Sebelumnya Bandung Ep 4.1 – Terlambat Disadari (1)
Aku tersambar petir di tempat. Akhirnya, geledek itu tidak terbendung lagi menyambarku tepat di ubun-ubun. Aku tidak bisa kabur lagi. Takut luar biasa. Gimana nanti aku menghadap? Aku harus jawab apa? Tidak ada penjelasan yang masuk akal kalau ditanya “kamu kemana aja?”
“gua takut banget, mesti ngomong apa nanti?”
“udah gakpapa ngadep aja bismillah” kata Shally
Di hari itu, aku berpura-pura berjalan biasa aja dan tetap menemani Bu Rida jalan-jalan. Masih bisa senyum lebar foto-foto. Bahkan malamnya, selepas mengantar bu Rida ke travel tujuan Bandara Soekarno-Hatta, aku masih memenuhi janji foto bareng teman-teman cewek sesama mahasiswa S2 ITB dari Banda Aceh yang kosannya berdekatan dengan kosanku. Gila, kok bisa masih ketawa-ketawa aku di momen itu, padahal di dalam lukanya gak ketolong. Hari itu adalah hari Sabtu.
Hari minggu, aku membuat persiapan seadanya untuk bimbingan. Aku kumpulkan progress ku yang hampir tidak ada itu, untuk ditunjukkan besok. Dengan gemetar, aku kirim pesan WhatsApp yang entah setelah berapa kali edit ke dosbing ku. Aku takut dengan jawabannya. Gimana kalau beliau benar-benar sudah tidak mau membimbingku lagi?
Kutunggu jawabannya dengan jantungan dan perut melilit. Jawaban singkatnya tiba, mengiyakan dan menawarkan jam janjian jam 3 sore, hari Senin. Aku lega, sekaligus gentar. Rasanya seperti mau masuk ke mulut harimau.
Senin jam 2, aku menunggu di ruangan mahasiswa yang kami sebut Lab, di samping perpustakaan tempat aku tes tulis di awal. Jam 3 sore, dengan gentar dan merapal doa, aku mengetuk ruangan dosbing ku.
“Masuk” katanya singkat
Gemetar aku masuk dan duduk di seberang mejanya. Tidak ada pertanyaan “kemana aja?” yang kutakutkan. Beliau langsung mengarahkanku ke ruang seberang, dan bimbingan di sana. Aku sedikit lega. Mungkin beliau juga. Kasihan juga beliau punya mahasiswa bimbingan begini. Di hari itu aku bimbingan sampai maghrib. Beliau ikut mengotak-atik program yang sudah jadi buatan Fuad, untuk dimodifikasi untuk penelitianku. Memang, hampir 80% tesisku adalah karya dosbing dan Fuad. Aku hanya menuliskan dan membuat tampilan grafik sedikit-sedikit, dan menambahkan interpretasiku sedapatnya.
Itulah momen pembuka aku terpaksa serius menggarap tesis, setelah ada secercah cahaya yang menerangi. 31 Oktober 2016. Jadwal rutin bertemupun dibuat oleh dosbingku: setiap Rabu. Tapi masih ada hari-hari aku kabur karena tidak kuat mental didamprat setiap kali bimbingan. Di saat itu aku hanya bisa tertunduk lemas dan menerima dampratan. Aku merasa pantas aja menerimanya. Tapi kala itu selama-lamanya aku kabur adalah sebulan. Selebihnya aku menguatkan nyali. Belum lagi kalau Fuad diminta hadir di ruangan bimbingan. Dampratan yang kuterima bukan cuma di ruangan bimbingan, tapi dari Fuad di luar ruangan setelah bimbingan usai. Perhitungan awalku salah. Kukira kalau diajari teman akan lebih flowy dan santai, tapi Fuad berubah mode menjadi mode kejam saat membimbingku. Baru kembali menjadi mode teman saat diskusi berakhir.
Tiap kali selesai bimbingan, wajahku pucat pasi. Aku tidak sadar kalau temanku tidak memberitahu. Ada kalanya dosbingku menghampiri ke Lab mahasiswa untuk bimbinganku. Ruangan itu ada tiga sekat: ruang dengan meja besar, ruang dengan meja-meja cubical, dan mushola. Teman-temanku auto menyingkir ke cubical saat aku bimbingan di meja besar. Setelah selesai, mereka memandangku dengan prihatin. Aku seperti biasa, sok kuat, padahal muka gak bisa bohong hmmm.
Di masa itu, kadang-kadang aku menginap di Lab agar lebih fokus. Di kosan aku tertekan mendengar suara klik mouse dan ketikan laptop dari kamar teman kos ku. Rasanya, kok mereka bisa sepinter dan selancar itu menggarap tesis, sedangkan aku masih banyakan jeda untuk mikir mau ngetik apa. Boro-boro ngetik, interpretasinya apa aja belum tergambar di kepalaku. Boro-boro interpretasi, grafiknya aja belum jelas. Tapi aku juga tertekan di Lab mendengar suara mouse dan ketikan keyboard dari temanku yang menginap.
Akhirnya, sejak pertengahan November 2016, aku memilih melipir ke perpustakaan kampus. Aku berangkat pagi, masuk perpustakaan, pulang sore. Di perpustakaan aku menyumpal kuping dengan lagu-lagu Avanger Sevenfold: cukup membantu otakku berpikir. Kadang-kadang aku baru mampir ke Lab kalau aku tau di sana tidak ada teman-temanku. Masa sosialisasiku berakhir. Aku mulai menghindar dan menyendiri. Banyak ajakan, meskipun sekedar ajakan sarapan bareng, aku tolak. Targetku, aku harus selesai maksimal bulan Maret 2017, karena kalau tidak, aku harus membayar uang semesteran lagi. Sebenarnya aku sudah harus lulus dan wisuda di bulan Oktober 2016, di momen aku justru baru mulai menggarap tesisku. Dua kali “surat cinta” alias peringatan keterlambatan lulus dari kampus melayang untukku. Tapi masih ada dispensasi waktu.
Hari-hari itu mulai dapat pencerahan tentang tesis yang kugarap, meski hanya seuprit-seuprit. Rasa tidak berdaya sekaligus pasrah kurasakan. Di momen itu juga, aku tiba-tiba terpapar postingan Retno Hening (iya, kala itu kirana lagi gemes-gemesnya, siapa yang dulu juga ikut maruk liatin kirana?), repost one minute booster Ust. Hanan Attaki. Aku tersentuh.