
Awal-awal aku masih merasa gak mungkin bisa. Apalagi suami, dia sampe tahap ragu apa dia bisa jadi dokter spesialis dengan berdiri di kaki sendiri. Kebetulan kami bukan dari keluarga yang bisa support biaya untuk sekolah tinggi, jadi kalo mau lanjut sekolah ya usaha sendiri cari biayanya, apa kerja apa beassiswa. Penghasilanku ya standar pns lah, gitu juga suamiku. Besaran penghasilan pokok kami 11-12. Penghasilan dokter umum gak gede kayak yang dikira orang-orang. Tapi kemudian aku terpapar edukasi finansial, belajar set tujuan keuangan dan instrumen investasinya. Dari situ aku yakin, oh, ternyata bukan gak mungkin selama ilmunya ada sebagai bentuk ikhtiar. Dan entah dari mana keajaiban Allah, pelan-pelan uangnya terkumpul, dan betul-betul rejeki datang aja dari sumber gak terduga. Kalo bayangannya cuma dari gaji gak akan nyampe, tapi ada aja rejeki. Aku gak nyangka dalam dua tahun, dari tabungan nyaris nol setelah aqiqah anakku, akhirnya biaya sekolah siap, tanpa ngutang, tanpa minjem bank. Padahal pengeluaran kami gede. Kami tinggal di apartemen di Jakarta Pusat, kebayang expense nya ya. Tapi kami tetap mau tinggal di sana karena pingin, suka, nyaman. Laa hawla walaa quwata illaa billah.
Aku pribadi gak mau ngecilin rejeki dari Allah dan ngecilin kepantasan diri. Aku merasa pantas dapatkan kenyamanan itu, meski dikata gajiku jomplang dengan expense tinggal di apartemen, aku percaya selama aku tau itu yang aku mau dan terus berusaha dan doa, pasti Allah cukupkan. Mungkin kami jadinya belum bisa punya rumah dan mobil. Tapi buatku gak masalah, toh biaya pendidikan suamiku ini adalah investasi terbesar saat ini, yang insyaAllah dinikmati nanti. Untuk sekarang, aku nikmati apa yang ada. Aku mau hidup nyaman di saat ini juga.
Anyway, sampe saat ini, ternyata emang belum ada jalan lagi untuk sekolah dengan beasiswa, jadi kami kerahkan biaya yang udah disiapin, insyaAllah aman sampe lulus. Lanjut ke tantangan lain. Aku.
Aku sedih, luar biasa sedih membayangkan akan ditinggal ke Banda Aceh berdua sama anak di Jakarta. Aku senang untuk suamiku, tapi sedih untuk diriku. Aku masih struggle dengan kestabilan emosi. Aku kelelahan jadi IRT disambi ngantor. Tapi mau nyari ART juga aku gak rela. Berbulan-bulan, bahkan jauh sebelum pendaftaran buka aku udah galau luar biasa. Hari-hariku diisi nangis dan stress. Apalagi waktu pendaftaran resmi dibuka, makin-makin berduka aku untuk diriku. Bukan cuma aku yang stress, suamiku juga. Ada rasa marah sekaligus bersalah di hatinya liat istrinya keliatan gak siap ditinggal. Mau gimana lagi, emang berat. Akhirnya kami sepakat harus terima penderitaan sementara ini. Harus terima kalau ini berat dan bikin sedih.
Hari-hari menuju tes makin berat. Mana tes nya serangkaian panjang, dari awal masukin berkas sampe tes akhir aja sebulan. Suamiku pergi ke Banda Aceh sebulan penuh. Aku sebulan ful ngurus anak sendiri sambil bawa ke kantor. Ini baru latihan loh, nanti kalau fix lulus tentu untuk beberapa waktu yang lama aku handle anak sendiri sambil kerja. Mau gak mau aku harus bawa anakku ngantor. Sebulan itu ibarat latihan. Dan selama latihan itu, cukup mengejutkan terasa berat di hari-hari pertama ditinggal aja. Selebihnya juga berat, tapi gak lebih berat dibanding hari-hari lain saat suamiku masih bisa support. Semoga kedepannya juga selalu dimudahkan.
Lalu suamiku balik ke Jakarta setelah beres semua tahapan tes. Takut, galau, cemas, tapi yakin di saat bersamaan. Terus, baru sehari di Jakarta pengumuman lulus keluar. Alhamdulillah suamiku keterima. Bersyukur sekali sama Allah, akhirnya saat itu datang juga. Aku bersyukur, sekaligus berduka karena resmi beberapa hari ini adalah hari-hari terakhir momen kami bisa bertiga di apartemen di Jakarta. Kami berusaha nikmatin hari-hari terakhir ini. Tapi yang buat makin berduka adalah, ternyata momen itu cuma dikit bisa kami nikmati. Baru selang 1-2 jam dari pengumuman, suamiku udah langsung disibukkan sama perintilan mahasiswa baru, lewat grup WhatsApp. Suamiku si mahasiswa baru gak dikasi ruang dan kesempatan sedikitpun untuk meleng dari HP. Baru aja bahagia, kami sedih, kecewa, frustrasi, marah karena ekspektasi kami untuk quality time di saat akhir ini gak kesampean. Gimana enggak, ini raga masih sama-sama loh, tapi gak dikasi kesempatan untuk betul-betul sama-sama. Tapi yaudahlah, dengan hati kacau balau pun jalanin aja, kami nikmati kebersamaan raga ini.
Selang berapa hari, aku tukar-tukar dinas kantor plus cuti, dapatlah waktu satu bulan bisa gak ngantor, WFH dan cuti aja. Aku manfaatin momen itu untuk bisa pulang kampung sekalian ngantar suami. Selain karena udah dua tahun gak pulang, gak ketemuin anakku sama nenek kakeknya, kami juga pingin ada momen sama-sama ngantar suami ke tempat baru (atau lama? Kan dulu kuliah dan kerja di Banda Aceh juga) nya. Masih bisa manfaatin sedikit sisa-sia waktu bersama.
Sekarang, di momen ini, detik ini, aku belum bisa buat keputusan apa yang harus aku lakukan. Yang pasti aku akan ikut ke Banda Aceh. Tapi kapan waktunya ngomong ke atasan, gimana caranya, mau ke kantor yang mana (atau gak ke kantor mana-mana), mau kapan, aku masih belum ada keputusan. Aku masih terus netapin hati. Hatiku belum betul-betul bulat ke satu pilihan. Distraksi masih banyak tentang bayangan “gimana nanti” a.k.a anxious. Coba, gimana gak takut, ngurusin anak sendirian sambil kerja kantor. Kalo aku IRT tok aku dah gak mikir-mikir lagi, pasti pas abis kontrak apartemen tahun ini langsung cus ikut ke Banda Aceh. Tapi sekarang pertimbangan banyak, hati dan pikiran masih kesana kemari. Aku gakmau buru-buru ngambil keputusan sebelum hatiku netap di satu pilihan.
Dan yah, sekarang aku resmi jadi istri mahasiswa PPDS. Kalo ditotal-total prosesnya 4 tahun dari percobaan pertama sampe akhirnya masuk. Gak ngerti lagi gimana beratnya, tapi aku yakin seberat apapun pasti Allah tolong dan mudahkan, insyaAllah gak akan berat. AMIN.