Bandung Ep 3.2 – Lembar baru, pengalaman baru (2)

Sebelumnya Bandung Ep 3.1 – Lembar Baru, Pengalaman Baru (1)

Masa-masa itu, aku merasa seperti sangat dijaga oleh kekuatan yang jauh lebih besar dariku: Tuhan. Beberapa kali pernah kejadian, kami pulang dengan aman sentosa di malam mencekam. Misalnya saat aku, Maissy, dan Marry tiba-tiba gaktau kesambet apa ikut-ikutan nonton bola di Taman Film di bawah jembatan Pasupati. Bersama bobotoh. Itu horror ya sebenarnya. Untung waktu itu menang. Kalo enggak? Bisa jadi keadaan rusuh dan entah gimana nasib kami. Pulangnya kami jalan pula dari sana sampe kosan karenya mana ada lagi angkot yang jalan. Tapi kami sampai rumah dengan selamat.

Atau, pernah aku telat pulang, angkot udah gak mau lagi masuk ke jalan Tubagus karena jam 9 ke atas udah jatah ojek. Tapi karena kismin dan sayang mengeluarkan uang untuk naik ojek, aku jalan kaki sendiri dari simpang sampai kosan Sadang Serang sendirian. Jalanan Tubagus di jam segitu udah sepi. Apalagi waktu melewati depan asrama aceh. Ngeuriii. Tapi bukan ngeri hantu, tapi aku lebih takut sama orang. Rasa mencekam kuterabas dengan jalan cepat-cepat dan aku sampai rumah dengan keadaan selamat. Besokannya, aku dengar berita ada yang dibegal di Tubagus.

Pernah juga waktu lagi musim begal makin berani sampai ke jalan Dago sampai simpang (persimpangan Dago-Dipati Ukur-Siliwangi), aku motoran dibonceng Shally, teman kampusku, sekitar jam 8. Di beberapa jalanan Bandung, termasuk Dago dan seputaran ITB, jam 8 malam sudah mulai sepi dan agak mencekam. Termasuk malam itu. Besoknya kami dengar berita ada yang dibegal tidak lama dari kami melewati jalan itu.

Belum lagi waktu malam-malam aku dan beberapa teman kampus makan malam di jalan Gelap Nyawang seputaran kampus. Kami makan ikan dengan sambal korek yang pedas naudzubillah. Perutku tidak kuat. Setelah berpencar mau pulang, aku jalan ke arah depan kampus jalan Ganesha menuju angkot biru yang sedang ngetem. Gak kuat jalan karena asam lambung naik, aku muntah-muntah depan kampus kek orang baru mabok. Pandanganku berputar. Napasku sesak. Keringat dingin mengucur. Aku tiduran di bangku besi di depan kampus, tidak sanggup jalan ke angkot. Nyaris kayak gembel terkapar gak punya tempat tinggal. Setengah jalan lagi menuju angkot. Dengan mengumpulkan kekuatan dan napas tersengal, aku jalan menuju angkot lalu naik. Di angkot aku masih megap-megap. Ada beberapa orang di dalam angkot. Sedikit lagi hampir aku minta orang yang duduk di depanku ngantarin aku ke Rumah Sakit Boromeus di ujung jalan Ganesha sebelum aku koid di angkot. Aku buka jendela, mengeluarkan kepala dan bernapas lewat situ. Pelan-pelan kesadaranku balik, napasku mulai teratur. Gak jadi mati gengs.

Tahun 2014-2015 itu juga masih masa transisi orang-orang seumuranku, karena baru lulus S1 dan ingin lanjut kuliah dan mencari kerja. Beberapa kali temannya Marry atau Maissy semasa SMA dan S1 dari Banda Aceh datang ke Bandung dalam rangka tes kerja, ikut job fair, atau tes masuk S2. Saat itu, Marry dan Maissy masih belum terlalu sibuk mengerjakan tugas, sehingga hampir semua teman yang datang mereka sambangi, bahkan suka rela ditemani jalan-jalan, naik angkot dan jalan kaki hahaha. Aku biasanya sering ikut. Itu juga pengalamanku yang menarik dari pertemanan baru kami. Entah kenapa aku bisa nyaman berteman dengan temannya temanku yang baru kukenal.

Terpatahkan narasi usangku dulu, bahwa momen seperti itu akan krik-krik. Asli, Sefri versi paling sosial adalah sefri versi S2 ini. Sangat terbuka dengan teman baru. Yang tadinya aku gak punya teman kos yang dekat, jadi dekat. Yang tadinya kamar kos ku sepi, jadi sering disambangi teman kos atau teman kampusku. Yang tadinya aku hanya bisa berteman dengan perempuan, aku jadi bisa santai dan gak merasa terlalu ada bedanya berteman dengan laki-laki atau perempuan. Di momen S2 ini aku bisa punya beberapa teman nongkrong laki-laki. Mungkin juga terpengaruh lingkungan kampusku lebih banyak teman laki-lakinya, jadi kayak gak ada pilihan juga.

Di Bandung juga aku menemukan cintaku yang sudah kunanti sejak jaman sekolah. Iya, Yudi hahaha. Teman sekolahku sejak SMP, yang menjadi tokoh utama drama kasmaranku hahaha. Padahal dia gak di Bandung loh. Tapi jadi menjalin hubungan saat aku lagi di sana. Akhirnya aku bisa sama-sama Yudi, meski jadi LDR, justru waktu aku udah di Bandung dan Yudi waktu itu masih melanglang buana dari Banda Aceh, “ngamen” di seputaran Jakarta-Jawa Barat, lalu berangkat internship ke Gorontalo. Yudilah, dengan lebih dan kurangnya, semampunya, menemaniku bahkan di saat kegelapanku, saat tidak ada yang bisa menemani secara fisik. Meski teman yang selalu ada tentunya kopi hufff.

Tapi masuk ke tahun kedua kuliah, mulai akhir 2015, Maissy dan Marry semakin sibuk. Tugas mereka makin banyak. Di momen ini, aku jadi lebih dekat dengan teman kampusku sendiri (seangkatan Sains Kebumian 2014 ada lima orang: Aku, Shally, Dahlia, Anne, dan Mahmud, meski yang di Sains Atmosfer cuma aku sendiri. Tapi kami jadi dekat dengan angkatan lain, karena jumlah kami sedikit). Tapi kedekatannya pun masih seputaran nongkrong. Masih ada terbawa kebiasaan jalan-jalan ekstrem ini. Pernah juga aku, Shally, Dahlia, dan Anne ingin lihat sunrise dari Bukit Moko, yang gagal total karena keburu naik mataharinya hahaha. Naik motor matic pula wahaha. Seru sih kenekatannya.

Tapi, jalan-jalan ekstremku berhenti di tahun 2015. Sejak 2016, aku merasa tidak ingin lagi. Rasanya tempat-tempat di Bandung yang membuatku penasaran sudah pernah didatangi dan tidak terlalu meninggalkan kesan di tempatnya, tapi kesannya ada di momen kebersamaannya. Aku masuk ke fase nongkrong hampir tiap hari sampai tengah malam dengan teman-teman kampusku.

Di 2016, lingkaranku adalah lingkaran kampus. Interaksi dengan Marry dan Maissy banyak berkurang karena kesibukan mereka yang mulai menggarap tesis. Paling kami ketemu di kosan, atau keluar sebentar makan bareng. Udah gak pernah lagi main yang jauh. Aku kala itu bisa hampir setiap hari ngobrol sampai tengah malam dengan teman kampus di cafe murah seputaran Tubagus yang sepi pengunjung; hanya kami pengunjung rutin. Biasanya kami nongkrong cukup rame: 6-8 orang. Tidak jelas obrolannya apa. Tapi aku menikmati, setidaknya kupikir begitu. Di bulan puasa 2016 pun, hampir tiap hari kami bukber meski sekedar makan makanan pinggiran. Tidak ada bukber khusus, karena udah tiap hari.

Hingga satu per satu teman kampusku pun sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ada yang sibuk proyekan, dan teman kuliahku sibuk mulai menggarap tesis. Tidak kami sadari ternyata lingkaran nongkrong ini begitu toxic, hanya sebagai pengalihan dari hantu yang harus diperangi: kewajiban yang belum tuntas. Teman-teman kuliahku bangun duluan untuk mulai menyelesaikan tesisnya, dan aku merasa ancaman semakin mencekik. Sampai akhirnya aku tidak punya apapun dan siapapun untuk lari lagi dari kewajibanku sendiri. Menyelesaikan S2 ku yang sudah tidak kugubris sejak awal. Yang tiap kuliahnya tidak pernah kuseriusi. Tugas asal jadi. Proposal yang penting lolos. Begitu masuk tesis, ketakutan menggerogoti. Aku tidak mampu sekaligus tidak bisa kabur dengan cara apapun lagi.

Ternyata, jalan-jalan ekstrem, nongkrong sampai malam, main sosial media yang menjadi intens sejak awal aku masuk S2, hanyalah pengalihanku dari kegelapan yang kumasuki sejak awal. Aku benci kuliah S2 ku ini.

Selanjutnya: Bandung Ep 4.1 – Terlambat Disadari (1)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart