Bulan puasa lalu, aku mendapat kebijaksanaan baru dari Tiga Fakir tentang tarawih dan tahajjud di bulan Ramadan. Selama ini, di bulan Ramadan kita disibukkan dengan setumpuk kegiatan yang kita anggap ibadah demi mengejar pahala. Padahal, hakikatnya Ramadan adalah momen beristirahat untuk terkoneksi pada diri lalu pada Allah, agar dituntun pada pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas dalam hidup. Itulah tarawih.
Lalu kita tidur dan bangun di sepertiga malam, untuk mempersiapkan diri menerima jawaban, menerima kebijaksanaan dari Allah. Momen bangun ini adalah tahajjud. Sadar penuh. Bangun dari tidur. Siap mendengarkan dengan cara tune in dengan frekuensi kebijaksanaan yang Allah alirkan, yang sebenarnya selalu ada di sini tapi karena kita tidak pernah berada di frekuensi itu, kita tidak pernah mendengarnya. Terlalu terlelap dalam mimpi yang kita anggap sebagai kenyataan. Terlalu terselubung ilusi, sehingga tidak bisa membedakan mana yang asli dan yang palsu. Ini yang terakhir dibahas di episode terakhir Podcast Tiga Fakir 103|Serial Shalat #8.
Lalu pagi ini tiba-tiba aku tersentak dengan satu hal: ilmu dari mba @bidan_niken tentang betapa spesialnya perempuan karena dia punya cara khusus terhubung dengan Tuhan, dengan esensi Tuhan yang ada dalam dirinya lewat portal yang bernama rahim. Perempuan tidak diciptakan seperti laki-laki yang selalu terhubung dengan Tuhan lewat “atas”. Ada waktu-waktunya perempuan perlu terkoneksi dengan Tuhan lewat “bawah”, lewat rahimnya. Itulah mengapa perempuan punya siklus bulanan: tidak seperti laki-laki yang siklusnya harian. Khususnya saat menstruasi: di sana portal terbuka sepenuhnya nyaris tanpa filter, untuk menerima kebijaksanaan dari-Nya, sebagai jawaban dari apa yang dia pertanyakan, dari masalah-masalah, pola-pola berulang, emosi yang belum tuntas, dsb.
Aku tersentak bahwa, ternyata pola tarawih-tahajjud ini sangat mirip dengan fase luteal dan menstruasi. Di fase luteal (fase setelah ovulasi), banyak trigger yang naik ke permukaan minta diselesaikan. Banyak rasa tidak nyaman yang minta diproses. Banyak pertanyaan yang masih menggantung. Banyak emosi yang entah dari mana tiba-tiba datang. Society menamainya Pre-Menstrual Syndrome (PMS) dan selalu dikaitkan dengan stigma negatif. Padahal rasa ketidaknyamanan, di fisik maupun emosi, itu semua memberi sinyal bahwa ada yang perlu dicari tau asalnya. Dicari tau penyebabnya. Diselesaikan. Dilepas. Terutama di level mental dan emosional, banyak pikiran yang muncul dan mentrigger emosi tertentu. Di fase luteal, saatnya kita kumpulkan informasi ini. Kalau bisa dicatat di journal sebagai rekaman.
Tentu saat trigger naik, kita juga perlu menavigasinya dengan bijak. Di fase luteal, idealnya memang kita lebih slow down. Tune in dengan diri sendiri dan tidak terlalu sibuk bekerja ke luar: lebih fokus ke inner work, yaitu bersedia merasakan rasa yang hadir, pertanyaan yang datang, dengan tetap berpegang pada inti diri agar tidak dikontrol oleh pikiran dan perasaan yang berusaha mendominasi. Di fase ini sangat penting menjadi pengamat yang baik untuk diri, bukan terbawa dan dikontrol oleh pikiran dan emosi.
Lalu di saat menstruasi, portal terbuka lebar nyaris tanpa tabir untuk melepaskan segala yang tidak selaras lagi. Fase ini menjadi momen healing alami bagi perempuan: saat darah menstruasi keluar, dilepaskan pula segala trauma, luka, emosi negatif, pikiran negatif, limiting beliefs, dsb, jika saat fase luteal kita berkesadaran mengamati trigger apa yang hadir, agar berkesadaran pula dalam melepasnya saat menstruasi. Begitu ajaib tubuh perempuan: mengorbankan darah suka rela tanpa rasa sakit (jika menghormati siklus bulanannya), tanpa perlu melukai diri, tubuh suka rela mengeluarkan darah sebagai momen penyembuhan. Secara alami kita dibersihkan setiap bulan oleh tubuh sendiri, sebagai fasilitas yang Allah sediakan.
Lalu, terbukanya portal ini juga menjadi momen kita tune in dengan kebijaksanaan yang Allah berikan. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul saat fase luteal. Atau jawaban pertanyaan lain, yang rentetannya mungkin juga menjawab pertanyaan itu. Kebijaksanaan ini begitu berharga. Kebijaksanaan yang hakiki, melampaui logika. Kebijaksanaan yang tidak selalu sanggup terungkap dengan kata-kata, karena mungkin khusus hanya untukmu. Cahaya pengetahuan dan kebijaksanaan.
Sebagaimana tarawih dan tahajjud, keajaiban fase luteal dan menstruasi ini juga bisa didapat jika kita menghormati siklus dan berkesadaran saat menjalaninya. Bukannya melawan dan melakukan sebaliknya. Bukan hanya “dijalani saja” karena sudah lumrahnya begitu. Bukannya masih sibuk dengan duniawi. Tetapi benar-benar masuk ke alam semesta kecil: yaitu Diri.
Dua bulan ini, aku mengamati betapa jomplangnya fase menstruasiku. Bulan sebelumnya, rasanya siklusku lebih mulus, minim drama, lebih berkesadaran, dan lebih terpenuhi kebutuhan fisik, mental, dan emosionalku. Tapi bulan ini, banyak ketidakseimbangan yang terjadi. Mulai dari makanan hingga pola kerjaku. Bukan sesuatu yang kusesali, tapi entah mengapa aku merasa memang bulan ini harus seperti itu terjadinya. Makananku kacau, konsumsi gula dan tepung di atas rata-rataku. Lalu ada ide kreatif datang di fase luteal yang aku tau akan menghabiskan tenaga dan pikiran, kueksekusi di fase ini. Aku tidak menjalani fase luteal untuk menyelami diri. Kerja yang idelanya dilakukan di fase folicular hingga ovulasi, kueksekusi di fase luteal. Tidak tau mengapa, aku merasa memang harus seperti ini jalannya bulan ini. Manifestasinya: menstruasi yang sakit, banyak gumpalan, dan emosi yang idealnya tinggal dirilis, baru muncul triggernya di hari ke tiga menstruasi. Seakan mengejar deadline: harus dituntaskan sebelum mens berakhir. Terasa didesak semuanya.
Tapi itulah, kadang yang terjadi memang harus terjadi. Pun hidup adalah pilihan yang selalu ada konsekuensinya. Tinggal pilih yang mana. Rupanya, di siklus kali ini, pilihanku adalah yaudahlah dorongan terlalu kuat untuk “melenceng” dulu. Pikiran tidak bisa kudiamkan sebelum kutuntaskan project di fase luteal, sehingga aku memilih sendiri “menstruasi yang sakit” kali ini. Mungkin juga sebagai pembelajaran. Kalau sabar itu perlu loooh. Tapi gak sabar juga gak papa, asal tau konsekuensinya dan jangan “adoh-adoh” aja. Dan jangan sering-sering begini yaa. Love and support your body.
Jadi, silakan jor-joran kerja di fase folicular dan ovulasi. Eksekusi semua ide kreatifmu. Saat luteal, slow down dan masuk ke dalam diri: banyak-banyakin tanya ke dalam, sehingga saat menstruasi kita siap melepas apa yang tidak selaras dan menyembuh, sehingga siap menerima kebijaksanaan.
Ngomong-ngomong, gimana siklus menstruasimu? Apakah lagi PMS? Nanti kalau mens, apa yang mau dirilis?
Kak, makasih banyak udah buat tulisan ini, benar2 relate dengan yg aku butuhkan saat ini..
aku merasa seperti memiliki teman seperjuangan, teruslah menulis yaa kak🤗🌹
Hi kak Herlin! Sama-sama, kaak 🙂 makasih juga supportnya yaa. Senang berjalan bersama 😉