Sebelumnya: Bandung Ep 4.2 – Terlambat Disadari (2)
Bulan Februari 2017, hilal tesisku selesai belum kunjung tampak, meski aku melihat kemungkinan itu. Tapi menurut dosbingku masih jauh dari layak untuk naik sidang. Aku mulai cemas tapi merasa tidak ada lagi pertolongan. Tiba-tiba, entah lihat di mana, aku tau kalau Ust. Hanan ada kajian tiap Rabu malam di Masjid TSM. Aku pertama kali datang ke sana bersama Maissy dan Fani (waktu itu, Maissy sebenarnya sudah wisuda sejak Agustus 2016, tapi masih di Bandung untuk melihat peluang berkarier, masih dalam kegelapan juga).
Momen itu adalah keajaiban. Itu adalah kali pertama aku merasakan kehadiran Allah yang utuh saat shalat. Entah kenapa, Ust. Hanan bisa membawa jamaahnya ke state itu, dari Al-Fatihah dan surat yang beliau baca saat mengimami kami. Aku merasakan nyawa bacaannya, seakan aku mengerti arti bacaannya padahal aku tidak pernah serius menghapal arti ayat Al-Qur’an. Di momen itu, pemahaman hadir, dan terkonfirmasi saat Ust. Hanan membahas isi surat yang dibacakannya. Surat Maryam. Aku paham tanpa tau artinya secara literal. Divine knowing.
Dilanjut dzikir dan istighfar yang beliau pandu. Itulah momen pertama aku merasakan dzikir ada nyawanya. Menghantarkanku pada-Nya. Tangis tidak terbendung. Rasa haru dan perih memenuhi dada, lalu dikoyak oleh rasa rindu. Apakah harus sampai mengalami pengalaman sepahit ini baru aku bisa bertemu dengan-Nya? Rasa syukur atas semuanya menguasaiku. Tidak ada yang lain selain terimakasih. Terimakasih atas the whole S2 thing ya Allah. Di momen itu, aku pasrah, dan menjadi titik awal aku jadi sering ikut kajian beliau di TSM. Kalau tidak ada teman ke sana, aku jabanin pergi sendiri. Memang menjemput ketenangan hati dan bertemu dengan diri sejati kadang harus dimulai dari perjalanan fisik, menuju tempat fisik, sebelum paham bahwa kedamaian bukanlah di mana-mana melainkan dalam diri sendiri.
Hatiku lebih lapang, pengerjaan tesis lancar meski pada akhirnya, harus kuhadapi di Maret 2017, aku belum layak sidang. Aku belum bisa wisuda. Pahit kuterima karena pertama, kata-kata dosbing ku kala itu bagai setruman, bahwa aku memang belum layak. Saat kusampaikan concern ku tentang harus membayar uang semesteran lagi jika tidak bisa wisuda bulan itu, dosbingku bilang itu bukan urusannya. Itu momen pertama kali tangisku pecah di kampus, di depan Shally. Gak kuat lagi. Kedua, aku gentar harus bilang ke orang tuaku, dan harus minta uang semesteran. Gagal rencanaku S2 dengan full beasiswa, karena di satu semester aku masih harus minta uang kuliah ke orang tua. Uang beasiswa habis, karena masa studiku memang harusnya berakhir. Aku tidak punya pegangan lagi. Aku mengesampingkan bayangan tentang dari mana orang tuaku dapat uang kuliah, apakah harus menjual sesuatu atau mengorek tabungan darurat. Saat kuutarakan, tidak ada penolakan dari orang tuaku. Mungkin mereka juga hopeless gimana caranya membantuku keluar dari neraka ini. Menambal uang kuliah di akhir lah cara mereka membantu secara fisik, selain doa secara hati dan spirit.
Setelah lewat masa genting itu, aku jalani hari tanpa ekspektasi apapun. Mau apa lagi? Wisuda tidak terkejar dan uang semesteran sudah terbayarkan. Dan sampai di Mei 2017, aku akhirnya sidang. Aku resmi bergelar M.Si. Lulus sidang dengan nilai A. Luar biasa pergolakan kala itu. Di saat sidang, dosbing ku tidak menghabisiku, aku cukup lancar memaparkan, dan beliau membantu di saat aku kewalahan. Aku sakit batuk cukup lama kala itu, dua mingguan sebelum sidang. Di saat sidang pun aku harus membawa minum, karena tenggorokanku gatal. Aku bersyukur akhirnya hari itu sampai. Sebenarnya proses pengerjaan tesisku luar biasa. Aku tulis tesis dari awal sampai selesai dalam waktu enam bulan saja, tentu dengan peran besar dosbingku dan Fuad.
Beberapa hari setelah sidang, masuk bulan Ramadhan. Dengan hati yang lega, hanya tersisa hutang revisi dan perintilan lainnya untuk wisuda Juli nanti, aku menjalani Ramadhan to the fullest. Aku mulai menjadi makhluk sosial lagi. Saling membangunkan sahur di kosan, tiap sore menjelang magrib ngangkot ke masjid Salman (selain mengejar makanan berbuka gratis, juga menikmati vibe Ramadhan di masjid itu enak bangets), baca qur’an, berbuka bersama sampai menyabotase salah satu pojokan di Salman untuk kami makan. Tidak satu haripun kami lewati buka puasa dan tarawih bareng. Sekali seminggu, kami ikut tarawih berjamaah sama Ust. Hanan kalau bukan di masjid Al-Lathif ya di masjid TSM. Tiap selesai, selalu kami abadikan momen dengan foto bareng. Mungkin masing-masing kami tau, kalau itu adalah tahun terakhir kami berkumpul bersama di Bandung, maka kami jalani dengan seindah-indahnya.
Satu per satu kami pulang kampung karena mau lebaran, dan rombongan pulang terakhir adalah aku dan dua temanku yang sama-sama pulang lewat Banda Aceh, kak Jenny dan Lina. Aku pulang kampung belakangan karena masih ada agenda Sidang Terbuka, acara terakhir dalam rangkaian penyelesaian S2 ini sebelum wisuda. Hari itu, di hari Sidang Terbuka, setelah 40 hari lebih aku tidak mens dan batuk berkepanjangan, aku akhirnya mens lagi. Akhirnya tubuhku merasa aman. Tengah malam di hari yang sama, aku, kak Jenny, dan Lina berangkat naik travel ke Bandara Soekarno Hatta dari Bandung: kami terbang ke Banda Aceh lewat Jakarta, siap lebaran dengan tenang. setidaknya untukku.