Berproses adalah Merasa

ga77fa418c592b14e78d634f4547c83c76bfde4d476e0087e75ee27b2497c55161254948892ece287f4486f9370a1026293bba65c922153e334d8f414b7668e57_1280-1888758.jpg

Suatu hari di tahun lalu saat aku dengan suka-rela membuka diri untuk diprovokasi dan mengorek luka sendiri sampai ke dasar. Dan setelah habis ratusan journal prompts kukontemplasi, aku bertanya: lalu setelah semua luka ini dikenali akarnya, then what? Kenapa rasanya tidak ada yang sembuh? Oke aku merasa puas di satu sisi karena akhirnya aku mengenali dari mana sumbernya (setidaknya dari leluhur terdekat alias orang tua), lalu apa? Ini mesti diapain? Oke jawabannya reparenting, terus gimana? Di titik ini rasanya aneh: terpuaskan satu tahap terlewati tapi bingung aku mesti apa selanjutnya agar sembuh.

Memang setelah momen mengorek luka itu, pelan-pelan jalan terbuka. Satu-per satu orang dan kejadian bisa kumaafkan sepenuhnya tanpa aku mengerti sebenarnya apa yang kulakukan selama proses itu. Tapi ketika aku sampai di titik bisa memaafkan, rasanya saat ada trigger apapun yang naik, aku jadi lebih sabar sama diri sendiri saat ada kemarahan atau duka lain yang naik.

Sangat jarang dibahas, saat kemarahan, duka, kesedihan, malu, rasa bersalah, dan sebagainya muncul, tidak semuanya bisa kita proses dalam kurun waktu yang bisa dipastikan. Tidak otomatis prosesnya saat kita menemukan akar masalah maka serta merta kita bisa langsung memaafkan dan mentransformasi segala rasa menyesakkan itu. Bahkan, saat kita mengenali akarnya, kemarahan bisa jadi berkali lipat lebih besar. Merasa diri korban semakin menjadi. Ada rasa kita tidak pantas mendapatkan masa lalu seberat ini, perlakuan sekasar ini, tidak dihormati batasannya, dsb. Iya, mungkin di beberapa hal akhirnya kita paham akarnya dan lebih mudah menerima dan memaafkan. Tapi untuk hal-hal yang berpuluh tahun kita tekan dan pendam? Tidak heran kemarahan yang selama ini tidak disadari jadi sangat nyata besarnya.

Lalu di mana peran kita dalam proses penyembuhan ini? Di mana sebetulnya bagian yang kita sebut “berproses”? Apakah saat mengorek informasi dari dalam diri dengan journal prompts? Atau meditasi dengan segala visualisasi dan afirmasinya?

Iya, itu juga bagian dari proses. Tapi buatku, intinya “berproses” itu adalah merasakan segala emosi yang hadir. Saat kita mengijinkan diri merasa tanpa distraksi, di situlah proses terjadi. Di situlah transformasi terjadi. Saat kemarahan hadir, apalagi yang tanpa kita sadari kita abaikan puluhan tahun dengan rasa bersalah dan hina, ijinkan diri merasa dan meluapkannya dengan cara yang sehat dan aman agar tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata atau perbuatan. Bisa lewat body work, rage rituals, membuat surat lalu dibakar, menangis sepuasnya, dsb.

Visualisasi yang terkesan dipaksakan atau afirmasi yang diucap tapi hati penuh ragu hanya menutupi ketidaknyamanan dalam diri yang sedang berproses. Iya, merasa itu tidak mudah. Merasa itu berat bahkan menyakitkan. Tapi ini akan lebih mudah kalau kita mengijinkan diri. Beri kasih sayang dan apresiasi pada diri karena sudah berani mengijinkan diri merasa. Hanya dengan melakukan ini, luka akan bertransformasi menjadi energi bervibrasi tinggi dengan segala manifestasinya: hubungan yang membaik, rejeki yang lebih lancar, hati lebih ringan, badan bugar, dsb. Dalam prosesnya tentu sangat “jelek”, tapi jangan khawatir karena Tuhan selalu bersamamu. Jangkarkan kesadaran pada kehadiran dan kasih sayang Tuhan, agar penyembuhan-Nya datang padamu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart