Qada, Qadar, Takdir, dan Hubungannya dengan Human Design

pexels-photo-1169754-1169754.jpg

Kemarin, aku ikut kajian online Bang Dame yang membahas Bab VI dari buku Kernel of the Kernel Ibn ‘Arabi. Di sini dibahas tentang bagaimana suatu ketetapan (qada) akan mewujud menjadi takdir dengan ukuran (qadar) masing-masing. Satu hal yang kemarin membangunkanku adalah saat berkali-kali Bang Dame mengaitkan qadar ini dengan blue print setiap makhluk. Termasuk manusia. Lalu aku teringat, hal ini juga sempat kudengar di Podcast Tiga Fakir Serial Hukum Semesta tentang Hukum Ukuran.

Aku dapat kesadaran baru tentang qadar. Ternyata qadar bisa dipandang sebagai blue print kita. Iya, mungkin teman-teman bisa menebak arah pembicaraan ini mengarah ke mana: pikiranku lagi-lagi mengarah ke Human Design.

Mari kita ulas sedikit isi dari bahasan kemarin dan tentang hukum ukuran, sependek pemahamanku yang masih bayi sekali dalam pembelajaran ini.

Allah menciptakan segala sesuatu dengan ketetapan-Nya. Potensi di balik ketetapan ini tidak terbatas. Utuh dan sempurna. Maksimal. Tapi, saat mewujud menjadi materi di dunia fisik ini, semua punya ukurannya masing-masing. Punya perannya masing-masing. Contoh mudahnya misalnya, kucing tidak akan bisa jadi harimau. Kucing ya kucing. Dia menjalankan perannya di kehidupan ini untuk menjadi kucing: banyak tidur, berjemur, malas-malasan, datang ke rumah-rumah orang mengeong-ngeong lalu dikasi tulang ikan. Dia tidak akan bisa jadi harimau yang badannya besar, garang, bisa berlari sangat kencang dan berburu rusa. Baik kucing dan harimau punya kualitas, peran, dan tugasnya masing-masing. Tidak akan mungkin tertukar dan melebihi qadarnya. Mereka hanya mampu menjadi versi terbaik sesuai dengan qadarnya masing-masing. Itulah blue print: qadar yang sudah dikaruniakan Allah sebagai media untuk mewujudkan qada menjadi takdir masing-masing makhluk.

Begitupun manusia. Meski kita sama-sama punya dua mata, dua lubang hidung, 32 gigi dewasa, kita punya qadarnya masing-masing. Ada blue print yang kita bawa di diri kita, yang tidak ada yang sama persis antara satu orang dengan orang lainnya, meski antara saudara kembar, atau antara dua orang yang lahir di detik dan tempat yang sama sekalipun. Semuanya membawa qadar, membawa blue print masing-masing. Dengan menyadari ketetapan Allah dan blue print yang sudah tercetak di diri kita, kita jadi paham bagaimana bisa memanifestasi ketetapan itu menjadi takdir sesuai potensi tertinggi kita, sesuai blue print yang kita bawa. Sayangnya, sedikit sekali orang yang bisa paham sejauh mana qadarnya, atau seperti apa blue print nya, karena ini membutuhkan pengalaman mengenali esensi diri yang sangat dalam. Apalagi kita penuh conditioning (bentukan lingkungan dalam berbagai manifestasi, entah programming, dogma, doktrin, agama, pedidikan, musik, film, dsb), butuh perjalanan panjang dan melewati berbagai benturan untuk sampai ke inti diri.

Tapi, Allah selalu memberikan solusi. Selalu Allah karuniakan tools untuk manusia yang banyak bertanya tentang dirinya tapi butuh bantuan untuk masuk ke dalam diri. Dunia sudah berjalan sekian lama. Ilmu-ilmu yang dilahirkan oleh hamba-hamba-Nya yang bijaksana yang sudah terdahulu, yang bisa membaca dan mengambil hikmah dari pengamatannya akan alam semesta khususnya benda-benda langit, bisa kita akses saat ini. Salah satu bentuknya adalah Human Design, yang merupakan sintesis dari berbagai kebijaksanaan: dari yang berdasarkan keterhubungan dengan Tuhan dan energi yang lebih besar di alam semesta, pengamatan terhadap berbagai kejadian alam semesta, maupun ilmu modern lewat fisika kuantum. Bahkan sintesis ini pun hadir pada Ra Uru Hu−bapak Human Design sang penerima pencerahan tentang sintesis ilmu “kuno” dan “modern” ini−dengan cara yang sangat spiritual: lewat meditasi.

Lewat Human Design, terjelaskan−meskipun pasti ini baru setetes informasi tentang diri kita yang bisa kita akses lewat intelektual dan masih perlu eksplorasi lewat pengalaman dan pengamatan sehari-hari tentang diri kita−apa saja kualitas beserta tantangan yang kita bawa, bagaimana potensi tertingginya, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbesar kapasitas sesuai potensi ini, dan apa peran yang bisa dimainkan agar takdir tertinggi bisa kita alami. Jadi, setidaknya kita tidak lagi terlalu meraba-raba qadar kita sebenarnya seberapa, sih. Atau bagaimana cara memperbesar kapasitas kita untuk mewujudkan ketetapan-Nya yang Dia kehendaki melalui kita. Betapa berkahnya ilmu pengetahuan ini yang bisa menjelaskan ini semua dan mengurai kebingungan kita.

Tentunya, meski Human Design membantu menunjukkan potensi tertinggi kita, di awal mungkin kita merasa ada yang tidak sesuai, karena berbagai faktor, salah satunya adalah conditioning yang sudah menjauhkan kita dari blue print. Di sinilah letak pentingnya deconditioning, yaitu melepas satu per satu segala yang tidak lagi memberdayakan dan menjauhkan kita dari potensi tertinggi, dan menjemput kesejatian dengan menggunakan blue print untuk memainkan peran di kehidupan ini.

Betul, pada akhirnya semua adalah tentang pengalaman menyelami diri. Pun sebenarnya tanpa Human Design pun kita bisa kok melakukannya asalkan kita terus terhubung dengan-Nya dan bersedia untuk digerakkan sesuai kehendak-Nya. Tapi, ada tools yang sudah tersedia, yang aku yakini juga salah satu bentuk hadiah-Nya untuk memudahkan kita masuk menyelami diri. Salah satunya ya Human Design ini, yang sangat clear menunjukkan blue print kita. Setidaknya di awal kita tau qadar kita seperti apa. Tinggal kita mau jemput gak potensi sejati ini.

Pada akhirnya, pengetahuan sejati yang datang dari Sang Sumber, mau dijelaskan dari sisi manapun, intinya sama. Termasuk tentang qada, qadar, dan takdir. Semoga kita semua bisa optimal hidup di kehidupan ini, sebagaimana Allah kehendaki saat kita dilahirkan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart