Bandung Ep 6 – Masa kegelapan 2.0

Sebelumnya: Bandung Ep 5 – The Moment of Truth

Ramadhan kali itu adalah hadiah berupa jeda dari penderitaan tiga tahun di ITB, yang kubuat sendiri, seperti kudeskripsikan di awal. Momen itu masih dibumbui dengan selebrasi wisuda. Sehabis momen lebaran di Takengon, aku bersama Mamak dan dua adekku berangkat ke Bandung untuk menghadiri wisudaku.

Momen wisuda ini tidak kusangka sebegitu dramatisnya untuk mamak dan adekku. Di ruangan wisuda, tidak kusangka mereka menangis sesenggukan melihat namaku dipanggil untuk diwisuda. Mungkin mereka merasa antara kasihan, lega, haru, dan sedih, akhirnya aku yang tersiksa sepanjang tiga tahun akhirnya keluar dari neraka itu, dengan gagah berani. Ucapan tulus dari teman-teman yang menyaksikan perjuanganku mengalahkan bagian diri yang tidak memberdayakan juga sangat menghangatkan hati. Sampai hari inipun tenggorokanku tetap tercekat mengingatnya. Bahkan, adekku yang tadinya ogah S2 karena melihat penderitaanku, tau-tau terinspirasi mau S2 juga (yang berujung dia akhirnya lanjut S2 doble degree: di IPB dan Adelaide University setahun kemudian), hanya gara-gara momen wisuda itu.

Sepulangnya keluargaku ke Takengon, aku kembali terperangkap di Bandung. Ternyata penderitaan belum selesai. Luka selama s2 ini masih kuat menghantui. Narasi “aku bodoh, lemah, tidak bisa apa-apa, tidak capable, tidak bisa membaca” bergaung berulang ulang. Suicidal tought mulai menghampiri, meski aku tau jelas aku tidak mungkin bunuh diri. Tapi bayangan memegang pistol tiap memejamkan mata terlalu nyata untuk diabaikan, dan mendadak terbuka saat aku menarik pelatuk. Untungnya aku tidak punya gangguan tidur.

Aku masih belum bisa berfungsi optimal sebagai manusia. Aku harus melakukan sesuatu untuk berdaya, tapi tidak mampu karena merasa miskin, tidak ada skill, tidak ada pengalaman, dan sebagainya. Aku bingung harus memulai karier dari mana. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mencari lowongan kerja yang bisa menerima banyak ketidakbisaanku.

Bulan Agustus 2017, aku mencoba peruntungan memasukkan lamaran ke kampus S1 ku. Aku sengaja terbang dari Bandung ke Banda Aceh untuk menemui dosen S1, untuk sekedar ngobrol dan memasukkan berkas bukti aku sudah lulus S2, siapatau ada peluang aku bisa berkontribusi di kampus. Tapi, momen itupun terasa sangat salah. Aku tidak mau mengajar. Aku bisa membayangkan stress nya tiap mau masuk kelas harus menyiapkan materi, belajar lagi, sendangkan aku sudah muak dengan academic things. Enough for that. Aku tetap menjumpai dosenku, tapi aku kembali ke Bandung, entah untuk apa. Hanya memperpanjang masa pengurungan diri: menghindar dari pertanyaan “kapan” dari berbagai penjuru.

Akhirnya aku pulang ke Bandung lagi, tidak jelas juntrungannya. Hanya mendekam di kosan. Sesekali mengintip lowongan pekerjaan lewat email lowongan kerja yang ku subscribe. Lempar lamaran kesana kemari. Ikut jobfair. Di sebagian besar waktu, aku hanya nonton series, main Instagram, dan beli makan. Kehidupan sosialku nol, bahkan dengan teman satu kos tidak mau berinteraksi lagi. Maissy dan Marry sudah cabut, meski Maissy masih menyewa kamar kos kalau-kalau ada keperluan ke Bandung lagi. Semakin sempurna kesendirianku. Sampai suatu ketika, di bulan September 2017, ada pembukaan lowongan CPNS besar-besaran. Ada satu lowongan yang bisa kulamar dan benar-benar spesifik menuju bidang khusus S2 Sains Atmosfer yang cuma ada di ITB: BMKG bidang Prediksi Cuaca. Sepintas mengabari orang tuaku, dan mereka setuju aku melamar. Apa lagi coba pilihannya? Cuma itu kan. Aku tidak peduli nanti bekerja apa, bahkan bidangnya tidak kugubris, yang penting kualifikasiku memenuhi melamar ke sana. Maissy pun akhirnya kembali ke Bandung, karena dia melamar formasi di salah satu kementrian dan lokasi tes nya di Bandung dan Jakarta.

Aku mendaftar dari Bandung. Pas momennya karena masih dekat dengan lokasi ujian di Jakarta. Berkas awal kukirim lewat pos. Waktu itu aku berdua dengan salah satu teman kampusku beda angkatan, Tari, yang sama-sama melamar ke BMKG untuk bidang yang berbeda. Meski aku tau, yang melamar di bidang targetku bisa dihitung jari (kalau kalian ingat seberapa sedikitnya orang yang mengambil bidang khusus Sains Atmosfer yang hanya ada di ITB kala itu). Aku bisa track senior-seniorku yang akan mengambil jurusan ini dan semua yang kukenal sudah bekerja dan tidak melamar CPNS kala itu. Sepanjang pengamatanku , cuma aku yang melamar. Peluang lulus besar. Saingan bukan satu indonesia, melainkan bisa jadi tidak ada saingan.

Serangkaian tes kujalani. Waktu tes, aku berangkat ke Jakarta bersama tari subuh-subuh naik kereta jarak jauh Bandung-Jakarta. Jarak pengumumannya rata-rata satu bulan. Di antara itu, aku mendekam lagi di kosan. Kegiatan yang mengisi adalah, aku senang main kertas kala itu. Aku buat banyak exploding box, semacam scrapbook. Sebagian kujual, kalau ada yang minat. Di sela waktu lainnya, aku belajar sedikit-sedikit.

Ternyata bukan hanya aku yang melamar hahaha. Ada tiga orang. Aku sempat ngobrol dengan Mba Dini, salah satu dari kami bertiga, di momen tes bidang, Psikotest, dan wawancara. Dia juga awalnya menyangka hanya dia yang melamar hahaha. Ternyata dia kuliah Sains Atmosfer ITB dua tahun sebelum aku masuk, jadi dia lulus saat aku baru masuk. Pantas kami gak saling kenal. Jadi cukup membuat kami harap-harap cemas. Setelah rangkaian tes kedua, November 2017, aku memutuskan bertaruh. Aku pulang ke Takengon dengan perhitungan, kalau aku tidak lulus, yasudah aku sudah lepas dari Bandung. Kalau aku lulus, aku pergi ke Jakarta. Tapi waktu itu aku tentunya belum ada tempat tinggal di Jakarta. Akhirnya, aku minta ijin ke teteh yang punya kos, untuk memberi jeda sampai pengumuman kelulusan CPNS ku keluar. Kalau aku lulus, aku mau lanjut satu bulan lagi di kos itu, untuk jadi persinggahan semasa aku cari-cari kos di Jakarta nanti. Kalau aku tidak lulus, kosannya boleh disewakan ke orang lain. Beliau setuju.

Waktu itu, ada Maissy di kosan. Dia memutuskan untuk menunggu pengumuman di Bandung saja. Di pagi aku akan berangkat ke bandara Husein Sastranegara dari kosan naik taksi online, Maissy ikut. Nebeng sampe depan ITB katanya. Kami sama-sama tau, itu cara terselubung kami mengucap perpisahan. Beberapa meter sebelum berhenti di depan ITB jalan Ganesha Maissy bilang:

“Kita bakalan ketemu lagi gak ya, Sep”

“Gaktau”

“Jangan nangis-nangis klen ya” tau-tau supir taksi online menyahut.

Aku hanya bisa tertawa sedikit, pahit. Pada akhirnya, memang itulah hari terakhir kami jadi sahabat sedekat itu. Teman pertama yang kukenal bahkan sebelum berangkat ke Bandung, hingga mengantarkanku di jalan perpisahan kami. Hidup berevolusi, dan memang sempurnanya seperti itu.

Maissy hanya bertahan dua hari setelah kepulanganku ke Takengon. Dia menyusul pulang ke kampungnya dua hari kemudian.

Ternyata aku terlalu gila bertahan menunggu serangkaian proses tes CPNS ini selama tiga bulan. Gak heran suicidal tought menyusup, karena nyaris gak bisa berfungsi ngapa-ngapain sepanjang waktu penantian itu.

Terakhir: Bandung Ep 7 – Akhir Penantian

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart