Bandung Ep 4.1 – Terlambat Disadari (1)

Sebelumnya Bandung Ep 3.2 – Lembar Baru, Pengalaman Baru (2)

Sejak awal masuk, aku merasa ITB bukan rumahku. Bukan tempatku. Aku tidak cocok sama sekali ada di sini, terutama karena aku salah ambil jurusan, yang sayangnya baru kusadari setelah masuk. Sinyal tubuh sebenarnya sudah memberitau sejak awal mendaftar, tapi boro-boro didengarkan. Apa itu strategy and authority? Mana kenal.

Semua kuliahnya tidak bisa masuk ke otakku. Gak ngerti sama sekali. Memaksakan diri memperhatikan di kelas dengan tatapan kosong hanya membuat mataku mengatup perlahan. Ngantuk. Aku disuruh sit in di kelas-kelas S1 yang mendukung pemahaman awal sebagai pondasi untuk paham kelas S2 ini yang pasti kesulitan aku pahami. Tetap blank. Aku tetap gak ngerti. Padahal yang diajarin di kelas S1 nya tipis-tipis dulu aku kenali dan cukup kukuasai semasa S1 Fisika dulu. Tapi aku kadung dikuasai takut, menggerogotiku dari dalam, sampai otakku beku dan tidak bisa berfungsi sama sekali. Sit in di kelas S1 tidak membantuku sama sekali.

Mulai narasi “aku bodoh, aku kualat, aku tersesat, aku gak mampu” dan sebagainya bergaung di kepalaku. Di semester pertama aku panik, tertekan, putus asa. Aku sampai curhat ke salah dua dosen S1 ku lewat sms. Aku menangkap kekhawatiran mereka dari balasannya. Sedikit suntikan semangat dari mereka, bilang kalau wajar merasa seperti itu di awal. Intinya mereka bilang I would be thriving at the next semester, which is, didn’t happened anyway. Semester depan, salah satu dosen S1 ku mengontak lagi menanyakan keadaanku. Worse sebenarnya, tapi aku saat itu merasa punya pengalihan lewat kumpul-kumpul sama teman dan jalan-jalan, aku hanya menjawab aku baik-baik saja.

Tak pernah sekalipun aku dokumentasikan dengan excited proses studiku. Aku malu mengakui kuliah di ITB. Aku merasa tidak pantas ada di sini: terlalu bodoh. Aku mengasihani ITB menerima mahasiswa sepertiku. Kalau ada kenalan baru yang nanya aku kuliah di mana, kujawab dengan tertunduk atau mengalihkan pandangan sambil mengucap ITB dengan suara pelan dan tertahan. Aku hanya bertahan di sini dan tidak mungkin cabut karena takut nanti kena penalti dari pemberi beasiswa.

Kadang aku merasa mungkin ini kualat, atau Allah hanya ingin menunjukkan padaku, “gini loh rasanya belajar di jurusan yang gak disukai” karena semasa sekolah sampai S1 aku selalu heran dan penasaran kenapa sampai banyak temanku yang bisa gelap sama sekali dengan pelajaran dulu. Saat itu aku rasakan semuanya. Semua ilmu yang sebenarnya dasarnya kukuasai dengan baik, menguap tanpa sisa. Operasi kalkulus sederhana yang dengan terampil aku operasikan dulu, tidak mampu lagi kuselesaikan. Boro-boro pemrograman. Gelap.

Apalagi membaca artikel ilmiah. Semuanya hanya seperti kata-kata yang lewat dari mataku, tanpa bisa kutangkap sedikitpun maknanya. Saat diminta review artikel dan dipresentasikan, aku hanya mampu menerjemahkan ke bahasa Indonesia dan membacanya apa adanya. Memalukan. Tidak jarang tugas review artikel baru mampu kuselesaikan di jam-jam terakhir menuju kuliah dimulai, karena tidak satu katapun yang bisa kupahami dari artikel itu. Aku merasa pantas kalau dihina, ditekan, dan dimarahi dosen-dosen dalam kondisi itu. Aku ijinkan beliau-beliau melakukannya. Aku hanya menelan bulat-bulat.

Aku penunda ulung kala itu, karena kata-kata “dasar bodoh, tolol, gak bisa baca” lah yang bergaung tiap kali aku membaca artikel. Semua kututupi dengan jalan-jalan. Tak jarang aku nongkrong atau jalan-jalan atau ngemall sendirian karena tidak ada yang bisa diajak pergi, demi mendiamkan kepalaku. Pernah kala itu ada promo tiket nonton bioskop hanya RP17.500 di Ciwalk dari Senin-Kamis dengan metode pembayaran khusus lewat aplikasi. Dalam seminggu aku bisa dua kali nonton sendirian, tidak peduli apa yang kutonton. Sering aku di dalam ketiduran, bangun-bangun lampu nyala dan aku pulang. Demi mendistraksiku dari membuat tugas review paper yang menumpuk dan menuju deadline.

Hal ini semakin parah saat aku masuk masa tesis. Kuliahku sudah habis. Proposalku asal jadi dan tidak yakin bisa kuteruskan karena aku punya zero idea tentang itu. Aku bahkan tidak bisa memilih topik karena dimataku semuanya gelap dan tidak bisa kumengerti. Aku tidak bisa membedakan mana yang mudah, mana yang sulit. Di satu waktu, akhirnya aku memutuskan memilih topik yang sudah dikerjakan seniorku, Fuad, yang sudah lulus tapi lanjut bekerja di ITB jadi asisten dosen kala itu, dan membantu mengerjakan proyek-proyek dosen. Dia juga salah satu teman mainku, jadi kupikir, mumpung dia masi di kampus, bisa ngajarin aku juga, meski terlalu besar risiko yang kuambil: topiknya di mata orang yang paham sangat sulit, dan dosen pembimbingnya cukup killer. Aku bakalan habis, habis bis bis sama beliau karena ke-nol-an isi kepalaku tentang the whole topic. Tapi kupikir, topik apapun akan susah untukku, jadi apa bedanya?

Dan seperti yang diduga, aku penunda ulung. Kutunda pengerjaan tesis. Padahal seisi proposal harus dirombak dan ulang dari awal untuk meneruskan tesis dengan topik ini. Aku kabur terus. Tidak bimbingan berbulan-bulan, karena kupelototi gimanapun aku gak ngerti. Idealnya, saat bingung justru harus menghadap ke pembimbing dan minta arahan. Tapi aku terlalu takut dimarahi. Nyawaku terbang tiap diomelin.

Sampai suatu ketika, Jumat, 28  Oktober 2016, ada seorang dosen S1 ku, Bu Rida, datang dan mengontakku, memintaku menemaninya karena beliau ada urusan ke UPI hari Sabtu nya. Di hari itu, setelah entah berapa bulan aku kabur dari dosen pembimbingku, di waktu aku sedang bersama Bu Rida di UPI, aku menerima pesan WhatsApp dari Shally.

“ada hal yang harus gua sampein. Amanah bu Ella (staf prodi)”

Aku tau ini adalah masalah besar, “apa?”

“tadi dosbing lu bilang mau mengundurkan diri dari pembimbing lu. Jadi, buruan Senin ngadep”

(Foto di atas muka shock abis kesambar geledek menerima chat barusan, tapi ditutup-tutupin, seakan-akan gak ada apa-apa depan bu Rida 🤣 suka rela jadi model bu Rida, beliau seneng fotoin aku entah kenapa waktu itu hahaha. Gile ya, kala itu aku sangat ahli pura-pura baik-baik saja)

Selanjutnya: Bandung Ep 4.2 – Terlambat Disadari (2)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart