Pelajaran Setahun Terakhir

cottage, trees, path-2955582.jpg

Hahhh, akhirnya aku bisa menghembuskan napas lega di bulan Ramadan 1444, April 2023 ini. Hari yang dinanti-nanti selama setahun ke belakang. Kalau diingat-ingat, emang yang kujalani selama setahun terakhir adalah hal yang terlalu berat. Aku gak sanggup, dan gak ngerti dapat tenaga dari mana sampe bisa sehat lahir batin ketika saatnya tiba. Mulai dari maksain ngurus anak sambil ngantor selama 9 bulan sampe ngurus pindahan dari Jakarta ke Banda Aceh sendirian sambil ngurus anak yang masi 3 tahun. Meski begitu, aku dapat hikmah luar biasa dan unlock kemampuan baru selama setahun terakhir. Ada beberapa hal yang aku belum mengerti dari kejadian ini yang membuatku merasa belum bisa terima dan masi terasa berat saat mengingatnya. Semoga pelan-pelan pemahaman itu datang biar aku gak perlu remedial nanti. Terlepas dari itu semua, aku bersyukur bisa sampai di hari aku bisa bernapas lega, tanpa ada satupun lagi orang yang kubiarkan merasa punya hak untuk mengatur aku, karena yang berhak mengaturku cuma Allah dan aku sendiri. Ternyata aku gak cocok diperintah-perintah :’)

Pelajaran yang bisa kuambil dari pengalaman setahun terakhir:

  1. Terima bahwa setiap perubahan pasti diikuti resistensi bukan hanya dari diri tapi juga orang lain

Penolakan dari luar adalah hal yang paling sulit aku terima. Hal ini adalah yang paling berat untuk aku. Aku belum bisa santai saat orang lain, mulai dari yang dekat sampai yang gak dekat-dekat amat nanya “kenapa” dan suggest hal lain selain yang aku ajukan untuk diriku sendiri. Aku masih terpancing membuang-buang tenaga dengan membiarkan penolakan orang lain terngiang-ngiang di kepala untuk beberapa saat, sehingga aku butuh waktu agak lama untuk menerima hal ini. Meski aku tetap lanjut karena keukeuh, di beberapa waktu aku kelelahan sendiri menghadapi rekaman kata-kata penolakan atau yang menyiratkan keraguan berulang-ulang kayak kaset rusak di kepalaku. Di titik ini yang bisa kulakukan adalah menerima kalau aku belum bisa terima. Ini tahap awal aku memberi welas asih pada diri setelah dikasi ruang misuh-misuh. Setelahnya pelan-pelan bisa ngasi welas asih sama yang menolak. Meski gak sempurna dan akan berulang saat merasa ditolak, setidaknya udah bisa praktekin trouble shooting nya.

  1. Masa lalu orang lain tidak mencerminkan masa depan aku

Aku banyak dapat saran (tidak diminta) selama proses ini. Landasan sarannya sering kali rasa takut dan kepahitan dari yang menyampaikan. Ada juga yang dengan gamblang menunjukkan keraguan atas keputusanku. Memang, kayaknya belum pernah aku ceritakan alasan mendasar aku mengambil keputusan ini sama siapapun dengan sangat jelas kecuali sama suami. Dari permukaan hanya terlihat aku jauh dari suami dan keluarga besar sehingga mengambil jalan ini. Tapi ada lapisan selanjutnya yang lebih mengakar. Aku mengerti kenapa orang lain gak mengerti, dan aku gak bisa bohong saran-saran itu kadang menggoyahkan aku sampe kepikiran “apa iya, ya?” Tapi satu hal yang aku pegang setelah sedikit banyak belajar tentang realita adalah masa lalu sudah lewat dan tidak bisa diapa-apakan, hanya bisa diambil pelajarannya. Masa depan belum terjadi, jadi jangan khawatir. Penentunya adalah saat ini. Apa yang terasa benar saat ini, meski gak ada kata-kata yang bisa menjelaskan untuk masuk di akal orang lain bahkan diriku sendiri, adalah petunjuk ke arah jalan yang lurus kalau diikuti dengan niat dan pandangan yang bersih. Apa yang kita putuskan untuk lakukan saat inilah penentu masa depan, bukan masa lalu.

  1. Cari jalan tengah

Ini pertama kali aku berjuang untuk diriku sendiri yang sama sekali bukan berlandaskan materi dan keukeuh sama keputusanku. Tapi meski begitu, prosesnya melibatkan orang lain. Pada awalnya aku gak terima karena merasa ini hak aku, kenapa ditahan-tahan? Sambil menghadapi ego yang minta diperhatikan, aku bangga dengan diriku sendiri karena masih bisa melembut nyari jalan tengah agar semua terpuaskan tapi hak aku tetap terpenuhi. Kadang aku merasa apakah ini melembut atau people pleasing, sampe sekarang aku merasa diantara keduanya. Pada akhirnya aku mesti makan hati dan menebar benci karena merasa kesulitan menempuh jalan tengah ini: jalan yang relatif cepat (meski makan waktu berbulan-bulan juga) untuk aku dan aman untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Aku kepingin datang baik-baik dan pergi baik-baik. Aku juga berusaha berwelas asih sama orang-orang yang terlibat, meski kalau diliat dari luar yang kasian adalah aku. Aku mau berjuang untuk diriku dengan penuh welas asih untuk diri dan sekitar, dan aku bahagia merasa berhasil melaluinya dengan baik, meski tentu ada aja yang gak senang. Tapi kesenangan diri adalah tanggung jawab masing-masing, bukan tugasku menyenangkan orang lain. Yang jelas, menahan-nahan aku hanya membawa mudharat bukan hanya untuk aku tapi untuk orang lain, karena dengan begitu aku hanya akan memberikan energi tidak baik.

  1. Ketidakpastian adalah kepastian

Cita-citaku menyambut ketidakpastian tanpa melekat pada apapun terasa sangat melegakan. Membayangkan ketidakpastian di masa depan bukan lagi momok menakutkan untukku. Mau serapi apapun rencana yang kita buat belum tentu jalannya seperti itu. Makanya aku gak mau lagi megang erat-erat rencana yang kubuat sendiri. Rencana harus dibuat, tapi jangan sampe dipegang erat-erat, karena kalau ternyata kata Allah bukan ke sana tapi megang rencana sendiri terlalu erat yang ada malah kesakitan dan kesusahan sendiri. Menerima masa depan yang tidak pasti dengan mengikuti dan menjalankan apa yang terasa benar di depan mata akan jauh lebih mudah dan ringan.

  1. Manusia terlahir dengan rejeki yang udah ditetapkan hanya dengan menjadi dirinya sendiri, bukan dengan bekerja mati-matian

Aku kepingin merasakan tune in sama true self sehingga aku bisa menjalankan pekerjaan yang memang ditugaskan Allah untukku di dunia. Aku percaya itulah cara untuk mengundang keberlimpahan dalam hidup. Kenapa kerja terasa mati-matian? Karena bisa jadi itu bukan pekerjaan yang Allah tugaskan pada kita tapi we do it anyway karena takut gak dapat rejeki (read: scarcity mentality). Kita gak seharusnya hidup kayak gitu asalkan kita benar-benar tune in sama true self.

Sekarang aku masih di tahap awal: mengambil jeda dan merespon apa yang terasa selaras di depan mata saat ini. Mungkin suatu hari aku jadi maniak kerja lagi saat momen jawaban itu datang. Dan aku percaya di momen itu mungkin di luar aku keliatan maniak kerja tapi rasanya kayak main. Aku belum tau apa, kapan, dimana, bagaimananya, tapi aku yakin dan pasrah aja sama masa depan. Pokoknya sekarang aku mau jeda dan memperbaiki kualitas diri dulu sebagai makhluk spiritual.

  1. Apapun yang terjadi, aku adalah orang tua terbaik untuk anakku

Gak jarang aku merasa bersalah sama anakku. Baru tiga tahun tapi udah kusertakan dalam keadaan kehidupan yang sedang gak santai sama sekali, meskipun dia senang-senang aja melaluinya. Terlalu banyak hari melelahkan yang membuatku gak bisa hadir untuk dia secara spiritual dan emosional. Tapi begitulah kehidupan, tidak mungkin sempurna dan mulus sepanjang jalan. Di saat-saat terburukpun, aku yakin akulah orang tua terbaik untuk anakku.

  1. Pola berulang saat aku diujung tanduk

Hahhh ini yang bikin aku agak khawatir sebenarnya, apakah bisa diterima apa adanya atau memang harus ada langkah yang mesti diambil untuk mengubahnya. Kejadian bulan lalu yang membuatku merasa di ujung tanduk mirip dengan kejadian di hidup aku di 2017, 2014, 2011, 2009. Ini yang sepanjang aku ingat. Polanya: aku di ujung tanduk harus keluar dari masalah yang ibarat antara hidup-mati. Semakin mendekat ke deadline semakin bertambah desakan sana-sini. Padahal di ujungnya selesai juga, pertolongan datang dari Allah dari jalan yang gak disangka-sangka. Tapi tetap aja saat terdesak tu cemasnya luar biasa.

Dulu pernah dengar ceramah Ust. Hanan tentang makna ayat “Bersama kesulitan ada kemudahan” bahwa selain keduanya datang sepaket, maknanya adalah saat keadaan terasa semakin sulit, jangan sedih dan khawatir karena artinya pertolongan Allah segera datang. Ketika keadaan makin sulit artinya pertolongan Allah semakin dekat. Aku mengimani ini tapi apalah daya kecemasanku sering menang. Ibarat spiritualnya terhubung tapi badan belum siap. Tapi gakpapa, pada akhirnya di semua kejadian itu, pertolongan Allah bertubi-tubi.

Banyak kejadian di Ramadan ini yang bikin haru. Salah satunya yang terakhir kemaren waktu aku mau berangkat ke Banda Aceh, koperku berat, tiba-tiba ada yang nolongin pagi-pagi buta bawain koperku ke lobby apartemen, bahkan mau nawarin ngantar ke bandara. Tapi akhirnya aku dapat Gocar yang kebetulan posisinya dekat. Gak ada macet, lancar sampe bandara. Di bandara aku kerepotan ngangkat koper taro ke trolley sambil megangin anak, tiba-tiba ada yang bantuin naro koper ke trolley. Di pesawat waktu mau turun ke tempat transit, ada bapak-bapak yang bantuin nurunin ransel dari bagasi. Aku udah teler parah tapi jadwal transit rapat hampir gak ada jeda, buru-buru mampir makan siang sama anak dan agak lari-lari ke ruang tunggu karena hampir telat, ternyata ada delay 30 menit, lumayan aku bisa ngaso dikit. Pas nyampe Banda Aceh, bagasi gak terlalu lama nunggunya. Sampe rumah dengan selamat. Itu baru di kejadian satu hari perjalanan. Sebelum-sebelumnya juga masyaAllah. Terimakasih jiwa-jiwa bersih yang udah jadi perantara Allah menolong aku.

Masalah pasti akan tetap ada, harapanku untuk diriku, semoga kedepan cemasnya bisa dikelola dengan lebih baik.

Selamat datang kehidupan yang baru. Tunggu aku, Sefri yang sejati. Aku dalam perjalanan menyatu denganmu seutuhnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart