugas, mamak, ayah, aku, semua sibuk. Ada momen lucu tapi memilukan kala itu. Ayah mengantarku ke kantor lurah, camat, dan polsek untuk mengurus SKCK. Bapak-bapak di sana bilang:

 “oooh, masih di antar bapaknya ya.”

Ayahku jawab “iya” dengan santainya hahahahha.

Dikira aku anak manja kaliii. Punten pisan, saya udah bertahun-tahun ke antah berantah sendirian, mana ada diantar-antar (kecuali waktu masuk S1 dulu, itu heboh diantar sampe kakek nenek ikut waktu daftar ulang hahaha maklum cucu pertama, padahal aku bete waktu itu, merasa udah gede tapi diperlakukan kayak bocah). Lalu, aku diantar mamak ngeprint pas foto hahahaha ini juga lucu sih. Sekaligus menyesakkan. Ini momen perpisahan. Mungkin mereka merasa ini terakhir kali mereka bisa memperlakukan aku sebagai anak yang anak-anak. Umurku 25 waktu itu. Tapi di banding masyarakat kebanyakan kala itu, umur segitu harusnya udah bekerja beberapa tahun, menikah, kredit rumah, dan punya anak minimal satu.

Rencana awal aku hanya mengirimkan berkas lewat pos berubah. Ayahku menyarankan aku mengantar langsung ke kantor. Aku belum sampai seminggu ada di rumah. Rasaku campur aduk. Hanya seginikah waktuku berjeda dengan lega? Malam itu aku didudukkan. Momen yang sangat memilukan. Aku, mamak, ayahku, duduk bertiga. Kami menangis. Nasehat dari ayahku melontar, seakan mengantar kepergianku. Aku bekerja, artinya hidup baru akan kumulai di kota yang baru. Diselipkan pula nasehat untuk mulai memikirkan menikah. Memang kala itu tidak ada lagi alasanku menunda. Aku sudah bersama Yudi sekian tahun, LDR, dan kami cukup serius dari awal suatu hari akan menikah, meski aku tidak berani membayangkan kapan karena aku belum siap. Lalu sekarang, statusku sudah jelas secara pekerjaan. Kami hanya bisa menangis. Apalagi aku anak pertama, momen perpisahan tidak pernah mudah, sejarang apapun aku berkomunikasi dengan ayahku.

Aku langsung pesan tiket untuk lusa. Besoknya, aku diantar ayahku berkeliling pamit ke keluarga. Entahlah, ayah waktu itu merasa itu momen perpisahan besar. Lusanya aku berangkat ke Bandung, masih di kosan yang sama. Dari sana aku berangkat naik kereta ke Jakarta bareng Tari, mengantarkan berkas ke kantor, lalu nyari kosan baru di sekitaran kantor. Setelah dapat dan deal, kami kembali ke Bandung, dan persiapan mengangkut barang, pindah ke Jakarta. Akhir episode aku di Bandung.

Dan, (not so) surprisssseeeee. Aku tidak betah kerja di bawah perintah, aku cabut dari PNS yang kuperjuangkan dengan nangis darah HAHAHAHAHAHAHAHA. Hidup terlalu kocak ya. Alhamdulillah, orang tuaku tidak menghardikku. Kami sama-sama belajar menerima perjalanan masing-masing meski tidak sempurna. Masih ada pemaksaan sana sini di beberapa hal, tapi tidak apa-apa. Kan kita sama-sama berproses. Perubahan besarku, tidak mungkin aku harapkan harus selalu mulus diterima dengan baik. Kami semua manusia dengan gelap terang, kurang lebihnya. Pada akhirnya, semua adalah bagian dari proses, termasuk proses memahami bahwa, sadari niat dan keinginanmu. Sadar dengan apa yang kamu pilih dan kamu harapkan. Dannn, I am unemployed now HAHAHA.

Begitulah. Pelajaran telak yang kuterima adalah, jadilah manusia yang beriman. Yang percaya bahwa semua yang kita butuhkan ada saat ini. Tidak perlu membuat-buat karma baru dengan memaksakan kehendah sampai mengemis pada Allah, menguras tangis darah, hanya untuk meminta kehendak egomu dikabulkan. Memang, saat Allah mengabulkan, itu artinya memang harus terjadi. Tapi jangan lupa, sesuatu juga perlu terjadi sebagai pembelajaran. Sebisa mungkin, pembelajaran yang kita terima bukan bentuk tamparan pada ego yang kita ijinkan menyetir, tapi memang bagian dari skenario-Nya yang kita jalani apa adanya.

SELESAI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart