New Era

village, houses, city square-7251339.jpg

Saat ini, aku merasa duniaku jadi berubah, setidaknya cara pandangku. Rasanya ada era baru dalam kehidupan yang buat aku merasa inilah yang aku cari. Dunia yang lebih masuk akal dan benar untuk jiwaku. Dunia yang gak menuntut untuk harus bersusah-payah untuk mendapatkan kebahagiaan, karena kebahagiaan sejatinya udah ada bersama kita. Bahwa bahagia, inspirasi, mencipta, kesejahteraan, bisa didapat saat diri berada dalam keadaan relax, bukan dengan kerja mati-matian. Bahwa Allah udah menciptakan dunia dan seisinya untuk kita, gak akan kurang rejeki untuk masing-masing manusia, pasti cukup. Bahkan kalau kita merasakan syukur terhadap rejeki akan dikasi berkali-kali lipat jauh lebih banyak. Jadi untuk apa kita kerja mati-matian?

Ada kalimat dari Shayna Cornelius dari Day Luna, lebih kurang gini: “kalau menurutmu untuk mencapai kesejahteraan harus bersusah-payah dan dalam waktu bertahun-tahun lamanya, itulah kenyataannya. Tapi kalau menurutmu untuk mencapai kesejahteraan bisa dengan mudah dan sangat cepat, itu juga benar kenyataannya”. Intinya, apapun yang kita percaya, itulah yang terjadi pada kita. Bukankah Allah juga bilang “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku”? Jadi mending kita sangkakan yang baik-baik. Tentu untuk membentuk keyakinan penuh tu butuh latihan. Orang yang gak percaya Tuhan aja bisa loh melatih keyakinan ini, bahwa sesuatu bisa terjadi hanya dengan meyakini sepenuhnya itu akan terjadi. Masa kita yang punya Tuhan, percaya Tuhan Yang Mengatur Alam Semesta, malah sulit percaya kalau rejeki tu pasti cukup dan udah disediain untuk masing-masing kita, sampe kita rela abusive sama diri untuk terus-terusan kerja demi uang yang sebenarnya dari jiwa kita udah diciptakan Allah juga udah disiapin?

Ini bukan soal malas-malasan. Justru ini tentang bagaimana biar bisa rajin. Tapi pola pikir di era ini juga harus diganti. Apa yang harus dilakukan dengan rajin? Mulai dari self care. Komitmen untuk memenuhi kebutuhan diri. Disiplin beribadah dan berdoa, bergerak aktif, memenuhi nutrisi, mindful dalam melakukan apapun, meditasi, journaling. Semua ini dilakukan biar kita bisa berfungsi sebagai manusia sepenuhnya, untuk tune in ke diri sendiri apa yang kita suka untuk dipelajari dan dilakukan, yang bermanfaat untuk diri dan orang banyak. Justru saat relax kita jadi bisa mikir, dan jadi bersemangat untuk melakukan hal-hal produktif. Produktif juga gak melulu doing, tapi undoing juga bagian dari produktivitas. Mungkin selama ini kita males-malesan karena gak pernah self care, jadi gak tau senengnya melakukan apa, dan ujung-ujungnya kerja untuk hal-hal yang gak kita suka ya gak heran kalo males.

Di era ini juga aku merasa apa-apa yang dulu dipandang sebelah mata malah justru perlu dipikir ulang. Selama ini kita merasa kok orang dulu sering ngasi tau hal-hal yang terasa gak masuk akal, misalnya soal larangan-larangan yang langsung kita judge tahayul. Kita anggap itu pemikiran bodoh karena belum bisa dibuktikan secara sains dan dengan sombongnya kita nganggap gitu hanya karena kita merasa sekarang teknologi udah maju, kenapa masih percaya hal-hal kayak gitu? Tapi coba pikir ulang, bukankah tiap masa ada teknologinya sendiri? Hanya karena jaman dulu udah jauh dari kita, kita gak terkoneksi dengan teknologi masa lalu, dan kita gak bisa ngerti teknologi masa lalu itu? Teknologi sekarang canggih, menurutku dulu juga canggih, hanya bentuknya berbeda. Entah kita lupa atau gak relate lagi. Dari yang kecil, gimana ceritanya jaman 80-90 an dulu mainan anak-anaknya bisa serempak se-Indonesia? Misal di kota kecilku dulu lagi musim main diary pake gembok, kenapa waktu cerita-cerita sama kawan-kawan dari daerah lain di umur hampir 30 ini mereka juga ngalamin masa-masa itu? Gimana ceritanya? Ternyata viral gak perlu sosial media. Atau candi dan bangunan-bangunan sejarah yang lokasinya ajaib-ajaib. Gimana cara membangun bangunan sekokoh itu di masa itu? Gak bisa masuk di akal orang yang hidup di tahun 2022 ini kan. Kenapa? Menurutku karena “teknologi” nya mereka canggih dan gak sampe akal menalarnya. Gitu juga mereka mungkin gak bisa menalar teknologi kita saat ini. Menurutku, gak perlu menganggap satu lebih baik dari lainnya.

Hal lainnya adalah, di era ini tubuh kata hati adalah yang paling perlu didengar. Udah gak jamannya lagi mendewakan otak. Coba, kita selama ini mencemooh orang tua dalam hati kalau mereka mengucap sesuatu yang gak ada alur logikanya, padahal mereka hanya merasa itu benar. Pikiran ada bukan untuk mengarahkan hidup dan mengambil keputusan, tapi untuk mengamati. Aware and observe. Tapi untuk mengambil keputusan hatilah yang mengambil peran. Bahkan kalo mau lebih dalam lagi, kita bisa merasakan bagian tubuh tertentu (tergantung design) saat akan memilih pilihan hidup, tentunya dengan berdoa agar betul-betul clear dalam mendengarkan petunjuk. Kenapa? Karena otak penuh dengan conditioning. Otak tempatnya menganalisis dan mempertanyakan dan menolak. Kalau kita biarkan otak untuk ngambil keputusan terlalu banyak gangguannya, ujung-ujungnya keputusannya jadi sering disesali kalau berjalan gak sesuai yang diinginkan.

Era ini buatku adalah era kesadaran, niat, dan keyakinan. Kalau semuanya udah dilakukan, rasanya gak mungkin ada yang gak bisa dicapai, tentu dengan kepasrahan bahwa Allah sebaik-baik pengatur jalan menuju hal yang kita inginkan. Aku belajar juga, apapun yang kita lakukan tanpa keyakinan akan sia-sia. Lagi-lagi dari podcast Day Luna yang episode Raising Our Consciousness to Navigate Climate Change with Debrah Silverman. Debrah nyontohin dalam hal mengurangi sampah plastik. kalau dipikir dengan rasa desperate, rasanya memang sia-sia kita berusaha memilah sampah, ngurangi penggunaan plastik, dan tindakan lainnya kalau cuma sebagian keciiil orang di dunia ini yang melakukannya. Kalau kita tetap melakukannya tapi dengan rasa gak yakin akan membawa perubahan tentu akan sia-sia. Yang akan membawa perubahan justru keyakinan kita bahwa tindakan kita berarti dan ada dampaknya untuk Bumi. Perlahan pasti akan nular ke orang lain dan spreading widely. Dan jangan lupa, Bumi ini pintar dan penuh kasih, dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri, asal, manusianya mau berhenti berbuat kerusakan. Mulai dari diri sendiri dengan sadar, niat kuat, dan yakin.

Terakhir, aku pernah dengar dari suatu kuliah bu Nur Rofiah di Kajian Gender Islam yang sooo true dan selaras sama apa yang aku pikir saat ini. Katanya: apapun yang orang lakukan, dari manapun pendekatannya, selama tujuannya adalah menuju kebaikan, maka itu benar. Soal apakah seseorang itu jadi terhubung dan dekat dengan Tuhan atau enggak, itu urusan masing-masing, yang penting tujuan bersamanya adalah kebaikan. Damn, that is so true (((crying so hard))). selama ini aku merasa banyak orang yang nyalah-nyalahin pandangan yang berbeda dengan dia. Bagiku, kebenaran sejati milik Allah itu ibarat satu bola besar utuh. Yang kita tau cuma elemen infinitesimal di satu sisi. Mungkin kita punya pengetahuan dan pemahaman di sisi sini, tapi orang lain di sisi sana, dan itu juga elemen infinitesimal lainnya. Apa hanya karena titik kita berada berbeda lantas yang lainnya jadi salah? Itu juga bisa jadi kebenaran. Kita cuma manusia yang bisa belajar sebanyak yang kita bisa, tapi kita gak akan mampu memahami sepenuhnya kebenaran Allah. Keterbatasan ini juga yang dibuat Allah sebagai anugerah, biar kita bisa menghargai perbedaan, memandang banyak sudut pandang. Meski akal kita gak nyampe di titik lain bisa jadi itu juga benar, just embrace this beauty of human life. Bukankah di Islam juga diajarkan, ilmu Allah ibarat lautan, dan yang kita ketahui dan pahami cuman kayak kita nyelup jarum ke air laut, terus air yang netes dari ujung jarum itulah ilmu yang bisa kita pahami. Mungkin kita nyelup jarumnya di Ancol, orang lain di Anyer. Dua-duanya bagian dari air laut, tapi yang kita ambil berbeda. Just embrace that we can’t understand everything, but we don’t have to. Pelajari dan dalami apa yang seperti panggilan jiwa, insyaAllah udah cukup untuk membuat kita bisa menjalani peran sesungguhnya di dunia ini.

Kadang aku merasa era ini bisa jadi balik lagi kayak jaman dulu, yang riil. Interaksi dengan manusia secara langsung, memilih hidup di alam, terhubung dengan Bumi, diri sendiri, alam semesta, dan Allah yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan seisinya ini. Apakah teknologi saat ini melulu berdampak jelek? Menurutku gak ada yang jelek kalau kita menggunakannya secara sadar. Kalau kesadaran kita gak dipake, disitulah diri ini dibajak.

Aku gaktau apakah dunia memang udah jadi seperti ini, atau aku yang mulai menemukan dan masuk ke dunia yang aku mau di saat ini. Kadang-kadang aku merasa, am I crazy? Atau justru baru waras? But really, it feels so good and true 🙂

Apakah teman-teman ada yang merasakan hal yang sama?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart