Aku teringat dulu waktu jaman S1 aku ngajar bimbel, seorang murid tanya ke aku. “Kakak jurusan Fisika, emang dulu gak mikirin prospek kerja, ya?”. Aku yang sampe sekarang kalo ditanya pertanyaan-pertanyaan mengagetkan gitu langsung bingung mau respon apa. Karena jujur, jawabannya enggak. Aku gak pernah mikirin prospek-prospekan untuk pilih jurusan Fisika. Aku lupa dulu jawab apa ke anak ini.
Tapi dulu dan sekarang, penjelasanku masih sama. Sedari awal aku SMA kelas dua aku udah tau aku kepingin masuk MIPA jurusan Matematika, simply karena aku kepingin aja. Aku mau belajar matematika murni, gak peduli nanti mau kerja apa dari jurusan itu. Pokoknya aku suka pelajarannya, dan aku mau kuliahnya itu.
Btw mungkin cerita ini agak ngulang tapi I’ll write it anyway. Jaman sekolah dulu aku emang suka matematika, meski gak terlalu jago, but I love it. Tapi waktu UMB (tahun 2009 tu UMB adalah tes pertama sebelum SNMPTN, dan SNMPTN saat itu setara kayak SBMPTN sekarang) dikasi pilihan 4 jurusan: dua diantaranya pilihanku, dua pilihan orang tua. Of course sebagai anak nurut aku ambil urutan pertama dan kedua adalah pilihan orang tua, ketiga Fisika, keempat Matematika. Aku juga gaktau kenapa malah matematika kutaro di pilihan paling akhir, padahal jujur aku ngasal klik Fisika, padahal jaman SMA aku jauh lebih senang Kimia daripada Fisika. Singkat cerita, rejekinya aku di Fisika. Ada penolakan besar dalam diriku waktu itu, gakmau ngambil. Tapi ujung-ujungnya kujalani juga, dan di pertemuan pertama, kedua, ketiga mata kuliah Fisika Dasar I, aku langsung in love sama Fisika. Rasanya kayak apa yang aku gak bisa ngerti dari Fisika selama aku sekolah dibawa ke perspektif lain dan ternyata segampang itu ngertinya, dan semenarik itu, sampe datangnya suatu rumus tu bisa diambil dari jalan cerita. Aku lanjutkan pendidikanku di Fisika sampai sarjana dengan modal cinta, gak ada dorongan untuk saingan sama siapapun, pure aku kuliah karena rasa cinta sama ilmu ini. Gak peduli nanti ada kerjaan yang sesuai atau ada yang mau nerima anak ilmu murni atau enggak. Meski masuknya “kecelakaan”, tapi aku jadi jauh lebih cinta sama Fisika dibanding Matematika karena aku merasa Fisika ini lebih ada ceritanya sampe keluar tu rumus-rumus matematisnya.
Aku jaman S1 begitu otentik dan sedikit nyentrik. Gak peduli dunia sekitar. Egonya masih gede sampe hampir gak punya kawan dekat. Gak ikut organisasi manapun karena gak merasa selaras sekaligus banyak takut. Aku masih berusaha ada peran lain di luar kuliah dengan coba jadi guru bimbel. Agak maksain karena aku ternyata gak suka ngajar fisika sekolah, tapi setidaknya itu upayaku dulu untuk nyoba hal lain di luar kuliah. Gak pernah mau bersaing dan disaingi siapapun, karena aku merasa gak suka kompetisi. Aku kuliah cuma buat diriku, bukan buat nyiapin bekal untuk nyari kerja, apalagi sekedar ngejar nilai bagus. Tapi semua berganti saat masa kelulusan tiba.
Segala penjuru mulai mempertanyakan abis ini mau kemana. Sebenarnya sedari awal aku emang langsung kepikiran gak nyari kerja tapi lanjut sekolah. Tapi kalo ditanya orang abis itu mau kerja apa setelah S2, biar cepet aku jawab aja jadi dosen, meski aku gak ngerti dulu alurnya gimana. Tapi karena udah teracuni perkara prospek kerja, aku mulai make otak untuk milih jurusan S2. Aku yang sebenarnya cinta Fisika murni dan kepingin belajar lebih lanjut tentang itu, malah ngambil Sains Atmosfer dengan alasan: masih dikiiit yang ngambil jurusan ini untuk S2 di Indonesia, jadi kalo aku nyari kerja semoga saingannya dikit. Akhirnya aku ambil jurusan itu dengan hati setengah-setengah tapi otak sok yakin.
Dan benar saja, sedari awal udah membuat shock diriku. Waktu daftar, aku dapati cuma aku yang milih jurusan ini di angkatanku. Aku nyess bayangin kuliah sendirian untuk ilmu yang masih bisa dibilang asing dan baru. Tapi bukannya reconsider, aku maksa nerusin. Padahal hati terdalam udah teriak, “hey, udah ganti aja jurusan lain, ambil Fisika, kan pinginnya belajar Fisika murni kok malah nyasar di sini?”. Udah ketebak setelahnya kan. Struggle untuk mengerti, tertekan, nyaris depresi, kabur-kabur waktu tesis, dimarahin karena gak ngerti-ngerti kalo diajarin dan sering kabur pula. Parahnya lagi, segala kebisaan aku di jaman kuliah tentang Fisika dan Matematika nyaris lenyap menguap semua, hampir gak ada sisa sampe sekarang.
Gak cuma sampe situ kekeliruanku. Sesuai pemikiran awal tentang prospek, betul adanya bahwa nyari kerja lewat jurusanku minim saingan, dan kerjalah aku hingga sekarang di bidang ini. Tapi karena sedari awal kuliah pun aku udah gak ada hati tapi denial, malah milih nerusin kerja di bidang yang sama tentu torture nya berlipat-lipat. Jujur, di awal-awal dulu aku gak aware soal ini. Aku kira, yang penting aku dah dapat tiket masuk. Lagipula aku dapatkan ini semua dengan doa yang kuat, pasti ini yang terbaik. Meski aku kuliah di bidang ini aku gak ngerti apa-apa, tapi di awal kerja aku lumayan sok-sok ngerti ini itu. Sampe akhirnya aku diam dan betul-betul tanya ke diri, what’s wrong with me? Ya, everything is wrong since the beginning. Tapi kan aku sampe sini juga pake doa yang kencang, seharusnya gak ada yang salah dong? Ya, but remember God also make things happen to teach you something, and now you know. Dialog macam ini berputar-putar di kepalaku.
Apakah aku nyesal? Masih sering menyesal. Tapi apakah aku anggap ini bukan hal baik? Gak juga. Aku masih nyari titik tengah di hatiku sampe saat ini. Setidaknya sekarang, in this very moment, aku berusaha netral, antara menyadari bahwa aku gak bisa menjalankan peranku dengan maksimal di sini dengan mencoba eksplor lebih jauh peran apa yang bisa aku mainkan di sini dengan versi otentikku. Yang kulakukan sekarang adalah mencoba netral dan gak maksain apapun di kerjaan sekarang. Gak maksa sok bisa kalo disuruh sesuatu yang diluar kemampuanku, tapi tetap ngasi kemampuan terbaik yang aku bisa di state netral ini.
Aku sampe di tahap ini melalui jalan yang sangaaaat panjang. Karena pertama kali sadar dan bangun, keinginanku untuk berhenti sangat kuat. Tapi ada hal lain yang mesti kucoba dulu sampai aku bisa narik kesimpulan.
Inti dari ceritaku di atas adalah poin-poin ini:
- Eksplor minat dan bakat diri sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya semasa sekolah
Selagi muda, di bidang apapun kamu tertarik, belajar dengan tekun. Jangan khawatir kalau nilai di sekolah jelek. That’s just a number. Kalau kamu jelek di bidang A, artinya kamu bisa expert di bidang B, asalkan kamu tune in dan tekun. Pelajari apapun yang kamu mau, mau musik, gambar, pahat, tari, sains, matematika, apapun. Gak usah pedulikan itu nanti mau dibawa kemana. Kalau kamu senang lakukan sekarang, do it anyway. Kamu hidup hari ini, besok masih diluar kendali, jadi jangan terlalu khawatirkan nanti-nanti.
- Pilih bidang mana yang kamu paling minati
Dari sekian banyak kesukaan kamu, pilih satu bidang yang kamu paling suka dan kamu pingin pelajari lebih dalam. Karena di universitas tentu satu bidang dipelajari bertahun-tahun. Kalo membayangkannya bikin kamu bahagia, ambil. Kalau bisa jangan kasi ruang kanan kiri mendistorsi keputusanmu. Kalau di awal kamu bingung, boleh minta pendapat siapapun yang kamu percaya. Tapi apakah pendapat itu akan kamu ambil sebagai keputusan atau enggak, kamu yang punya kuasa. Rasakan saat membayangkan pendapat itu kamu ambil apakah kamu merasa light up atau gak nyaman. Kalau rasanya gak nyaman tapi tetap kamu ambil karena merasa yang ngasi pendapat lebih bijak dari kamu, itu adalah keputusan gak bijak, karena seiring jalan kamu akan kesulitan menjalaninya.
- Pilih jurusan masuk kuliah yang kamu betul-betul pingin pelajari, bukan karena prospek
Kalau kamu belajar sesuatu yang sangat kamu suka, sadar atau enggak, karismamu keluar. Orang akan tertarik menggunakan wisdom kamu yang pasti unik, otentik milikmu sendiri, meski kamu ngambil jurusan yang keliatan kurang punya prospek kerja atau jurusan yang stigmanya “rebutan” kalo nyari kerja. Kalau kamu cinta sama bidang itu, pasti kamu jalani dengan sepenuh hati, dan kamu bisa jadi ahli dalam bidangnya. Mau sebanyak apapun orang di bidang itu, kamu cuma satu dan gak ada yang bisa menyaingi dan memang tidak perlu, karena tiap orang unik dan punya wisdom masing-masing. Lagipula rejeki udah ada yang ngatur, tinggal kamu milih jalan yang gampang apa susah. Gampang: ngikutin kata hati, susah: melawan kata hati karena teracuni konsep prospek kerja. Jangan takut, karena kalau kamu ngikutin kata hati, berarti kamu ngikutin petunjuk Allah. Kalo Allah ngasi petunjuk, artinya ada alasan kenapa kamu punya interest itu: karena dunia, alam semesta ini, membutuhkan kamu untuk jadi ahli di bidang itu. Kenapa kamu masi dikasi interest itu padahal udah banyak orang yang kuliah di bidang itu? Ya karena alam semesta raya ini masih membutuhkan banyak orang di bidang ini. Jangan khawatir dunia ini gak cukup untuk kamu. Kamu pasti punya tempat. Tinggal kamu serius dan tekun di bidang yang kamu suka.
- Interest kamu bisa berubah seiring berjalannya waktu
Kuliah itu, apalagi S1-S3, adalah ladang cari ilmu. Tapi untuk kerja, kita butuh skill. Skill bisa didapat dari pelatihan dan dapat sertifikat. Dan untuk dapat sertifikat gak perlu kuliah. Nah, kalo niat kuliah adalah untuk nyari kerja, benang merahnya gak ketemu. Jadi, kalo kuliah ya kuliah aja, dalami ilmu yang kamu suka. Seiring jalan, bisa aja interest kamu berganti, dan kamu pingin kerja di bidang yang sama sekali berbeda dengan jurusan kuliah kamu. Kamu tinggal ikut sertifikasi, jadi lah kamu praktisi di bidang itu. Coba liat contohnya banyak sekarang, orang yang kuliahnya apaa eh kerjanya jadi nutritionist yang bisa bantu banyak orang untuk sehat. See? Kerja gak make ilmu kuliah. Tapi memang yang diambil dan diekstraksi dari kuliah bukan plek-plek bidangnya, tapi cara kamu berpikir, pengalaman, dan cara pandang. Kamu bisa aja lupa apa yang kamu pelajari di kuliah, tapi aku rasa hal-hal itu tadi akan kamu bawa sampe kapanpun dan dimanapun kamu bekerja.
Semangat para pejuang universitas dan dunia kerja! Intinya apapun tahapan kamu sekarang, jadilah dirimu yang sejati sesuai fitrah.