Siapa Aku Setelah Jadi Ibu?

mother, daughter, kiss-6935336.jpg

Banyak perempuan merasa kehilangan dirinya setelah punya anak. Gak heran sebenarnya, karena di momen anak lahir, kehidupan perempuan berubah total. Ada anak manusia yang bergantung hampir 100% padanya sampe menyita hampir semua waktu yang dia punya. Pendidikan tinggi yang ditempuh, karier yang susah payah dibangun, seakan dikacau-balaukan dengan hadirnya bayi mungil di kehidupannya. Kehadirannya membawa kebahagiaan tak terperi, tapi seiring dengan bahagia ikut pula perjuangan baru yang melelahkan, yang gak jarang jadi kabut tebal sampe kebahagiaan sebenarnya gak terasa lagi. Bukan hanya kebahagiaan, jati diri pun serasa hilang. Lalu ibu baru pun bertanya, siapa aku sekarang? Kenapa aku gak kenal lagi? Mana diri yang selama ini kukenal?

Sepanjang menjadi ibu, memang aku gak tenggelam dalam pertanyaan ini. Aku gak terlalu merasa kehilangan diri. Aku masih kenal diriku, tapi aku sadar aku teramat sangat lelah, sampai bingung kenapa aku gak bisa merasakan joy sebagai ibu baru. Itupun udah cukup menyiksa. Aku juga sadar, ini tidak benar. Seharusnya aku merasa bahagia, jadi apa yang salah? Apa sinyal yang mau disampaikan oleh Allah lewat semesta dari rasa tersiksa ini? Apa jawaban dari cobaan ini?

Hari ini aku tiba-tiba terpikir, mungkin sebenarnya kita bukan kehilangan diri, tapi kita unlock versi diri yang baru, yang selama ini belum terbuka. Karena dibukanya tanpa transisi, langsung dalam hitungan jam proses melahirkan, kita belum siap dan butuh waktu untuk mengenal versi diri yang baru ini. Kenapa mesti versi baru? Karena ada manusia baru yang perlu dibesarkan dengan kemampuan yang belum kita punya sebelumnya. Diri kita yang sebelumnya masih ada, tapi di saat ini versi baru lebih diperlukan. Versi sebelumnya bisa jadi tetap bertahan dan hanya perlu penyesuaian dengan pola baru, “hibernasi” selama anak masih demanding dan akan kembali saat anak perlahan seiring waktu akan mandiri, atau bisa jadi harus direlakan karena memang udah gak cocok lagi dengan keadaan saat ini maupun selanjutnya. Hal ini lumrah, karena evolusi adalah hal natural yang dialami manusia sepanjang hidup di dunia, jadi ikuti aja ritmenya.

Tapi ternyata mengikuti ritme dan alur kehidupan gak semudah diucapkan. Saat kehidupan berubah, kita masih susah melepas apa-apa yang gak diperlukan dan gak cocok lagi dengan kondisi saat ini. Saat punya anak, kita masih memaksakan keadaan yang sama dengan sebelum punya anak. Masih memaksa kehidupan di luar rumah sebanyak saat belum punya anak. Masih memaksa sibuk di luar urusan rumah tangga sesibuk sebelum menikah. Padahal jadi ibu sendiri udah sangat melelahkan, apalagi ditambah kegiatan ekstra lainnya. Kita terlalu takut kehilangan apa yang kita rasa udah diperjuangkan sejak lama, takut kekurangan uang, kehilangan teman, kesempatan, dan sebagainya. Kita terlalu melekat dengan semua itu, dan lebih parah lagi menjadikan anak alasan memenuhi ego kita: perlu cari uang yang banyak untuk membesarkan anak. Di saat keputusan hidup yang kita ambil alasannya adalah orang lain, berarti ada hal yang lebih dalam dari itu yang mesti digali, sampai ketemu jawaban yang lebih mendasar. Alasan sebenarnya adalah hal yang menyentuh diri kita sendiri.

Terus gimana dengan prioritasin anak setelah melahirkan? Bukannya itu alasan soal hal lain di luar diri juga ya? Dulu aku mikirnya gini. Tapi makin ke sini aku justru merasa dengan memprioritaskan anak di saat dia masih demanding, aku justru ngasi waktu untuk diriku belajar dan mengeksplorasi banyak hal baru. Ini utamanya untuk diriku sendiri, yang tentu juga menyentuh kebutuhan anakku. Aku justru merasa di tiga tahun kehidupan anakku, aku banyak belajar dan mengerti banyak hal baru yang sebelumnya bahkan gak aku sentuh. Gak cuma soal parenting, tapi lebih mendasar lagi aku banyak belajar mengenal diriku, justru saat aku punya anak, bukan saat aku masih single dulu. Paradox yang mencengangkan untuk aku.

Aku gak bilang kalau jadi ibu artinya harus mau di rumah terus ngurusin anak dan rumah doang. Tapi, hidup perlu ngikutin arus dan perlu penyesuaian. Saat baru jadi ibu, anak masih demanding, mungkin itu saatnya kita memang perlu jeda dari semua hal lainnya dan fokus sama diri dan anak. Anak cuma butuh kurang dari 10 tahun untuk bisa mandiri. Seiring anak mandiri, semakin banyak pula waktu kita untuk bisa memikirkan, menggali, merancang, dan melakukan apapun yang kita cita-citakan, entah itu cita-cita lama yang tertunda atau cita-cita baru yang kita temukan seiring berjalannya waktu. Aku rasa gak perlu merasa takut ini itu di masa-masa anak masih kecil. Cuma sebentar, kita gak akan kehilangan apa-apa. Cuma perlu ngerem untuk beberapa hal, nanti juga bisa ngebut lagi kalau saatnya udah tiba. Masalah umur yang makin menua, percayalah itu sama sekali gak jadi hambatan kita untuk berkembang. Coba perbanyak referensi perempuan-perempuan yang semakin berkibar dan berkontribusi di dunia ini justru di usia yang semakin menua. Ini perlu untuk menambah semangat dan keyakinan kita bahwa umur bukan masalah. Bukankah manusia fitrahnya selalu berkembang?

Aku rasa, satu-satunya pilihan hidup yang udah pasti, wajib kita pegang adalah pilihan yang gak mengikat. Mungkin pilihan apapun yang kita ambil sebenarnya gak ada yang mengikat, tapi kita sendiri yang terlalu gampang melekat pada apa yang udah kita pilih. Seakan sekalinya kita memilih itu, selamanya harus dipegang. Apapun. Mau anak, hubungan, pekerjaan, tempat tinggal, apapun. Sesuatu perlu dipertahankan justru kalau hal itu membebaskan. Pilihlah apapun yang bisa mengikuti alur hidup kita, apalagi perempuan, yang fase hidupnya berganti-ganti terus sejak lahir sampai liang lahat. Peran perempuan banyak dan tiap fasenya berbeda-beda, dan semuanya peran besar. Jangan khawatir, di fase apapun kita berada, kita selalu bisa play big dengan cara berbeda-beda. Gak perlu buru-buru dan memaksa semua harus tercapai di tahun-tahun berat di saat anak kecil. Percayalah kita selalu punya cukup waktu dan rejeki. Keberlimpahan selalu tersedia di saat ini dan akan datang dengan mudah saat kita bersyukur dan ngikut aja kemana arus kehidupan. Semua terasa sulit saat Allah maunya apa tapi kita ngeyel maunya yang lain. Mungkin dikasi juga, tapi konsekuensinya juga mesti diterima.

Intinya, jadikan trigger sebagai pesan bahwa ada yang perlu di ubah. Perubahan memang sulit, begitu juga dengan bertahan. Tinggal pilih, mau ngambil jalan sulit yang mana. Pasti di antara jalan sulit itu ada yang terasa lapang di hati, dan buatku ke sanalah arah melangkah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart