Tenggelam dalam Rapijali

Akhir bulan Juli lalu, tepatnya 27 Juli 2024, satu panggilan datang padaku: rehat dari Instagram. Momen itu aku manfaatkan untuk menyambut panggilan yang sebelumnya sudah menggedor-gedorku dari dalam: baca novel lagi. Bertahun-tahun aku meninggalkan kebiasaan baca novel salah satunya gara-gara kecanduan Instagram juga, aku jadi kurang menikmati membaca buku. Ada satu sisi dalam diri yang rindu versi diriku di masa muda, yang doyan baca novel murni karena enjoy aja.

Browsing-browsing di toko oren, eh teringat teh Dewi Lestari, aku spot novel Rapijali, my sacral langsung say yes, lalu kuborong dua buku pertama, Rapijali: Mencari dan Menjadi. Segitu skip nya aku, padahal dulu Gelombang dan Inteligensi Embun Pagi kutunggu-tunggu rilisnya, sekarang aku malah baru mau baca Rapijali setelah rilis agak lama.

Niatku membaca ringan untuk hiburan ternyata tidak seringan itu. Justru karena ringan, Rapijali menghanyutkan dan menenggelamkanku. Semua karakternya kuat, imajinasiku vivid, terbayang Batu Karas, rumah Aki Yuda di pinggir Sungai Cijulang, isi rumahnya yang penuh alat-alat musik dengan kabel centang-prenang, momen Ping memainkan beberapa alat musik bergantian mengiringi D’Brehoh saat ngeband. Semua menenggelamkanku. Aku tenggelam dalam perasaan Ping, Rakai, Aki Yuda, bahkan Guntur. Bahagia dan patah hati mereka. Aku gak bohong saat bilang tenggelam. Butuh seminggu lebih aku keluar dari realita Rapijali wakakaka. Sampai-sampai anak dan suami jadi korban, omonganku soal dunia Rapijali semuaaa. Bahkan anakku yang belum bisa baca mungkin hapal tokoh-tokoh Rapijali gara-gara ceritaku ke dia itu-itu terus dua minggu ini.

Ada satu momen yang paling bikin aku nangis lama: saat Ping dan Rakai nyanyi di momen Rapijali lagi manggung di kontes Band Idola Indonesia. Waktu aku baca, aku belum dengar sama sekali satupun Soundtrack Rapijali. Tapi aku bisa “mendengar” mereka bernyanyi dan merasakan nyaris utuh perasaan Ping di sana. Rasa pedih, bingung, takut, capek, campur aduk dalam olahan yang terlalu indah. Perasaan asing sekaligus familiar. Aku makin-makin tenggelam. Lalu aku dengerin Soundtrack nya on repeat, aku gak bisa naik ke permukaan: di kepalaku mau tidur dan bangun tidur Rapijali terus wakakaka ampun beneran saya balik jadi remaja lagi.

Lalu aku sadar satu hal. Aku merindukan satu versi aku yang dulu, yang mengijinkan diri merasa dan berada di sudut pandang tiap tokoh di novel yang kubaca. Aku versi remaja sampai awal 20an, yang terlalu lama kutinggalkan. Tanpa direncana, membaca novel ringan tapi menghanyutkan ini justru membawaku mengakses beberapa hal di masa mudaku yang belum selesai dan minta dituntaskan. Aku sedang menjadi diriku di masa itu, dengan luka-luka yang ditekan dan dilupakan. Di momen ini aku sadari, tidak ada lagi hitam putih dalam memaknai sesuatu. Sudah cukup lama aku terkondisi bahwa membaca itu harus yang “ilmu” saja, atau novel-novel sastra tingkat tinggi saja, yang sama sekali tidak bisa kunikmati, dan berakhir aku tidak pernah menikmati novel lagi. Memangnya kenapa tenggelam dalam cerita? Memangnya kenapa merasakan emosi yang intens? Justru di saat ini, kehanyutanku di dalam Rapijali, dunia dan realitaku yang sedang berganti jadi dunia Rapijali, memori masa remaja yang hilang dan minta dituntaskan justru hadir. My inner teenager.

Aku gak bisa berenti baca kedua novelnya, kutuntaskan dalam tiga hari. Galau pisaaaannn wakakaka. Kutunda beli yang ketiga. Tau-tau aku terpanggil membaca ulang serial Supernova. Dan aku terbelalak dan bolak-balik bilang “Gilaaaa gila teh Dewi Lestari” karena di waktu aku baca dulu, aku cuma “ooh ooh” aja dan terkagum hanya dari sisi intelektualitas dan merasa ceritanya keren. Dari kacamata sekarang, aku baru bener-bener “mengerti” yang the Dewi ungkapkan di sana, itu LUAR BIASA DI ATAS INTELEKTUAL. Aku menangis karena aku mengerti. Empat tahun terakhir dalam pencarian dan akhirnya Dia ajarkan sedikit-sedikit padaku pengalaman dan pengetahuan, aku mengerti yang the Dewi ungkapkan di Supernova. Dan aku tersadar bahwa, di saat seseorang sudah “mengalami”, mau dipaparkan dalam bentuk apapun, kebenaran sejati itu hanya satu. Hanya Dia.

Aku mendapatkan kebenaranku saat ini: novel yang ditulis oleh penulis yang berkesadaran, yang ditulis dengan “mengalami” lebih dulu, juga bisa menjadi jalan menyembuh, jalan pulang ke dalam diri.

Satu hal yang bikin merinding adalah, kenapa coba, aku tergerak beli novel lagi harus dua minggu lalu? Kenapa yang kuputuskan beli adalah Rapijali? Kenapa, aku yang sejak sedekade lalu mungkin dalam setahun satu buku aja gak pernah tuntas, tau-tau dua minggu ini aku jadi beneran #ReadathonDeeLestari mulai Rapijali bahkan ngulang semua Supernova back to back, sampe dalam dua minggu enam, ENAM, novel kutuntaskan? Kenapa di momen ini juga keluar flyer reading challenge dari @bentangpustaka @deelestari #ReadathonDeeLestari  #AdDeection dan pas aku iseng buka Instagram kelihatan pula? Kenapa  justru saat aku merasa momen magical aku mendapat sesuatu dari rehatku dari social media ini kurencanakan untuk kusimpan sendiri, tau-tau ada panggilan untuk berbagi? I don’t know, and I don’t try to find out. Tapi yang jelas, aku sambut panggilan ini dan inilah “oleh-oleh” rehat sejenakku kemarin.

Sekarang, aku lagi nunggu Rapijali 3: Kembali-ku nyampe HAHAHA. Terbeli juga lagi dari toko oren. Sambil nunggu, kutuntaskan dulu Gelombang dan Inteligensi Embun Pagi-ku sekali lagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart