Bandung Ep 2 – Kebingungan yang nyata

Sebelumnya Bandung Ep 1.2 – Membuat Jebakan (2)

Tiba di hari tes. Aku lupa di sana aku di ruang tunggu bersama berapa orang. Aku tes tulis di perpustakaan bersama beberapa teman. Kebanyakan tidak bisa kujawab. Lalu lanjut wawancara. Aku diwawancara seorang dosen, yang kelak jadi dosen wali juga pembimbing tesisku. Di momen itu aku tau dari beliau, yang daftar di jurusan Sains Kebumian kelompok Sains Atmosfer cuma aku. Cuma aku satu orang di angkatan itu. Aku shock. Aku tidak bisa kuliah sendirian. Aku butuh teman. Rasa terasing pun menyusup. Pertanyaan tumpang-tindih di kepalaku, bagaimana nasibku? Aku merasa ini bukan tempatku. Aku tidak mampu belajar sendirian seperti privat selama dua tahun. Aku perlu teman seangkatan.

Memang, sebagian besar kelas yang kuambil tidak mungkin hanya ada aku, pasti angkatan lain ada juga yang mengambil. Tapi, rasa terasing dan salah tempat terlalu nyata hadir sebagai tanda ketidakcocokan aku di sana yang tidak ada buktinya. This is so wrong. Tapi kala itu aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa (dan bahkan tidak berani mencoba) ganti jurusan karena takut dipenalti, dibatalkan beasiswanya. Beragam alasan masuk akal selalu menjadi jawaban yang tidak menjawab dan menyelesaikan keraguanku. Aku merasa satu-satunya pilihan adalah lanjut sampai selesai, apapun ceritanya. Bagaimanapun caranya.

Aku keluar ruangan dengan gontai dan gamang. Kututupi perasaan ragu dengan berkeliling sedikit di Bandung, sebelum besok aku kembali ke Takengon. Babak baru segera dimulai. Kecemasan demi kecemasan datang bagai kumpulan ombak. Aku hanya bersiap untuk pecah bersama gulungan ombak ini, entah menghantam karang atau pecah di bibir pantai. Si Sefri, yang belum genap 22 tahun kala itu, menjebak diri masuk ke kubangan yang dibuatnya sendiri, tanpa dia sadari.

Saat aku sampai kembali di Takengon, di masa-masa penantian pengumuman kelulusan tes masuk ITB, kecemasanku bertumpuk antara takut tidak lulus, takut lulus, dan takut lulus tapi Marry dan Maissy tidak jadi berangkat kalau mereka lolos tes masuk BUMN. Berselang beberapa hari sekali aku coba kontak mereka, lulus atau tidak. Sampai entah hari keberapa, aku lupa pengumuman mana yang lebih duluan keluar, mereka berdua tidak lolos tes masuk BUMN dan berujung kami bertiga lolos masuk ITB. Resmilah kami jadi mahasiswa baru S2 ITB. Satu sisi aku lega ada teman berangkat dan nyari kos-kosan bareng, satu sisi merasa tercekik karena masuk ke penjara baru.

Berangkatlah kami lagi ke Bandung. Seingatku, aku berangkat hanya bersama Maissy, sedangkan Marry menyusul karena dia sendang sibuk mengurus pernikahan kakaknya. Kami masih menumpang di asrama Aceh, di ruangan kelas itu, sambil kami keliling mencari kos-kosan. Kami mengikuti proses daftar ulang di kampus di hari ke dua. Aku ingat hari itu adalah hari pernikahan kakak Marry, tapi dia kejar-kejaran dengan pesawat karena harus daftar ulang. Kami bertemu di tempat daftar ulang. Setelahnya, kami mulai keliling di sekitar Tubagus, Dipati Ukur, Cisitu Lama dan Baru. Susah sekali menemukan kos-kosan yang masih aman di kantong tapi masih layak huni dan masih sekitaran kampus. Kami keliling berhari-hari. Akhirnya di hari keenam aku di Bandung, aku mengontak seniorku di Fisika Unsyiah dulu yang sedang S2 di ITB juga, yang ternyata ngekos di ujung jalan Tubagus Ismail: Sadang Serang. Kami ditemani berkeliling di gang-gang Sadang Serang.

Ada satu rumah yang dua kali kami lewati. Ada nomor HP dipasang di sana tapi tidak bisa masuk waktu ditelepon. Lalu dari seberang rumah itu ada seorang pria mungkin berusia pertengahan 30 an menghampiri kami dengan motornya.

“Nyari kosan, teh? Itu di tempat saya ada”

Dia menunjuk rumah di seberang tempat kami berdiri. Lokasinya di jalan yang agak besar, bisa dilewati dua mobil. Kami masuk, naik ke lantai dua melihat kamar yang masih kosong. Tepat ada tiga kamar kosong, baru dibersihkan. Total ada 7 kamar di sana: dua baru saja terisi, dan satu tidak disewakan karena jadi gudang. Pas, ada tiga kamar kosong untuk masing-masing kami. Karena cocok, dan feeling seniorku juga oke dengan lokasi ini, kami deal. Besoknya, kami langsung beres-beres di ruangan kelas tumpangan kami di asrama, masuk ke kamar kos itu. Kami juga membeli beberapa barang untuk dipakai bertiga agar hemat. Ini menjadi tempat tinggal kami sejak datang ke Bandung, hingga lulus s2.

Hari-hariku di tahun pertama di Bandung diisi dengan dua hal: hasrat bereksplorasi ke penjuru Bandung, sekaligus bingung yang menekan mulai dari kepala hingga ke ulu hati. Kota ini sangat memikat. Tapi yang tidak kuperhitungkan dari awal adalah: bahkan di hari pertama masuk kuliah, damn I HATE this study. I love physics, but this atmospheric science things? I hate it to the bone.

Selanjutnya: Bandung Ep 3.1 – Lembar Baru, Pengalaman Baru (1)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart