Bulan ini dan bulan-bulan selanjutnya, mungkin tahun-tahun selanjutnya, akan jadi berberbeda untuk aku dan keluarga kecilku. Kami segera memasuki fase besar yang udah kami ekspektasi dari 1-2 tahun lalu, bahkan mungkin sejak menikah. Semakin dekat waktunya, semakin berat rasa di hatiku. Begitu juga dengan suamiku. Sesak membayangkan kami harus berjauhan lagi. Berjauhan saat pacaran adalah hal berat, makin berat saat menikah. Tiga tahun kami tinggal satu atap, sampai juga waktunya harus berpisah lagi untuk sementara waktu, rasa sesaknya berkali lipat.
Awalnya kukira terasa berat karena aku harus mengurus anak dan rumah tangga sendirian, belum lagi aku masih bekerja full time. Selama berbulan-bulan kebelakang, tiap kali membayangkan aku tinggal berdua dengan balita membuatku takut luar biasa. Membayangkan penghasilan hanya akan berat sebelah sementara waktu membuatku merasa ini beban berlipat-lipat yang harus kutanggung, terlebih pekerjaan yang aku jalani sekarang tidak lagi memberi rasa bahagia.
Sampai waktunya hampir datang, Mei 2022. perpisahan sementara ini semakin jelas wujudnya. Hari-hariku diisi tangis, meski tetap kuusahakan menikmati momen-momen terakhir di ruang ini bertiga. Belum lagi pertengkaran-pertengkaran silih berganti. Aku yang merasa terbeban dengan keadaan baru, dan suamiku yang belum bisa menerima kalau ini adalah beban untukku. Mustahil aku merasa ini bukan beban. Tiap membayangkannya takutku luar biasa. Aku takut dengan diri sendiri, karena masih banyak inner work yang harus kulatih, terutama manajemen emosi. Aku takut berdua dengan anak di rumah tanpa ada yang membantu.
Sejak tahun lalu aku persiapkan diriku. Beberapa jenis self healing aku jalani, agar kakiku lebih kokoh, lahir, batin, dan pikiranku lebih bersih. Olahraga, journaling, meditasi, menulis. Aku merasa lebih baik, tapi rasa takut dan cemas menghadapi saat itu masih besar. Setiap kali journaling aku yakinkan diriku bahwa Allah pasti menolongku. Bawa aku gak mungkin sendirian. Bahwa semua pasti Allah mudahkan dari jalan yang gak aku sangka-sangka. Aku sangkakan yang baik-baik pada Tuhanku.
Di hari-hari terakhir sebelum suamiku pergi, aku sampai pada satu titik, bahwa aku menerima keadaan ini, rasa ini. Aku terima bahwa aku takut menghadapi saat itu datang. Aku terima, bahwa semua ini terasa berat. Aku terima, bahwa aku perlu berusaha berkali lipat mengontrol reaksiku. Aku terima, bahwa mengurus anak dan rumah tangga sendirian sambil bekerja adalah hal yang tidak mudah, dan aku gak akan kuat menjalaninya. Aku terima, bahwa aku luar biasa lelah bahkan hanya dengan membayangkannya. Aku tidak kuat, dan ini adalah beban yang berat. Tapi saat aku menerima ini semua, ternyata suamiku belum. Kami bertengkar lagi. Suamiku sulit menerima ini adalah beban untuk aku dan takut akan menghentikan jalannya. Sampai di satu titik, kami sepakat bahwa ini semua harus diterima. Bahwa ini beban untuk aku dan kami berdua harus kuat menghadapinya dan menyaksikannya adalah hal yang harus kami terima. Aku mau menjalani ini dengan lapang dada, dan suamiku harus berlapang dada juga kalau menyaksikan aku terbeban dengan ini. Dan tiap kali lupa, aku yakinkan dan ingatkan diri lagi bahwa aku gak pernah sendirian, karena Allah selalu menemani. Ini gak akan sesulit yang aku bayangkan, karena Allah selalu memudahkan. Ini gak akan berlangsung selama yang aku bayangkan, karena Allah selalu kasi jalan untuk bersama.
Sekarang waktunya datang. Pedih hati melihat kepergian suamiku, sangat berat di hari pertama. Kuhabiskan hari itu untuk bersedih dan tidak kutahan. Besoknya aku merasa lebih baik, hingga hari ini, satu minggu setelah kami berjauhan, aku jauh merasa lebih baik. Sejauh ini, lelah yang kurasakan saat mengurus semuanya berdua masih sama dengan sekarang saat aku mengurus semuanya sendiri. Drama sehari-hari masih sama, masih tentang lantai yang ketumpahan susu, anak menolak mandi, aku stress tiap dikasi kerjaan, diganggu anak waktu kerja. Gak ada yang berubah kecuali sekarang aku sendiri.
Pingback: Penerimaan - Part 2 - Tanya Ke Dalam