Kebingungan-kebingungan yang aku alami di sepanjang hidup, dengan kasih sayang Allah, sebenarnya selalu menuntun pada kebenaran-kebenaran lain. Pertanyaan-pertanyaan yang hadir, selalu mengarahkan pada jawaban sesuai porsi yang siap aku terima. Saat kebenaran selanjutnya datang, tidak selalu kebenaran sebelumnya disebut salah. Namun ada kebenaran yang lebih dalam dan sejati, yang mengamini kebenaran yang sebelumnya dipahami, namun masih ada “bolong” nya. Saat pemahaman datang, kadang belum tentu artinya jawaban yang hadir, tapi pertanyaannya menjadi hilang. Semuanya adalah bagian dari perjalanan, yang dalam pedihnya bahkan tersimpan rasa manis.
Aku ingin merunut kebenaran yang aku temui sejak kebingungan tentang penyembuhan luka singgah di pikiranku yang sangat terbatas ini, yang saat aku pahami selalu ada ruang kebingungan selanjutnya.
1. Menyadari Inner Child Wound
Mengapa ada tingkah lakuku, kejadian hidupku, yang tidak aku kehendaki namun terasa salah saat aku amini sebagai kehendak Allah?
Sejak aku merasa “ada yang salah dengan diriku” aku sebenarnya tidak pernah bertanya secara literal. Tapi mungkin itu adalah bentuk pertanyaan yang ditekan dengan pemahaman bahwa “aku memang begini” sepanjang hidup. Lalu ilmu dan pemahaman tentang inner child wound hadir. Tentang bagaimana aku dibesarkan oleh orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh pada aku yang sekarang. Bahwa orang-orang yang membesarkan dan menyertaiku bertumbuh adalah orang-orang yang terluka. Aku jadi paham, bahwa banyak luka “disebabkan” oleh mereka, dengan pemahamanku yang terbatas di waktu kecil, dengan kognitif yang masih dalam proses perkembangan. Rawan salah paham. Di sana amarah naik ke permukaan. How dare they did this to me? Mengapa mereka menempaku jadi orang yang jadi jauh dari fitrahnya? Iya, proses awalku penuh dengan amarah, karena tidak mengerti mengapa ini semua terjadi padaku. Aku merasa menjadi korban kehidupan, sekaligus sadar semua ini adalah tanggung jawabku untuk memperbaikinya. Di tahap ini, dengan kenyataan bahwa aku yang tersakiti namun bukan tanggung jawab orang lain termasuk “pemberi luka” melainkan aku yang harus menyembuhkan diri membuat amarah semakin membara. Dari kacamataku dulu yang masih penuh retak, aku nyaris tidak bisa dan tidak mau mengerti, boro-boro memberi kasih sayang pada siapapun yang aku anggap menyebabkan luka ini.
2. Understanding
Mengapa orang terdekat justru tega dan seakan sengaja menyebabkan luka ini? Tidakkah mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan menjadikanku orang “yang tidak semestinya” dengan kesulitan hidup yang luar biasa?
Perjalananku panjang hingga sampai ke tahap ini. Amarah yang begitu besar sulit padam. Tapi saat pelan-pelan apinya mengecil, barapun berkurang, aku mulai bisa melihat lebih jernih, bahwa orang-orang yang aku pikir pernah menyakitiku juga penuh luka, yang kacamatanya sama retaknya denganku, yang tidak bisa jernih melihat kehidupan. Penuh ilusi. Dan bahwa aku terluka, sebenarnya tidak ada urusannya dengan mereka, melainkan aku sendiri yang penuh keterbatasan dan menjadikan kesalahpahaman titik rentan yang mudah patah, robek, dan sakit. Namun, bahkan di saat mulai paham, amarah masih sangat besar. Tidak cukup hanya mengerti lalu sakitnya hilang.
3. Forgiveness
Bagaimana aku bisa memaafkan? Mengapa rasanya begitu berat bahkan saat aku bisa paham mereka juga penuh luka?
Satu hal yang menjadi pembuka sampai akhirnya aku bisa memaafkan adalah paham bahwa apapun bentuk yang orang tua dan orang-orang lain yang terlibat di masa pertumbuhanku, adalah wujud kasih sayang mereka yang tidak sempurna. Dengan luka yang mereka bawa, dengan pemahaman usang yang belum mereka sadari, kasih sayangnya mewujud dengan bentuk yang menurutku “tidak semestinya.”
Betul, sebenarnya bagian ini pun sudah dijelaskan di konsep inner child healing. Tapi sulit sekali melihatnya dari kacamataku yang masih belum memproses amarah. Belum mengijinkan diri duduk menghadapi amarah ini. Bahkan kalaupun duduk dengan amarah, aku yang penuh luka masih penuh kontaminasi entitas gelap yang menyiram bensin, yang mungkin entitas ini adalah bagian dari diriku sendiri. Sulit sekali membedakan, bagaimana mengijinkan diri merasa dan memproses amarah, dan mana yang menjadi ruang ego beraksi di panggungnya dan dinikmati entitas gelap. Aku masuk dalam jebakan lain. Tidak mengerti “aku” mana yang terluka, bahkan tidak tau “aku” sebenarnya banyak rupanya. Sampai akhirnya aku paham di level yang lebih dalam tentang kasih sayang orang tua, maka semua amarah terangkat nyaris tanpa sisa. Aku bisa melihat mereka apa adanya, dengan segala kekurangannya, aku rangkul dan terima. Instan, hubungan membaik.
Lalu, dengan semua ini, anehnya sisi gelapku yang lain, yang lebih gelap, semakin naik ke permukaan. Hatiku lebih lapang, tapi masih banyak perilaku rekatif yang destruktif keluar. Lalu aku masuk ke kebingungan selanjutnya.
4. Kesalahan di masa lalu
Mengapa semua hal ini terjadi padaku? Jika memang semuanya adalah bentuk kasih sayang, mengapa bentuknya tidak menyenangkan? Bukankan Tuhan hanya menghendaki kebaikan pada hamba-Nya?
Dengan semua proses yang kujalani, aku bingung mengapa sebenarnya banyak hal yang tidak berkenan ada di hidupku. Mengapa bisa bayi yang harusnya bersih malah mengalami kesulitan, kesalahpahaman, dan membentuk luka?
Lalu pemahaman baru hadir melalui beberapa orang guru, bahwa sebenarnya kita dilahirkan ke kehidupan ini bukan kali pertama. Di entah-berapa-kali kehidupan sebelumnya sudah banyak yang kita lalui, banyak kesalahan dan kebaikan yang sudah dilakukan, yang membentuk karma yang harus “dibayar” dan semuanya tersimpan dalam memori jiwa. Otak ini mungkin lupa semuanya saat lahir kembali, namun jiwa tidak pernah lupa.
Ini membuka lebar mata kesadaranku, bahwa hal yang menurutku buruk terjadi, adalah karena kesalahanku di masa lalu. Harus terjadi, agar pelajarannya bisa aku ambil dan tidak mengulanginya lagi. Karena tidak mungkin hal buruk terjadi pada bayi bersih tanpa dosa, yang membentuk luka ini itu dan menjadikannya jauh dari kesejatiannya seiring bertumbuh, jika dia tidak pernah melakukan kesalahan. Jika aku tidak pernah melakukan kesalahan. Kenyataan manis yang dengan suka cita aku terima, dan kacamataku semakin jernih.
Lalu, aku tetap bingung, mengapa aku masih belum sembuh dari luka-luka yang sebenarnya sudah kupahami datangnya dari mana: yaitu diriku sendiri.
5. Berpasrah dan ridha pada Allah
Mengapa aku belum juga sembuh? Mengapa pemahaman datang bertubi-tubi, berbagai praktek penyembuhan dilakoni, tapi luka masih di sana? Mengapa perilaku reaktif masih ada malah membesar? Sampai kapan ini kualami? Aku takut membuat karma baru.
Satu hal yang selalu memanggilku dan menjadi jangkar namun lama tidak tersambungkan dengan talinya adalah kesadaran tentang Tuhan. Selama ini aku terlalu kokoh merasa kalau semua yang terjadi padaku adalah tanggung jawabku, sehingga memang harus aku yang membereskan. Tapi ternyata, aku salah total. Sejak awal aku tidak mampu, dan tidak pernah mampu menyembuhkan. Hanya Allah yang bisa. Aku tidak bisa apa-apa. Ini jebakan yang paling nyata. Aku tidak tau kalau sebenarnya aku tidak bisa. Karena ini kan yang di gembar-gemborkan selama ini? Self healing. Di realita yang aku alami sekarang, itu tidak mungkin, kalau tidak menyadari bahwa di dalam diri ini ada Tuhan yang menyembuhkan. Yang aku bisa lakukan ternyata hanya berpasrah. Belajar berpasrah total. Menjadi muslim sejati yang beriman pada-Nya. Yang belajar berpasrah untuk menyaksikan hadir-Nya kemanapun wajahku menghadap: keluar atau ke dalam diri yang paling dalam. Pada tiap orang maupun kejadian yang kutemui.
Aku rasa, inilah inti dari semuanya. Bahwa kita semua sejatinya tidak bisa apa-apa tanpa kasih sayang-Nya. Bahkan luka akibat kesalahan kita sendiri, kita tidak mampu menyembuhkannya. Hanya Dia yang bisa, asalkan kita ijinkan. Asalkan kita lepas semua yang diminta-Nya untuk dilepaskan. Kita hanya perlu diam, pasrah, melepas, dan mengijinkan diri mendengar dan dibersihkan. Apakah akan ada pertanyaan selanjutnya yang belum terjelaskan? Mungkin. Tapi bukankah itu intinya hidup? Selalu muncul pertanyaan. Bedanya sekarang, dengan kesadaran bahwa semua jawaban ada pada-Nya, dan Dia selalu memberi jawaban, instan saat itu juga, asalkan kita siap, mau, dan mengijinkan diri mendengar-Nya.
Di sisa-sisa Ramadhan ini, mari kita manfaatkan untuk menjadi momen belajar dan berlatih meringankan diri, agar suatu hari, kapanpun Dia kehendaki, kita siap mengalami Lailatul Qadr dan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa, berkesadaran Tuhan. Semoga Allah ridha, dan kita ridha, ya.