My Liberation Notes: Lesson Learned (part two)

(read part 1)

7. Self worth

Anak pertama, Yeom Gi-Jeong, di kantor dan kehidupannya juga struggling. Dia merasa gak dipandang, posisinya di kantor gitu-gitu terus, sama bos nya merasa diacuhin (padahal bosnya baik sama karyawan-karyawan lain), dan kepingin punya pacar tapi merasa gak ada yang mau sama dia, padahal umurnya udah 40. Dia merasa kasian sama diri sendiri, sampe dia niatin saat itu mau mencintai sembarang orang. Dia ini sama kayak anak kedua, Chang-Hee, cerewet sama teman dekatnya. Sering ributin masalah bos nya yang selalu ngasi lotre ke karyawan lain, cuma dia yang gak pernah dapat sekalipun. Mulai dia berspekulasi apa emang dia segakmenarik itu. Sampe dia mutusin tanya langsung sama bos nya kok gak pernah dikasi lotre, ternyata bosnya emang lupa, bukan karena dia gak dipandang. Sejak itu dia jadi teman baik bosnya buat curhat-curhatan masalah cinta.

Sampe suatu ketika dia jatuh cinta sama duda anak satu yang udah SMP. Awal-awalnya dia yang maju, kayak dominasi ngobrol, gak mau nerima kalo mau dikasi apa-apa, nunjukin kalo dia suka sampe terkesan ngejar cowok ini, bahkan sampe beraniin diri nembak langsung. Tgrus gak di jawab si cowok jadinya Gi-Jeong merasa ditolak. Pernah suatu hari Gi-Jeong dengar kalo cowok ini pernah diaduin sama temennya, terus dia bilang, kasi tau aku nama temenmu, biar aku kasi pelajaran. Jadi si Gi-Jeong ini tipe cewek yang “memberi”, belum bisa jadi “penerima” sebagaimana fitrah perempuan yang energi dominannya feminin yang seneng “dikasih”.

Lama-lama cowok ini kayaknya juga jadi ada perasaan, jadi mulai ngajak makan, bela-belain booking tempat makan populer sampe dua bulan sebelumnya, nyariin tempat parkir jauh sampe mesti lari-lari balik ke restorannya, dan jadianlah mereka di situ. Sejak jadian, Gi-Jeong yang tadinya jadi “pemberi” berubah pelan-pelan jadi “penerima”. Dia jadi bagus banget, clear bilang maunya apa ke cowoknya. Dia pernah bilang suka roti telor, tiap malam cowoknya bela-belain beliin roti telor, huhuhu. Gi-Jeong terharu, aku juga terharu liatnya. Dia yang tadinya merasa gak punya self worth, sekarang setelah berserah dan ngikutin energi femininnya dia jadi bahagia dan merasa dicintai. Sampe dikasi bunga segala malam-malam, ih seneng pokoknya liatnya. Cinta real saat dewasa yang sweet-sweet gini next level pokoknya.

8. Didikan orang tua

Keluarga Yeom ini kurang ngobrol satu sama lain. Orang tua dan anak-anaknya sibuk kerja. Meski tersirat, keluarga ini mendidik kalau cari uang memang sesulit itu. Harus mati-matian. Meski cara hidupnya beda, secara prinsip mereka punya mindset sama tentang uang, makanya jadi gak bahagia berkepanjangan. Sosok ayah yang kerja dari melek sampe tidur, bahkan nonton TV aja pikirannya melayang-layang, gak ada waktu untuk diri sama sekali. Sosok ibu, yang kerjanya hampir 90% nyiapin makan dan ngurus rumah dan juga ikut bantu kerjaan kebun ayahnya, tiap hari kelelahan, tapi gak pernah juga minta tolong anaknya atau suaminya. Ya itulah, didikan bukan apa yang diucap, tapi apa yang dilakukan orang tua.

9. Meledak marah karena kelamaan mendam justru karena trigger kecil

Chang-Hee yang terlalu lama mendam benci sama A-Reum pernah sekali meledak cuma gara-gara hal sepele. Dia pernah marah gara-gara A-Reum ngajak makan siang di resto yang ngantri pas makan siangnya panjang. A-Reum padahal cuma bilang, “eh tadi kamu makan di situ ya? Besok juga yuk”. Eh Chang-Hee malah kepancing dan bilang, “apa sih, kamu pasti ngajakin karna minta aku ngantriin kamu besok kan? Kamu males ngantri? Jangan seenaknya nyuruh-nyuruh orang melakukan hal yang kamu juga gak mau lakukan dong”. Jadi kemana-mana marahnya. Asli, mendam dan berspekulasi apalagi sampe judging tu gak sehat, meledaknya jadi gak karuan. Maksud orang sama yang kita tangkap jauh berbeda, apalagi kalo orangnya kita benci, wah ego bikin cerita yang enggak-enggak.

Pernah juga saat Chang-Hee mutusin resign karena capek, pingin rehat, dan merasa udah cukup sama kerjaan itu, dia gak berani ngomong ke orang tuanya. Waktu orang tuanya akhirnya tau, ayahnya waktu makan malam bilang, “apa rencanamu setelah ini?” Chang-Hee marah lagi. Katanya, “kenapa ayah memperlakukanku seperti ini? Tak bisakah ayah memperlakukanku sebaik ayah memperlakukan Kak Gu? Aku kerja baik kok di kantor, bahkan aku dapat hadiah dari bos-bos saat aku resign, tapi apa mereka orang baik? Justru karena aku tidak tahan bekerja dengan mereka lagi. Kenapa aku selalu harus punya rencana? Aku juga gak berencana berlama-lama nganggur kok, tapi sekarang mau rehat dulu. Apa ayah dulu juga berencana punya anak tiga dan hidup miskin?”

Aku nangis waktu adegan ini. Aku kayak merasa pedih yang dirasain Chang-Hee. Meski dia anak kedua, mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya tuntutan selalu ada rencana selalu ada di pundaknya. Aku juga sedih karena dia gak punya keterampilan ngatur emosi biar bisa ngomong baik-baik sama orang saat dia sedang emosi. Sedih, karna aku banyak relate sama kelakuan Chang-Hee. Tapi meski dia sangat meledak-ledak, dia sangat berani ngikutin intuisinya. Meski gak sempurna cara komunikasinya, tapi dia tau jelas dia maunya apa, dan ngikutin apa yang dia rasa benar untuk dilakukan saat itu. Intuisi dia kuat dan dia selalu menghormatinya dengan mengikutinya. Aku juga berharap punya keberanian kayak gini untuk ngikutin kata hati.

10. Ketidakberdayaan ayah

Sosok ayah Yeom yang selalu diurusin, tipikal laki-laki timur, sebetulnya sangat-sangat melemahkan. Memang dia terlihat kuat karena kerja berat cari uang dan mesti mutar otak terus biar dapur tetap bisa ngebul. Tapi segitunya dia melemahkan diri sampe gak bisa ngurus diri sendiri, menggantungkannya kepada istri 100%. Dari pakean sampe makan semua disiapin. Jujur aku sangat marah melihat ayahnya. Meski keliatan mukanya kasian, tapi aku marah.

Sampe suatu ketika ibunya meninggal duluan, ayahnya merana. Gak bisa ngurus diri sendiri, akhirnya anak-anaknya yang pergi pagi pulang malam ini juga harus bela-belain sampe rumah mesti masak dulu. Memang ada Chang-Hee di rumah yang bantu-bantu ayahnya kerja karena dia udah resign, tapi urusan makanan gak ada yang urus. Mereka kebingungan, dan kayak sosok ibu, mutar otak terus nanti siang ayah makan apa, malam makan apa, besok pagi gimana. Sampe Gi-Jeong bilang, “aku tau kenapa ibu meninggal, pasti karena kelelahan.”

Sampe suatu hari mereka merasa gak mungkin hidup gini terus. Anak-anak ini punya kehidupan sendiri yang harus diperjuangkan. Akhirnya mereka pindah ke Seoul, dan mencarikan istri untuk ayahnya. Ayahnya nikah lagi, biar ada yang ngurusin. NIKAH LAGI BIAR ADA YANG NGURUSIN? Segitu lemahnya kah laki-laki sampe gak ada daya untuk diri sendiri? Aku makin marah.

Dan ada satu momen, anak-anak Yeom ini pulang ke kampung nengokin ayahnya. Ada momen mereka lagi berempat di meja makan, ayahnya bilang: “jika kalian merasa bisa tinggal sendiri, tinggal saja sendiri. Kalian boleh memilih begitu. Ayah kalian tidak punya kekuatan. Kalian lebih baik dari ayah.”

Hatiku langsung remuk, menyesal dengan kemarahan-kemarahan aku.

11. Tahap awal keluar dari kegelapan: being aware

Yeom Mi-Jeong dan tiga teman kantornya punya grup yang awalnya dibikin dengan terpaksa karena kantornya agak mewajibkan karyawannya punya grup. Mereka buat grup namanya grup pembebasan. Kegiatannya nulis jurnal tentang mereka ingin terbebas dari apa. Sampe suatu saat mereka mencar gak kerja di satu kantor lagi, terus meet up. Ngobrol-ngobrol lah mereka. Salah satu obrolannya, gimana kalian, apakah ada progress. Salah satu cowok di grup itu, yang juga adalah pacar Gi-Jeong bilang, dia merasa gak punya progress apa-apa. Tapi dia jadi tau apa yang mengekang dia selama ini. Terus Mi-Jeong bilang: “bukankah itu yang paling penting?” Iya, saat kita ada dalam gelap, tahap pertama memang sadar. Aware. Bahwa kita ada dalam keadaan menyesakkan. Bahkan mulai dari sadar aja, kesempatan untuk keluar dari gelap dan terus bertumbuh pelan-pelan akan kebuka.

Serial drama ini sangat indah. Pesannya dalam. Menyaksikan proses pertumbuhan manusia sangat expanding my soul. Dan tiap orang punya perjalanannya masing-masing. Ada yang menemukan jawaban di umur 20, 30, 40, bahkan bisa jadi di usia senja menjelang kematian. Jika dia menemukan jawaban tujuan hidupnya lebih awal gak berarti itu lebih baik dari yang menemukannya di usia tua. Semua orang punya perjalanan masing-masing. Yang penting nanti gimana waktu kita tutup usia, apa kita udah menemukan arti untuk apa kita hidup dan menjalani sebagaimana hati memandu?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart