Bandung Ep 3.1 – Lembar baru, pengalaman baru (1)

Sebelumnya Bandung Ep 2 – Kebingungan yang Nyata

Bandung adalah kota yang dulu memang pernah kucita-citakan untuk kutinggali suatu hari. Ada rasa dekat dan menyatu dengan kota ini, seakan aku memang bagian darinya. Waktu itu, setiap minggu ada saja rencana kami berkeliling mengunjungi tempat-tempat di sana. Mulai dari mendatangi taman-taman yang viral di social media, tempat-tempat nongkrong gaul, sampai lokasi wisata. Tak jarang kami rela jalan kaki jauh berkilo-kilo meter menuju satu lokasi yang tidak dilewati angkot, tapi terlalu miskin untuk mengeluarkan uang untuk naik ojek apalagi taksi.

Pernah satu ketika, kami berencana pergi ke puncak Ciumbuleuit alias punclut. Ada satu teman kos yang tinggal lebih lama dari kami menjual cerita:

“enak loh jalan kaki ke punclut, sambil liat-liat. Nanti naik angkotnya berenti di depan jalan masuk ke punclut, dari sana kita jalan ke atas. Nanti abis magrib kita turun. Angkot masi ada kok sampe jam 8 malam” katanya.

Aku yang masih banyak penasarannya mengiyakan, begitupun Marry dan Maissy. Rencana kami pergi berempat dengan teman kos ini sore-sore. Tapi doi malah batalin. Wakaka. Akhirnya, kami lanjut sore itu. Sesuai arahan teman kos itu, kami naik angkot sampe depan jalan masuk punclut, lalu jalan kaki ke atas, sampai ke tempat-tempat makan di pinggir jalan puncak yang bisa liat pemandangan kota Bandung.

Dang! Itu gak deket hahaha. Jalan sekitar satu jam lebih ke atas baru ketemu. Aku sempet muntah pas nanjak hahaha. Kami nyampe tempat makan pas magrib. Pemandangannya? Yaa, sewajarnya pemandangan kota dari gunung, tidak terlalu mengagumkan wakaka. Meski tidak terlalu takjub, kami masih makan dan foto-foto. Iya, waktu itu kami masih berjiwa abege yang apa-apa foto. Spot bagus dikit, foto. Masih alay lah wakaka. Sekarang boro-boro, inget foto pas ketemu temen lama aja alhamdulillah.

Kami turun sekitar jam 7 kurang. Biar tidak bete, sambil ketawa-ketawa dan nyanyi-nyanyi. Aku ingat sampe ke bawah belum jam 8, dan di sana angkot berjajar-jajar parkir: kosong. Kami tanya ke orang sekitar yang kelihatan saat itu:

“Angkot terakhir jam berapa, kang?”

“Jam 6, neng” katanya.

Dang, wahahaha. Kecele kami sama bualan salah satu teman kos ini. Udahlah doi gak jadi ikut, kami susah payah ke puncak jalan kaki (yang dengan bodohnya percaya itu gak terlalu jauh, dengan bodohnya gak ngecek GMap) ternyata hoax angkot terakhir jam 8. Aku lupa, waktu itu entah kami jalan lebih jauh lagi sampai ketemu angkot atau pesen taksi akhirnya hahaha.

Kejadian serupa bukan hanya sekali. Pernah di lain waktu, aku berdua dengan Maissy kepingin coba mengunjungi satu cafe di dago atas. Lokasinya masuk jauh. Agaknya memang gak akan terjangkau angkot, memang untuk orang-orang yang punya kendaraan pribadi. Tempat gaul lah. Tapi kami coba ke sana naik angkot, turun di depan jalan masuk semacam komplek perumahan. Jauuuuuh, mana di tengah jalan hujan. Dengan kurang tau diri, kami berteduh sembarangan depan rumah orang.

Hujan deras tak kunjung reda, boro-boro berhenti. Beberapa kali kami berhenti berteduh di depan rumah orang. Sepanjang jalan tidak ada kendaraan yang lewat. Hanya ada dua perempuan nekat ini yang kurang jelas juntrungannya buat apa jalan kaki hujan-hujan di jalanan sepi. Kala itu, aku tidak cukup uang membeli sepatu yang layak untuk cuaca Bandung yang sering hujan padahal aku masih mengandalkan angkot dan jalan kaki kemana-mana. Entah berapa banyak sepatu murahanku rusak: hanya bertahan beberapa bulan (padahal sama aja ya, beli satu yang mahalan dikit bisa bertahan lebih lama. Dasar mental kismin). Tapi semakin jauh berjalan, lokasinya bagus, banyak cafe astetik. Dua perempuan ini meski basah kuyup sempat-sempatnya berhenti di beberapa spot mengambil gambar.

Kami sampai di satu cafe yang jadi tujuan kami. Gaul euyyy. Yang datang ke sana rapih, wangi, siap pacaran. Sedangkan kami kuyup dan bau lembap. Urat malu masih rusak waktu itu, jadi kami tetap aja foto-foto. Sekitar sejam kemudian, kami cabut.

Dan tentunya teman-teman masih bisa tebak bagaimana cara kami pulang? Jalan kaki hahaha. Tapi waktu itu terlalu nekat. Sekitar 2 km berjalan, malam semakin dingin, sepi, mencekam. Kamipun ragu kalau memaksa jalan sampai ke jalan utama apa masih ada angkot yang lewat. Rasa takut mulai menggerogoti, ditutupi dengan obrolan sok santai dan candaan di sela-selanya. Kaki udah lumayan pegel. Kami harus memesan taksi. Entah batre HP habis, atau lokasi itu terlalu jauh untuk memesan taksi dari kota, aku lupa, tapi kami tidak bisa memesan taksi. Satu-satunya harapan adalah menunggu ada angkot atau taksi yang tiba-tiba lewat. Dan, dengan ajaibnya ada taksi lewat di tengah kesunyian antah-berantah itu. Langsung kami stop, dan alhamdulillah sampai rumah dengan selamat. Taksinya bukan benda tak tampak gess.

Pernah juga aku, Marry, dan Maissy di malam pergantian tahun 2014-1015 menghabiskan waktu bersama di luar. Jujur, ini momen pertamaku merayakan tahun baru seumur hidup, dan momennya adalah di Bandung. Luar biasa apa lagi, coba? Hahaha.

Kami mulai dari menyambangi Cihampelas City Walk alias Ciwalk, lanjut pergi ke jalan Dago, karena ada event tahun baruan juga di sana. Entahlah apa saja yang kami lakukan di sana, jalan-jalan, jajan, ngobrol, ketawa-ketiwi. Sampai tengah malam, kami jalan dari Dago sampai ke kosan di Sadang Serang. Sempat kelelahan dan berhenti di Indomaret point Tubagus, beli minuman melepas haus, sebelum jalan lagi ke kosan. Mana ada angkot malam itu.

Tapi selain mengandalkan jalan kaki dan angkot, kami juga pernah nyewa motor (atau minjem kalo ada motor temen yang nganggur haha) beberapa kali untuk perjalanan agak jauh. Misalnya waktu kami kepingin ke Ciwidey. Atau ke puncak bintang. Atau ke D’pakar. Atau Tebing Keraton. Wah, tempat wisata dan cafe kekinian habis kami jajaki dengan modal minim wahaha. Tapi memang dari beberapa yang kami kunjungi, Puncak Bintang dan Tebing Keraton yang mencuri hatiku. Aku memang selalu terpukai dengan pemandangan dari ketinggian, apalagi gunung sehabis hujan. Mataku bisa berkaca-kaca menyaksikan pemandangan itu.

Kadang aku kasihan dengan Marry dan Maissy ini. Mereka bisa tepar seharian kalau hari sebelumnya kami jalan-jalan ekstrem. Tapi mereka juga excited kalau mau jalan-jalan. Mereka bisa sampai sakit karena kami sering jalan kaki jauh di tengah hujan juga, bahkan sampai malam. Belakangan aku baru tau kalau mereka ternyata Projector wahahaha. Pentesan tepar. Energiku kalo seneng ya makin joss, obatnya cuma tidur besok seger lagi. Maafkan aku yang dulu tidak mengerti.

Aku menikmati momen-momen jalan-jalan ekstrem kami kala itu. Seumur-umur, bahkan saat di Banda Aceh waktu aku sudah ngekos dan bebas dari pengawasan orang tua, aku tidak pernah keluar selarut itu. Ada satu dua kali keluar sampai tengah malam tapi aku khawatir luar biasa. Takut, entah takut apa. Pun dulu aku sempat ngekos di bawah pengawasan ibu kos yang lumayan strict: pintu pagar dikunci jam 10 malam. Tapi di Bandung, aku bebas pulang jam berapapun bersama teman-temanku. Itu adalah masa hidupku yang paling bersosialisasi dan bereksplorasi. Aku cukup nyaman dengan teman kos ku, dengan temannya teman kos ku, dan dengan teman kampusku. Kamar kosan ku pun sering disambangi untuk sekedar nonton bareng atau ngobrol aja. Sering jalan bareng. Pengalaman yang tidak kualami semasa S1 di Banda Aceh.

Selanjutnya: Bandung Ep 3.2 – Lembar Baru, Pengalaman Baru

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart