
Dari cerita aku salah jurusan sampe kerja, ada beberapa hal yang bisa dihighlight sebenarnya. Pesan yang pingin kusampein bukan kayak “wah segitu berjuangnya ya, you did it anyway, akhirnya berhasil”. Atau “you’re so strong” apalagi “kasian banget idupnya dulu”. Bukan itu. Tapi:
1.Takut ngikutin kata hati dari awal pengaruhnya akan makin parah seiring berjalan waktu
Kalo kita gak mendengarkan dan mengikuti kata hati dan sinyal-sinyal yang tubuh kasi sedari awal (tentunya ini juga salah satu petunjuk Allah yang dikasi lewat feeling), dampaknya bisa kemana-mana dan membesar, kek butterfly effect. Kalo dari awal aku ngikutin kata hati, memprioritaskan joy untuk hal yang akan aku lakukan, tanpa khawatir nanti akan menghasilkan uang dari situ atau enggak, tentu rasanya sangat-sangat liberating. Bahagia. Ya aku belajar, belajar aja, karena senang. Tapi instead aku maksain milih jurusan yang aku pikir bisa menghasilkan (meskipun memang iya) tapi I am burden inside.
2. Semua orang punya pilihan untuk mengubah keputusan
Saat aku tau ternyata aku gak suka, meski awalnya aku kira aku suka karena terinspirasi kata dosbingku (hello, open head and crown center in her human design), aku punya pilihan untuk gak nerusin. Tapi aku paksain terusin karena takut kehilangan beasiswa untuk S2. Lagi-lagi, efeknya kemana-mana. Aku menjalani bertahun-tahun menggeluti bidang yang sedikitpun aku gak suka. Maksain diri ada di keadaan itu gak membantu sama sekali. Yang dihasilkan dari belajar dan kerjaannya gak maksimal. Orang-orang juga gak terlalu terbantu sama service dan ilmu yang aku pikir bisa aku serve. Apalagi aku Man Gen. Joy adalah harga mutlak yang harus aku prioritaskan dalam melakukan apapun. Kalo gak ya frustrasi berkepanjangan, buruk untuk kesehatan pikiran, jiwa, dan raga aku.
Dulu, aku memandang orang yang tiba-tiba berhenti kuliah di tengah jalan karena “gak suka” tu adalah orang yang bertanggung jawab. Sekarang aku melihat mereka adalah orang yang berani. Meski sebenarnya mereka salah juga, kenapa gak dari awal beraniin bilang ke orang tuanya kalo dia gak mau kuliah di sana (meski kita sama-sama tau ini berat untuk orang yang besar di budaya Asia). Tapi setidaknya mereka memberanikan diri mutusin, oke, aku gak mau terus-terusan ada di jalan yang gak aku suka.
3. Jurusan kuliah yang gak sesuai sama kerjaan bukanlah hal yang aneh
Setiap orang bisa aja punya banyak hal yang dia suka. Bisa aja dia suka bidang A terus dia milih jurusan A, tapi dia juga suka bidang B dan memutuskan kerja di bidang B. Gak mesti loh ijazah tu dipake untuk bekerja. Asalkan kita punya keyakinan bulat dalam hati bahwa rejeki Allah luas, akan datang dari jalan yang gak kita duga, dan kalau kita melakukan hal yang kita suka, insyaAllah kebermanfaatan untuk diri dan sekitar akan menyebar dan kesejahteraan termasuk uang akan mengalir deras melalui kita. Apalagi makin ke sini, pendidikan tu penting untuk membentuk pola pikir dan cara pandang kita, tapi skill ya bisa-bisa aja diasah dari training, pengalaman, belajar otodidak, macam-macam. Dari sekolah, sangat mungkin kita lupa ilmu di bidang yang kita pelajari, tapi cara pandang dan berpikir pasti melekat sampe kita mati. Jadi sebenarnya gak perlu segitunya lah memprospek-prospek jurusan yang diambil sama kerjaan nanti apa. Ikuti aja apa yang kita senangi.
4. Belajar menerima apa yang udah terjadi
Saat keputusan dirasa gak tepat, keknya manusiawi kalo kita merasa “ah, mestinya dulu aku gini/gitu biar ini gak kejadian”. Tapi ya dulu kita gak tau kejadiannya bakalan kayak gini. Dulu kita gak melihat pandangan-pandangan yang kita punya sekarang. Justru karena hal itu terjadi, kita jadi tau apa yang salah. Saat tau hal itu gak tepat, wajar rasanya marah, ke diri, ke keadaan, ke orang-orang yang kita pikir jadi penyebab keadaan gak enak kita saat ini. Terima kalo kita merasa marah. Habisin marahnya. Kalo udah abis, mulai pelan-pelan terima kalo itu semua udah terjadi dan gak bisa diapa-apain lagi, hanya bisa diambil pelajarannya. Jangan belum apa-apa udah nekan-nekan rasa marah dan maksain diri terima, nanti jadi bom waktu yang suatu saat meledak, ujung-ujungnya gak bisa terima lagi. Pelan-pelan aja, take your time. Jangan terintimidasi sama orang yang bisa terima kejadian gak enak masa lalunya dalam waktu singkat. Tiap orang beda-beda, lukanya beda-beda. Bisa aja luka kita lebih dalam meski kalo diliat kejadiannya gak separah orang lain. Yang penting pelan-pelan berusaha tuntasin marah dan terima masa lalu udah terjadi dan hanya bisa diambil pelajarannya.
5. Belajar lepas dari victim mentality
Sejak sekolah, aku lumayan parah victim mentality nya. Rasanya semua hal gak enak yang aku alami tu karena salah orang, dan aku korbannya. Contohnya ya kayak cerita aku itu. Aku merasa korban dimarah-marahi dosbing. Aku merasa korban, self esteem ku sangat-sangat rendah ya gara-gara beliau ini sering marah-marahin aku, ngatain aku gak bisa baca, gak bisa nulis, gak ngerti-ngerti. Padahal sedari awal salahku sendiri, siapa suruh masuk di jurusan yang gak aku suka? Kalo aku tempatin diri aku di posisi dosbingku waktu itu, wajar beliau frustrasi. Meski ya gak bisa dianggap wajar juga marah-marahin orang, jatuhin mental orang, itu jahat. Tapi kenapa hal jahat itu kejadian sama aku, karena energi jelek aku sedari awal menarik kejadian itu. Jadi, bagusin energi, prioritaskan joy dalam apapun yang dilakukan, biar gak menarik hal-hal jelek kejadian di diri kita, dan gak merasa semua orang jahat sama kita.
6. Realistis sama prosesnya
Coba, umur kamu berapa sekarang? 20an? 30an? 40? Selama masa hidup ini, berapa lama udah mengabaikan suara dari dalam diri? Kalo aku jujur hampir seumur hidup aku. Udah selama itu mengabaikan diri, kira-kira bisa gak langsung kedengeran diri maunya apa, sukanya apa? Tentunya butuh waktu. Jadi realistis aja, jangan sampe di target “pokoknya tahun ini aku mesti tau”. Nanti jadinya malah gak otentik lagi jawaban yang didengar. Pelan-pelan. Cara paling tepat buat aku emang lewat jurnal. Soalnya otak ini terlalu high tech, kitanya gaptek. Jadi kita mesti pelankan dulu jalan otak lewat nulis. Saat nulis, kita maksa otak untuk kerja lebih pelan, jadi kita bisa eksplor pelan-pelan. Lagi-lagi, gak mungkin dalam sekali tulis ketauan. Bisa jadi sampe berbuku-buku jurnal yang kita tulis tiap hari. Bisa jadi, kita baru tau kesukaan kita apa setelah melihat pola yang kita liat dari jurnal rutin kita yang ditulis berbulan-bulan, bertahun-tahun, setiap hari. Just be curious about yourself. And don’t forget, be gentle to yourself 😉
Ini bukan perjalanan sebentar, tapi ayo kita sama-sama bertumbuh. Sekarang aku memaknai dunia adalah tempatnya bersusah payah adalah dengan memberikan effort lebih untuk memprioritaskan joy agar bisa lebih baik dalam bersyukur dan siap menerima rahman dan rahim Allah yang gak terbatas. Karena untuk ada di state itu lah butuh bersusah payah, butuh keberanian besar jadi versi diri yang lebih baik.