Bandung Ep 1.1 – Membuat Jebakan (1)

Aku merasa episode kehidupanku terbagi sesuai kota tempatku bermukim dulu: masa kecil-remaja di Takengon, masa remaja-dewasa muda di Banda Aceh, awal 20 an di Bandung, awal berumah tangga dan menjadi orang tua di Jakarta, dan episode terakhir sejauh ini di Banda Aceh. Transisi dari masa-masa itu cukup besar-besaran, semuanya seperti sambaran petir. Dimulai dari 2009, saat usiaku belum genap 17 tahun. Tapi aku kali ini ingin menceritakan masa-masa seru semasa di Bandung.

Note: Nama di sana disamarkan, kecuali namaku dan Yudi.

Awal keberangkatanku ke sana memang agak laen. Waktu itu pertengahan hingga akhir 2013, aku masih di masa transisi lulus S1 dari Unsyiah (Banda Aceh) dan tidak ada bayangan lain selain mencari beasiswa dan lanjut S2, berhubung orang tuaku hanya mampu membiayai sampai S1 (itupun aku masih ada tipis-tipis dapat beasiswa semesteran dari kampus, dan disambi tipis-tipis dari ngajar bimbel). Persiapanku tidak matang sama sekali, sehingga tidak tembus beasiswa ke luar negeri. Yang kuseriusi hanya TOEFL; persiapan topik penelitian dan lain lain aku lewati. Kesempatan lain terbuka; lewat beasiswa LPSDM dari pemerintah Aceh, pertengahan 2014 aku lolos beasiswa dalam negeri, ke ITB. Tapi, jurusan yang kuambil berbeda dari jurusan S1 ku. Aku S1 Fisika, dan berencana mengambil jurusan Sains Kebumian di ITB, dengan harapan “yang penting lolos aja” karena saingan tidak banyak untuk lulus beasiswa, pun nanti saingan saat melamar kerja karena aku sadar skill bekerjaku hampir nol. Aku lolos beasiswanya. Jujur perasaanku tidak enak dari awal. Tapi tetap kulanjutkan.

Tahap selanjutnya yang harus kulewati adalah, harus berangkat ke Bandung untuk tes masuk ITB nya. Ketakutan merambat. Pertama, ini kali pertama aku harus naik pesawat tanpa ada yang memandu. Sebelumnya aku pernah ikut Olimpiade Nasional Fisika di Surabaya, dan waktu itu ada dosen yang membimbing dan mengurusi, dari mulai pemesanan tiket, penginapan, hotel, dll. Aku hanya bawa badan dan mengekor. Ada rasa gentar dan minder. Rasanya, dang, aku udah masuk 20 an tapi ini kali pertamaku naik pesawat sendiri? Cupu kali. Tapi juga gentar. Aku tidak berani sendirian. Kedua, aku tidak punya satupun kenalan di Bandung yang bisa kutumpangi. Perlu diketahui kala itu belum ada ojek dan taksi online, bahkan belum terbayang bagaimana caranya nanti di sana luntang-lantung nyari tempat tinggal. Dana super terbatas (setidaknya begitu asumsiku−entah mengapa rasanya enggan meminta uang lebih lagi untuk bekal lanjut sekolah ke orang tua setelah lulus S1. Tiket pesawat pun rasanya berat kuminta), hanya cukup buat makan dan ongkos, boro-boro menyewa penginapan.

Akhirnya aku mencari-cari teman sesama pelamar beasiswa: apakah ada yang bisa diajak barengan ke Bandung dari Banda Aceh. Dengan kekuatan berjejaring, aku terhubung dengan dua orang temannya temanku, sebut saja namanya Maissy dan Marry wakaka. Mereka juga mau tes masuk ITB yang jadwalnya berdekatan denganku. Akhirnya kami terhubung, kontak-kontakan, janjian, jadilah kami berangkat bersama dari Banda Aceh. Memanfaatkan koneksi, Maissy dan Marry mendapat kontak junior mereka semasa SMA yang sedang kuliah S1 di ITB yang tinggal di asrama putri Aceh di Bandung. Kami diberi izin menumpang gratis di kamar kosong di sana. Lokasi asrama pun cukup dekat dengan kampus ITB (setelah mengecek lewat GMap). Tinggal mengurus keberangkatan. Itu juga kali pertama aku memesan tiket online, tiket pesawat pula. Kebayang deg-degannya? Kalian pasti punya momen perdana melepas sejumlah uang cukup besar lewat transaksi online, masi ingat rasanya? Kalau kalian masih bermental kekurangan juga waktu itu, cukup bikin jantung mau copot dan keringat sebesar biji jagung menetes. Kala itu boro-boro aku pake mbanking: masih nyari ATM. Akhirnya tiket terbeli.

Bertemulah kami akhirnya di hari itu. Naik bus dari Banda Aceh ke Medan, dari Medan baru naik pesawat ke Bandung. Dihitung-hitung sebenarnya selisih harga kalau langsung terbang dari Banda Aceh-Bandung cuma 100-150 rb an, tapi saking iritnya waktu itu kami memilih meremukkan badan lewat perjalanan lewat darat 12 jam Banda Aceh-Medan. Dan ternyata tidak berakhir lebih hemat, karena HP Marry kemalingan di bus pfffttt. Kebetulan kami bertiga sama kagok nya: sama-sama pertama kali bawa badan sendiri naik pesawat tanpa ada yang bantu ngurusin. Tapi karena bertiga, kegentaran luruh. Berani-berani aja, dan tidak terlalu kebingungan di bandara.

Sampai di Bandung, kami naik taksi dari Bandara Husein Sastranegara. Tentunya kami gelap soal jalanan Bandung. Ke supirnya kami hanya menyebut “asrama mahasiswa Aceh di Tubagus.” Supirnya menangkap kata Tubagus, dan diantarlah kami ke sana. Itulah masa pertama GMap bermanfaat di kehidupan kami, karena tidak ada rasa takut diculik karena bisa memantau posisi lewat HP, meski kami terlihat sedikit kikuk.

Mulai masuk ke jalan Tubagus Ismail, supirnya bertanya,

“di mana asramanya?”

Dari GMap kami tau masih beberapa ratus meter ke depan. Tapi muncung asrama aceh belum kelihatan. Pak supir tampak ragu, dan tega-teganya menurunkan tiga perempuan yang bentuknya sudah tidak karuan ini dengan ransel dan kopernya, di pinggir jalan, di depan Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R.A Habibie. Dengan kesal, kami turun, dan berjalan sambil melihat GMap. Sedikit berjalan ke depan melewati turunan di Jalan Tubagus yang lumayan terjal, di seberang jalan tepat di turunan terjal itu, ada tulisan Asrama Putri Pocut Baren. Untungnya tidak jauh dari Rumah Sakit Ginjal. Menyeberanglah kami bertiga.

Asrama itu terlihat horror. Di tengah padatnya bangunan di sekitarnya, hanya dia sendiri yang punya halaman cukup luas dengan pohon besar. Posisinya dari luar terlihat menjorok agak ke dalam karena halaman besarnya. Kami menunggu di depan pagar yang terkunci gembok. Sejak di taksi, Maissy mengontak junior SMA nya, tapi tidak kunjung dibalas. Ditelepon tidak diangkat. Tak lama, datang dua orang perempuan menuju pagar, dari luar mau masuk. Sepertinya mereka mahasiswi asal aceh yang tinggal di sana. Aku mengenali salah satunya pernah menjadi siswa bimbelku dulu. Sekilas kami perkenalkan diri, akhirnya kami ikut mereka masuk ke pekarangan asrama setelah mereka membuka gembok, lalu kami masuk ke dalam asrama.

Selanjutnya: Bandung Ep 1.2 – Membuat Jebakan (2)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart