Perjalanan persiapan lanjut sekolah setiap orang pasti ada berat-ringan dan susah-mudah nya masing-masing. Itu baru persiapan loh, teman-teman yang udah nyoba pasti udah khatam lah. Segala emosi ada di sana. Semangat, hilang harapan, terjebak, semangat lagi, yakin, ragu, marah, sedih, semangat lagi, terjebak lagi, berulang-ulang sampe akhirnya dapat. Aku ingin berbagi cerita perjuangan panjangku dan suami untuk persiapannya lanjut sekolah PPDS sejak bertahun-tahun lalu.
Dulu sebelum kami nikah akhir 2018, aku udah kerja di Jakarta (masih sampai sekarang), sedangkan suami masih kerja di Banda Aceh. Kami berdua masih baru di dunia kerja saat itu. Suamiku (waktu itu masih calon suami) baru keterima kerja akhir 2017 di Banda Aceh, dan aku awal 2018. Dengan keadaan masih baru masuk babak baru, baru berpenghasilan, keluargaku udah mendesak kami untuk segera nikah. Kebayang ya belum sampe kerja satu tahun disuruh nikah? Kalo keluarga bersedia nikah tok aja tanpa embel-embel pesta oke lah, tapi hampir impossible, jadi kalo aku dah bodo amat lah soal acara gakmau tau, urusan keluarga, toh yang mau keluarga. Meski begitu, tabungan hampir gak ada, habis di perjalanan Jakarta-Aceh. Dengan keadaan seperti itu, kami bikin rencana, gimana kalau suamiku lamar beasiswa LPDP nyoba ngambil PPDS di UI. Bayangannya kalau lulus, aku bisa tinggal sama suami di Jakarta. Lalu selama dia nempuh pendidikan, kurang lebih lima tahun, aku bisa ngajuin pindah ke Banda Aceh, pindah sama suami juga, biar sama-sama berkarier di Banda Aceh. Nah waktu itu proses seleksi LPDP nya sebelum kami nikah. Tapi akhirnya belum rejeki, suamiku gak lulus.
Kami nikah, rencana berganti. Suamiku jadi ke Jakarta juga, resign dari rumah sakit tempat kerjanya di Banda Aceh, dengan niat nyari kerja di Jakarta biar bisa bareng aku, sekalian nunggu kesempatan ikut LPDP selanjutnya. Berat untuk suamiku saat itu. Selain karena mesti pindah dan mesti adaptasi ulang di lingkungan baru, saat pamit dari Aceh ada aja yang nyinyirin kok malah suami ikut istri? Padahal ya ini bukan soal siapa ikut siapa, tapi kami masih punya perjuangan masing-masing untuk karier kami. Belum lagi yang namanya cari kerja kan bukan hari ini lamar, besok lulus, lusa masuk kerja kan. Ada tahapnya dan perlu waktu, dari nyari lowongan, masukin berkas, ikut seleksi, wawancara, baru dipanggil. Dan gak selurus itu juga, dari sekian yang dimasukin gak semua manggil wawancara. Dan kalopun dipanggil wawancara ya gak tentu langsung dihubungin balik untuk dinyatakan lolos. Sebetulnya itu hal lumrah ya, tapi berat juga di aku, karena dunia kerjaku isinya orang-orang yang sekolah kedinasan. Mereka gak tau soal kehidupan orang “umum” nyari kerja. Jadi aku bolak balik ditanya, udah dapat kerja belum suaminya. Yaampun aku pusing. Tiap hari ditanyain gitu. Mau dijelasin panjang lebar juga mereka gak dapat sense nyari kerja gak seinstan itu. Dua bulan prosesnya, suamiku di kosan Jakarta nyari, proses, dan nunggu kerjaan. Sampe akhirnya dapat kerjaan waktu kami tau aku hamil (rejeki anak :)) dan ukuran nyari kerja 2 bulan dapat tu kan namanya cepat yaa. Buatku itu namanya cepat.
Cita-cita sekolah di UI dari beasiswa LPDP masih berlanjut. Di waktu aku hamil trimester dua, LPDP buka lagi. Suamiku nyoba lagi. Waktu itu suamiku mulai sibuk di rumah sakit. Curi-curi waktu untuk persiapan. Aku ingat waktu itu waktu proses wawancara, aku lagi di rumah sakit, opname, itu aku hamil 7 bulanan. Pengumuman akhirnya waktu aku udah pulang kampung ke Aceh, lagi kontrol ke dokter kandungan, dan dapat kabar suamiku gak lulus juga. Down, pasti. Sedih, kecewa. Tapi aku gak sekecewa suamiku waktu itu.
Lalu anakku lahir, dan di akhir masa cutiku pandemi masuk Indonesia. Suamiku sibuk. Gak ada lagi waktu persiapan untuk tes beasiswa. Boro-boro persiapan, istirahat aja curi-curi waktu. Awal-awal pandemi chaos. Waktunya banyakan di rumah sakit daripada di rumah. Soalnya dokter umum kan garda depan ya. Terus tiba waktu LPDP buka, eh jurusan yang dimaksud gak buka. Beberapa periode sampe sekarang, ilmu penyakit dalam (tujuan sekolah yang diinginkan) di LPDP di UI gak buka. Akhirnya kami ganti haluan lagi. Fokus ke ngumpulin uang untuk sekolah dulu aja sambil tetap nunggu kesempatan ikut beasiswa lagi, dengan kemungkinan terburuk harus sekolah dengan biaya sendiri, kalau ternyata kesempatan ikut beasiswa gak ada lagi, entah karena gak buka-buka, gak lulus-lulus, atau kehabisan waktu batas usia untuk lamar. Tapi haluannya juga ganti. Kalau emang pake biaya sendiri, yang paling memungkinkan adalah sekolah di Banda Aceh, karena banyak alasan. Beberapa di antaranya, suamiku alumni universitas di sana, udah ada gambaran minta rekomendasi ke siapa, dan ada teman-temannya yang udah duluan nempuh PPDS yang bisa ditanyain untuk persiapan tes dan lain-lain. Untukku pribadi yang dari orang luar, aku gak nyangka persiapan masuk PPDS serumit itu, dengan beberapa alur yang belum bisa kunalar. Dulu aku kira semua orang bisa-bisa aja lanjut PPDS, kayak S2 kan siapapun yang mau ya tinggal sekolah aja. Tapi ternyata gak selurus itu proses mau lanjut PPDS.
Pingback: (Another) New Phase in My Life (Part 2) - Tanya Ke Dalam