My Liberation Notes: Lesson Learned (part one)

SPOILER ALERT!

Tulisan ini untuk yang udah nonton, yang belum nonton tapi gak masalah di spoil, atau pingin baca aja untuk liat insight pribadiku.

Aku lagi nonton My Liberation Notes. Drama ini lumayan berat menurutku, terutama di awal-awal. Aku betulan sampe pusing, perasaan gak enak, agak sesak liat kehidupan tokoh-tokohnya. Jujur di awal cenderung judgemental aku. Bukan kebawa kayak “ah I feel that too”, tapi lebih ke kesal awalnya liat mereka, kenapa seputus asa itu sama kehidupan?

Oke, terlalu meluap-luap perasaan aku nulisnya jadi kacau haha. Aku atur pelan-pelan.

Ini kisah hidup keluarga yang tinggal di Desa Sanpo, yang jaraknya dari Soul 1,5 jam perjalanan dengan naik bus desa disambung kereta. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak yang udah dewasa menuju tua: Yeom Gi-Jeong (anak pertama, perempuan), Yeom Chang-Hee (anak kedua, laki-laki), dan Yeom Mi-Jeong (anak terakhir, perempuan). Orang tuanya punya ladang cabe dan bawang (yang aku notice) dan usaha bikin wastafel. Cuma ada satu pekerja yang bantuin usaha ini: pria misterius tukang mabuk yang pendiam, gak mau nyebut nama, cuman ngasi tau nama depannya Gu. Chang-Hee dan Mi-Jeong kadang bantu-bantu juga di ladang kalo pas libur.

Kalo diliat-liat, kehidupan mereka normal-normal aja. Sehari-hari ngantor di Seoul, jago-jago lagi di kerjaannya. Memang bukan yang mapan udah jadi bos gitu, tapi mereka bagus lah di kerjaannya, pinter-pinter, dan jadi andalan. Tapi, baik anak-anak dan orang tuanya, murung terus. Asli gak ada bahagia-bahagianya. Ayahnya kerja terus, ibunya juga seharian ngurusin makanaaan terus. Masak, tiap anaknya pulang kerja malam disiapin makanannya padahal kadang pulangnya gak sekalian. Jadi kalo makan malam bisa bolak balik bangun dari duduk nyiapin makanan. Dan ibunya auto bangun gitu kalo liat anggota keluarganya ada yang belum makan, padahal anaknya udah tua-tua, tapi urusan makan ibunya terus yang ngurusin. Mungkin karena liat anak-anak dan suaminya capek terus abis kerja, jadi ibunya merasa part dia untuk siapin makanan. Anak-anaknya juga ngeluh dan merasa kehidupan jahat terus sama mereka. Pergi subuh pulang malam. Di kantor capek. Kawan kantornya ada yang nyebelin, ada yang bos nya nyebelin, pokoknya rasanya semua orang salah dan kehidupan gak berpihak sama mereka. Belum lagi Pak Gu yang mabuk terus di luar jam kerjanya. Emang gak ngapa-ngapain selain mabuk.

Aku gak akan fokus di bagian alur ceritanya,tapi mau menyampaikan beberapa momen yang pesannya nyantol di aku.

  1. Afirmasi: hal baik akan terjadi padamu hari ini

Tiap anak-anak keluarga Yeom ini pulang/pergi ngantor, mereka liat tulisan besar di gedung yang dilewatin lintasan kereta: HAL BAIK AKAN TERJADI PADAMU HARI INI. Mereka merasa kacau-balau, muak dengan kehidupan, dan saat melihat tulisan ini as expected tambah muak, kayak “cuih, omong kosong macam apa ini”. Tapi tiap hari tulisan itu yang mereka liat. Lambat laun tulisan itu jadi semacam afirmasi, yang meski di awal-awal terasa omong kosong, masuk juga ke bawah sadar mereka, dan hal baik satu per satu datang ke kehidupannya.

  1. Rasa benci sama orang bisa jadi pesan untuk diri sendiri

Yeom Chang-Hee punya satu kawan kantor yang nyebelin, yang meja kerjanya persis di samping dia, namanya Jeong A-Reum. Dia nyerocooos terus, dan membuat Chang-Hee eneg, karena tiap hari dengarin dia. Bahkan Chang-Hee sering melipir ke sudut kantor lain kalo mau kerja. Didinginin juga gak mempan orang ini. Chang-Hee ini juga tipe yang cerewet sama teman-temannya, yang tipe nyerocos terus, tapi ke orang lain yang gak dekat dia malah seringan mendam, paling reaksinya cuma dingin gitu. Dan karena dia kesal sama A-Reum, dia terus-terusan jelek-jelekin A-Reum ke kawan dekatnya, pokoknya selalu cerita kekesalan dia karena muak sama cewek ini. Suatu hari saat lagi nongkrong malam selepas ngantor, salah satu kawan kantornya bilang, lebih kurang gini: “kenapa kamu tiap hari nyeritain A-Reum terus? Dia bahkan bukan pacarmu. Apa kamu gak pernah mempertanyakan, kenapa kamu bisa segitu bencinya sama A-Reum? Apa karena dia orang kaya dan kamu enggak? Coba bayangin kalau kamu juga kaya, apa kamu segitu bencinya sama A-Reum?”

Dan Chang-Hee terdiam, tapi tetap denial dikit, tapi abistu dia cabut keluar, dan merenung. Dia malu, dan merasa kata-kata kawannya ada benarnya. Mungkin dia memang iri sama A-Reum. Kalau dia “kaya”, atau setidaknya punya suatu pencapaian, dia mungkin masih membenci A-Reum, tapi gak sebenci saat ini. Iya, rasa benci sama orang lain bisa jadi pesan untuk kita, apa dari diri kita yang kurang atau belum terpenuhi? Apa yang mau disampaikan rasa benci itu?

  1. Pertanyaan “untuk apa aku ada di sini”

Duh, ada satu scene di episode 11 yang bikin aku merinding. Ini momen refleksi si Yeom Mi-Jeong. Terlalu powerful kalo aku parafrase, jadi aku kutip langsung aja.

“saat ke gereja waktu masih kecil, kami pernah disuruh menulis doa kami. Saat meliat tulisan teman-temanku, aku bingung mengapa mereka berdoa untuk hal-hal seperti nilai, sekolah yang diinginkan, dan hubungan pertemanan. Mengapa memohon hal sepele begitu kepada Tuhan? Namun, itu Tuhan. Bagiku, hanya ada satu hal yang ingin kuketahui. Apa aku sebenarnya? Mengapa aku ada di sini? Aku tidak ada di sini sebelum tahun 1991, dan tak akan ada di sini 50 tahun lagi. Namun, aku merasa seperti suda ada sebelum itu dan akan terus ada. Aku merasa diriku akan abadi. Meski merasa begitu, hatiku tak pernah sekalipun menetap tenang di manapun sebelumnya. Aku merasa gelisah, baik di dalam selimut, atau di tengah orang-orang. Mengapa aku tak bisa tersenyum ceria seperti orang lain? Mengapa aku selalu sedih?  Mengapa hatiku tidak pernah tenang? Mengapa segalanya membosankan? Manusia seperti orang-orangan sawah. Kita tak tahu siapa diri kita sebenarnya dan hanya hidup dengan bersandiwara. Mungkin saja orang-orang yang hidup dengan baik dan sehat adalah orang-orang yang sepakat menjawab pertanyaanku tadi dengan kebohongan seperti, ‘Hidup memang begini’. Namun, aku tak mau begitu. Aku tidak mau surga setelah kematian. Aku mau merasakan surga saat hidup.”

Bahkan saat menulis ini aku merinding dan pingin nangis. Pertama, gak bisa bayangin si Mi-Jeong udah mempertanyakan hal-hal kek gitu dari jaman dia sekolah dan gak ketemu jawabannya sampe usia 30, gak heran dia semurung itu. Spiritual awakening bermula saat kita mempertanyakan keberadaan kita di dunia untuk apa. Cepat atau lambat, tergantung hidayah, seberapa gigih kita mencari, dan ketetapan Allah, kita akan ketemu jawabannya.

Kedua, ketidaksetujuan dia soal surga cuma di dapat setelah mati sangat powerful. Aku nangkap surga versi dia adalah rasa bahagia, cukup, dan berkelimpahan. Gak mungkin dunia ini cuma diciptakan untuk penderitaan. Allah kasi berkah yang luar biasa besar di Bumi, di alam semesta ini. Omong kosong kalo bilang dunia ini tempatnya bersusah-susah. Struggle iya, struggle untuk konsisten melakukan hal yang selaras dengan jiwa agar merasa bahagia. Tapi kalo terus menerus bersusah-susah, bukannya itu menciptakan neraka sendiri di dunia?

  1. Energy attracts energy: orang-orang yang berhubungan dengan kita menggambarkan diri kita

Diri yang membenci orang lain justru mendekatkan diri dengan orang-orang yang dibenci, terus-terusan. Hal ini terjadi sama anak-anak Yeom ini. Mungkin orangnya bisa ganti, tapi tetap aja orang-orang yang menurut versi kita brengsek. Juga benci dengan keadaan, entah pekerjaan, lingkungan, hubungan percintaan, pertemanan. Semakin kita membencinya, makin kuat pula hal-hal itu tertarik dan melekat di kehidupa kita. Apa yang kita hadapi, orang-orang yang kita temui, sangat menggambarkan diri ini seperti apa. Dihutangin sama orang? Diremehkan? Dipandang kecil? Mungkin boundary kita gak kuat, atau kita sendiri memandang diri kita rendah. Kehidupan finansial sulit? Mungkin pandangan kita tentang rejeki masih seterbatas itu, padahal rejeki dari Allah gak terbatas. Lingkungan sekitar, kehidupan, orang-orang yang kita temui dan berhubungan dengan kita terutama yang dekat bisa jadi refleksi diri.

  1. Mencari pengakuan dari orang lain, memenuhi kebutuhan lahir batin sendiri

Yeom Mi-Jeong ini adalah yang paling dark dan dingin orangnya diantara yang lainnya di series ini. Dia merasa gak bisa membuat dirinya diakui dan dihargai baik oleh mantan pacarnya apalagi kerabat di kantornya. Dia desperate karena gak mendapatkan itu, sampe suatu hari dia nyuruh Pak Gu untuk memujanya. Dia malah mencari pengakuan dari orang lain yang dia kira bisa melakukannya, karena gak ada yang bisa termasuk dirinya sendiri. Tentu awalnya Pak Gu menolak. Ya ngapain banget gitu looh kayak gak ada hal lain yang lebih menarik aja buat dikerjain selain mabuk, lagian siapa dia sampe perlu dipuja gitu.

Sebetulnya Pak Gu seiring jalan melakukannya, tapi kalo diamati bukan memuja yang dibuat-buat, tapi menekankan, meng-highlight, dan memvalidasi hal-hal baik yang ada di diri Mi-Jeong. Yang dilakukan Pak Gu menolong Mi-Jeong untuk bisa melihat hal-hal baik yang ada di dirinya, dan memang pelan-pelan kehidupan Mi-Jeong berubah ke arah lebih baik. Meski terlihat gitu-gitu aja, tapi cara Mi-Jeong memandang kehidupan jadi jauh lebih baik kedepannya.

Saat dalam kegelapan, atau dikenal dark night of the soul, kadang kita emang perlu bantuan untuk bangun. Tergantung separah apa, mungkin gak semua orang bisa “bangun” sendiri. So, seek help kalo memang udah separah itu.

  1. Keinginan yang berulang-ulang diucap dan dibayangkan

Chang-Hee ini kepingiiin kali punya mobil mewah, tapi dia belum mampu beli. Pernah sekali dia minta ke ayahnya untuk ngutang buat beli mobil, tentu saja dimarahin (mana cara mintanya maksa dan marah-marah lagi hahaha), karena dia juga masih punya utang yang belum lunas. Gara-gara gak punya mobil ini dia jadi putus sama pacarnya. Tapi keinginan dia segitunyaa. Sampe suatu hari dia kebelet boker di jalan pulang abis pulang ngantor, gak tahan lagi, jadinya dia numpang boker di rumah Pak Gu (yang ngontrak deket rumahnya). Waktu itu lagi mati lampu, tapi waktu matanya udah menyesuaikan dalam kegelapan, dia liat ada kunci Rolls Royce di laci dinding toilet Pak Gu, dan dia sesenang itu cuman sekedar liat kuncinya, dan tau kalo tetangganya ternyata bukan orang sembarangan. Sejak saat itu, dia sering numpang di toilet Pak Gu, cuman buat megang-megang dan liatin kuncinya. Cuma karena itu, dia menjalani hari-harinya dengan lebih bersemangat. Sampe suatu hari dia bilang ke Pak Gu sambil bawa kunci mobil itu ke depannya, “ini beneran ada mobilnya kan? Kalo iya, mohon kasi aku kesempatan mengendarainya. Dengan deg-degan dia menanti jawaban Pak Gu”, dan Pak Gu bilang, “aku baru balik dari Seoul, apa kita mesti balik ke sana lagi?”. Chang-Hee seneng banget dooong artinya emang ada mobilnya kan bukan cuma kunci. Terus saat itu juga mereka pergi ke Seoul buat jemput mobilnya pake mobil pick up ayahnya (yang buat bawa-bawa wastafel pesanan). Chang Hee senang luar biasa, dikasi pinjem pula wkwkwk.

Selama dikasi pinjem itu dia mendapati sisi dirinya yang lain. Ternyata dia lebih lembut saat nyetir. Ternyata, gak mesti punya mobil sendiri, dia cuma kepingin punya experience nyetir mobil mewah, dan bukan untuk pamer-pamer juga, dia simply cuman kepingin. Dan juga, cuma gegara nyetir ini, kebenciannya sama A-Reum berkurang. Bahkan, gak lama setelah itu, dia dan A-Reum gak intens ketemu lagi karena kehidupan berubah. Wow. Really, mengubah hubungan dengan orang lain justru bisa tercapai kalau kita fokus memperbaiki diri sendiri dulu, memenuhi kebutuhan diri sendiri dulu. Dengan sendirinya it will ripple to other aspects of our life. Caranya bisa jadi orang yang kita gak suka bisa berubah lebih baik perilakunya ke kita, atau kayak kasus Chang-Hee ini, tanpa dipaksa jadi berjarak sama A-Reum, padahal tadinya dia berusaha biar menjauh tapi dengan hati benci tapi malah deketan lagi, deketan lagi.

(continue to part 2)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart