Sebelumnya Bandung Ep 1.1 – Membuat Jebakan (1)
Asli, asramanya horror maksimal. Dari luar kayak gak ada kehidupan sama sekali. Bangunannya kusam, dari luar maupun dalamnya. Dari lantai sampai atap, semuanya horror. Bangunan itu ada empat lantai. Masing-masing lantai aku lupa ada berapa kamar, mungkin 10 kamar. Posisi kamar tiap lantai seperti melingkar, jadi dari lantai bawah bisa melihat ke lantai empat dan atap. Di salah satu pojok tiap lantai ada ruang yang mungkin dipakai untuk nongkrong penghuninya. Ada TV tabung juga di sana. Seingatku, di tiap lantai ada tiga kamar mandi. Kecuali di lantai satu, hanya ada satu kamar mandi yang paling horror, tidak berani kami masuki. Sepi, mungkin karena banyak yang belum pulang, atau masing-masing mendekam di kamar. Mendukung keseraman asrama itu.
Kami di dalam asrama masih terluntang-lantung, menunggu sambil berdiri. Junior masa SMA itu tidak kunjung membalas, sedangkan dia yang memegang kunci kamar tempat kami menumpang nanti. Setelah tidak tau berapa lama, dia datang, lalu membukakan satu ruangan di samping kamar mandi horor. Iya, ruangan. Ternyata tempat kami menginap bukan kamar, tapi ruang belajar nyaris mirip kelas, karena kursi-kursi belajar lipat tersusun di salah satu pojok, lengkap dengan papan tulis putih yang masih ada bekas corat-coret. Ruangan itu cukup besar dan terbagi dua, dibatasi pintu lipat. Salah satu sisi kami pakai untuk meletakkan barang-barang, yang sebagai penghiburan kami sebut wardrobe. Jadilah kami menginap di ruang kelas itu. Tentu tidak mungkin protes, untung juga dikasih numpang nginep gratis.
Ruangannya kotor, hanya kami bersihkan seadanya. Kami dipinjamkan tiga kasur busa. Bergelimpanganlah kami di sana. Capek. Dan bosan. Aku waktu itu belum main social media, sehingga aku hanya terbengong dan kikuk sendiri menyaksikan Maissy dan Marry asyik dengan smartphone nya. Pun, waktu itu HP ku smart nya masih nanggung: Samsung Galaxy Young hahaha. Gak bisa dipake sosmed an. Tapi aku ingat waktu itu ada sebuah novel di asrama: The Lost Java, dan akhirnya jadi kubaca, mengatasi kesuntukanku.
Seingatku waktu itu kami tes TPA dulu, baru disusul tes bidang. Jadwal TPA kami berbarengan di hari ketiga kami di Bandung. Maissy dan Marry tes bidang di hari ke empat, sedangkan aku di hari ke lima. Total aku harus menetap di Bandung adalah enam hari. Ini yang mengharuskanku membawa koper bukannya ransel. Atau karena aku waktu itu masih terlalu ribet anaknya wakaka, belum terampil mengepres kebutuhan untuk memperingkas bawaan. Maissy dan Marry urusannya selesai di hari ke empat. Mereka belum tau apakah bisa pulang barengan atau tidak. Tapi itu tidak terlalu menggentarkanku lagi, karena aku sudah cukup berani pulang sendiri, belajar dari pengalaman berangkat kemarin. Hal lain membuatku cemas.
Besoknya, kami bertiga naik angkot ke ITB. Lihat-lihat, agar tidak bingung mencari ruangan tes. Asik juga ITB, semua kampus dalam satu lingkungan, mengingat di Unsyiah jarak antar kampus cukup jauh satu sama lain, menuntut mahasiswa untuk memilih dari dua pilihan: kuat jalan di udara panas atau punya kendaraan pribadi minimal motor (pilihanku tentu di yang pertama hahaha). Tentu lokasi ujian kami berpencar. Maissy dan Marry sama-sama Teknik Sipil meski beda spesialisasi, sedangkan aku Sains Kebumian. Bahkan sesama ITB saja asing dengan jurusan itu. Aku keliling-keliling sendiri, tanya sana-sini, sampai aku ketemu prodi nya di mana. Hufff. Di situ perasaanku mulai tidak enak. Apakah aku satu-satunya pendaftar? Kenapa sepi sekali?
Hal lain yang membuatku cemas kayak yang aku sebut di atas adalah ini. Ternyata Maissy dan Marry sama-sama ikut tes masuk kerja di salah satu BUMN, yang mengharuskan mereka segera terbang ke Medan karena lokasi tesnya di sana. Mereka mengurus semua secara paralel: kelengkapan tes ITB dan BUMN, mencoba peruntungan mana yang lolos ke sana kaki mereka melangkah. Kembali aku gentar. Bagaimana nanti kalau mereka lulus BUMN dan akhirnya aku terdampar di sini sendirian? Bagaimana kalau aku sendiri yang lulus? Bagaimana kalau aku tidak lulus? Sisa hari-hari di Bandung kujalani dengan cemas.
Setelah hari tes pertama, kami jalan-jalan seputaran Ganesha-Dago-Gedung Sate. Literally mengandalkan kaki dan ngangkot, dan tentunya modal tanya-tanya (tahun 2014 ojek online belum ada di Bandung). Agak konyol waktu itu. Waktu kami lewat Gedung Sate, di gedung Pos di lingkungan gedung Sate lagi dibuka kayak ada rombongan pengunjung gitu, kami ikut masuk, dan terus masuk ke halaman Gedung, lalu foto-foto HAHAHAH. Tidak ada yang melarang. Foto-foto di pekarangan kantor gubernur hahahaha. Beneran masuk, bukan di luar pagar. Kami sempat juga main ke pasar baru, jajan kerupuk-kerupuk pedas wakakaka. Mana kami tau padahal di Baltos yang deket kampus juga ada.
Di hari tes mereka yang kedua, aku ikut menyusul ke ITB. Bosan di asrama. Setelah mereka selesai, ada seorang teman SMA mereka datang ke ITB. Sebut saja namanya Dila. Dila sudah bekerja di Jakarta, dan sengaja datang ke Bandung untuk bertemu dua sahabat SMA nya. Dia dulu kuliah di Unpad, jadi lebih hapal jalanan Bandung, dan bisa memandu kami jalan-jalan. Jalan kaki dan naik angkot.
Hari itu kami pergi ke PVJ. Pengalaman baru, ngemall yang konsepnya city walk. Pengalaman perdana juga aku SHOCK harga mimik-mimik-an manis kenapa bisa 20 ribuan??? Krejiii. Segitu kejamnya kota besar, minuman yang rasanya gitu doang, manis lemak gurih doang dan tidak ada manfaatnya bahkan tidak menghilangkan haus malah menambah haus, 20 ribu? Semahal-mahalnya aku keluarin uang buat beli minum di jaman S1 paling 8-10 ribu. Welcome tu kota besar wahaha. Aku masih terkaget-kaget dengan harga. Ternyata biaya hidup di Bandung tinggi juga. Bukan cuma karena ini jajanan mall, tapi jajanan pinggiran juga masih sedikit lebih murah di Banda Aceh.
Keesokan harinya Marry dan Maissy berangkat duluan ke Medan. Tinggal aku sendiri di Bandung, di ruangan kelas asrama, yang jendelanya bahkan gak bisa terkunci. Malam itu aku mimpi buruk, sereeem. Asli wei asramanya serem kali. Bangunan-bangunan horror yang sering muncul di film-film hantu, persis kayak gitu, luar dalam. Deg-degan tiap kali butuh ke kamar mandi. Gak berani masuk ke kamar mandi yang persis di sebelah ruangan kelas, tapi mempertaruhkan kesehatan jantung deg-degan naik ke atas, ke lantai dua, pake kamar mandi di sana yang sedikiiit lebih tidak horror.