Penerimaan – Part 2

(Read part 1)

Hari ini, tepat satu minggu aku hanya berdua dengan anakku di rumah, yang kedepannya akan selalu kubawa dia ke kantor saat aku dapat jadwal ngantor. Lelah, sangat. Tapi gak selelah aku bayangkan. Tensiku tinggi, tapi aku merasa gak lebih tinggi dari saat suamiku masih di rumah. Aku selalu tetap berusaha mengatur strategi agar aku bisa terus stabil. Aku selalu usahakan waktu untuk diriku dan menjadikannya prioritas, gak akan aku skip kecuali ketiduran, apapun kondisinya.

Dua kunci dari ceritaku di fase hidup kali ini: terima keadaan dan utamakan waktu untuk perawatan diri. 

Terima keadaan. Keadaan yang sama beratnya akan sangat berbeda saat kita gak terima dan terima. Jujur aku gak nyangka aku menjalaninya semulus ini (mulus versi aku, dengan grenjelan yang masih bisa kutoleransi) saat aku udah terima. Capek? Iyalah. Tapi aku terima rasa capek ini, rasanya jauh lebih ringan. Bukan membohongi diri “yes aku harus kuat, aku kuat” padahal kecapean. Aku akui aku capek, dan rasanya jauh, jauh lebih lega saat dijalani apalagi setelahnya.

Tentu penerimaan ini akan diuji terus. Kejadian hidup datang silih berganti selama kita masih dikasi napas sama Allah. Tiap kali ada hal baru yang mungkin kurang nyaman bahkan akan terasa berat, penerimaan untuk aku hampir gak mungkin datang seketika. Pasti ada prosesnya. Bisa karena aku lupa untuk menerima, bisa karena aku ingat tapi terlalu berat untuk diterima saat itu juga. Aku juga terima bahwa aku gak bisa langsung menerima. Mulai dari situ, mudah-mudahan akan lebih ringan.

Dan tentu saja, bullshit sama yang namanya superwomen. Kadang aku merasa orang-orang yang mengglorifikasi superwoman either mereka denial kalo mereka sebenarnya kelelahan sampe abis-abisan (merasa harus serving all the time, terlalu maskulin sampe yang aslinya maskulin lupa sama kelaki-lakiannya karena salah si perempuan sendiri yang ngambil alih perannya) or orang-orang yang menyemangati istri-istri mereka karena merasa ini memang tugasnya tapi gak mau membantu. Lingkaran setan 🙂 Perempuan gak ideal kalo terlalu lama dan sering serving. Tapi kalau di kondisi aku sekarang, yang emang mesti full serving ke anak, self care yang sungguh-sungguh adalah kunci. Gak ada cara lain selain ngisi terus gelasku sendiri, karena kemungkinan kosongnya lebih cepat sangat tinggi.

Utamakan waktu untuk perawatan diri. Gak ada alasan untuk gak melakukan self care. Sesibuk apapun kalau kamu jadikan prioritas pasti kamu akan investasi waktu dan pikiran untuk ngatur strateginya. Kenapa penting? Karena kalo kamu gak peduli sama diri, kamu gak akan bisa serve orang lain terutama anakmu dengan seharusnya. Kalo kamu gak memenuhi kebutuhanmu, gak masuk akal kamu bisa memenuhi kebutuhan anakmu seberapa besar dan baik apapun kamu berusaha. Emang makanan yang kamu buat dengan rasa kesal tu gak masuk apa kesalnya ke badan anakmu kalo kamu masak dengan keadaan kelelahan? Coba pikirin lagi.

Kalau masih banyak “tapi”, mungkin emang jawabannya belum ketemu gimana caranya biar ada waktu self care. Keadaan kamu, cuma kamu yang tau. Cuma kamu yang bisa mikirin strategi yang pas untuk kamu biar bisa mengutamakan diri kamu, jadi yang tau solusinya cuma kamu. Mau tanya ke orang lain pun, ya orang lain cuma bisa kasi saran sepengalaman dia, atau kalaupun diproyeksi ke kamu ya sepenglihatan dia soal kamu aja yang tampak di permukaan. Tanya baik-baik sama diri sendiri. Lakukan self dialogue.

Coba tanya baik-baik, kenapa kamu gak mengutamakan kesenanganmu, kebutuhan dirimu di kegiatan sehari-hari? Coba list alasannya. Banyak kerjaan? Gak sempat? Takut buang-buang waktu karena deadline menunggu? Gak dikasi libur dan ditambah terus kerjaan sama bos? Coba kaji jawaban kamu. Alasan itu karena dirimu apa orang lain? Banyak kerjaan rumah atau kantor, ini asalnya dari keluarga dan atasan kan? Deadline, ini alasannya karena atasan atau kebutuhan klien, misalnya, kan? Gak dikasi libur, ini juga gara-gara bos? Kita selalu cari-cari alasan dari orang lain.

Di dunia ini, kenyataan yang mungkin pahit tapi justru menggembirakan untuk aku adalah, hanya kita yang bisa memberikan dan menyediakan waktu untuk diri kita sendiri. Dunia ini gak akan mau memberi itu sampai kita memberikannya sendiri. Sampai kapanpun kamu berharap lingkunganmu mendukungmu untuk memprioritaskan dirimu, selama kamu gak berusaha−betul-betul berusaha dengan memikirkan strateginya dengan cara apapun−gak akan kesampean. Harus diusahakan sendiri. Saat kamu suda menemukan caranya dan menerapkannya, pasti lingkungan, dunia, semesta juga mendukungmu. 

Victim mentality sama sekali gak membantu. Itu kayak lubang hitam yang menjebakmu di sana, gak bisa keluar. Saat kamu merasa dunia memperlakukanmu dengan kejam, terima dulu rasa sakit, pedih, pahitnya, lalu kalau udah puas, mulai pikirkan apa yang bisa dilakukan untuk memperlakukan dirimu dengan baik. Dari hal-hal kecil dulu. Mungkin waktu bangun tidur habis baca doa napas panjang dulu 5-10 kali sebelum pegang HP. Mungkin dengan minum air putih sedikit lebih banyak dari hari kemarin. Dan akan berkembang menjadi self care yang lebih besar dan banyak dan akan jauh lebih mudah dilakukan sesibuk apapun kamu 🙂 kalau kamu bisa memprioritaskan kebutuhanmu di atas kebutuhan orang lain, insyaAllah kamu juga bisa memberi untuk orang lain dengan jauh lebih baik lagi.

1 thought on “Penerimaan – Part 2”

  1. Pingback: Penerimaan - Part 1 - Tanya Ke Dalam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart