Belajar Bahagia dalam Rumah Tangga

couple, love, outdoors-3798371.jpg

Sebagai perempuan, khususnya istri yang di awal pernikahan sempat terjebak dalam lingkaran setan kelelahan-penuh amarah-meledak-bertengkar-menyesal-berbaikan dan sadar sumber masalahnya adalah diriku sendiri, aku baru belajar sedikit-sedikit tentang mengapa itu bisa terjadi. Aku bersyukur dipertemukan dengan ilmu yang langsung klik, make sense, dan membuka mata aku lebar-lebar tentang masalah ini. Dan syukurnya lagi, ilmu ini bukan sekedar teori, tapi juga ada prakteknya. Ilmu utamanya adalah tentang feminin-maskulin. Kenapa langsung klik untukku? Karena ini betul-betul menyentuh persoalan dasar dan begitu raw. Feminin-maskulin ini ditemui di setiap aspek kehidupan yang murni sebelum banyak program yang dibuat-buat entah siapa yang kita download (sadar/tidak sadar) dan kita terapkan dalam kehidupan kita, terutama dalam hubungan pernikahan.

Baik laki-laki maupun perempuan memiliki energi maskulin dan feminin dalam dirinya. Namun, idealnya perempuan memiliki energi feminin yang dominan, dan laki-laki memiliki energi maskulin yang dominan. Jika terbalik, maka kita akan merasa frustrasi, marah, kecewa, kelelahan, bingung, terutama dalam hubungan. Sayangnya, dalam program yang kita terima sedari kecil, banyak hal yang dituntut ada dalam diri perempuan sebenarnya adalah kualitas maskulin, dan sebaliknya. Misalnya, perempuan dituntut selalu kuat dan harus bisa melakukan segala hal sendiri, yang membuat perempuan menjadi semakin maskulin dan semakin jauh dari fitrahnya sebagai seorang feminin. Lalu laki-laki lebih diberi kebebasan bereksplorasi sejak kecil dan diurusi segala aspek kehidupannya sehingga dia tidak perlu melakukan apa-apa untuk hal-hal dasar seperti disediakan makanan, pakaian dicucikan, tidak dilibatkan dalam urusan dapur dan bersih-bersih, dan sebagainya, sehingga dia semakin feminin dan semakin jauh dari fitrahnya sebagai seorang maskulin. Feminin fitrahnya menerima, bereksplorasi, bersenang-senang, kreatif, dan just be. Sedangkan maskulin fitrahnya provide and protect.

Setelah sedikit mempelajari ilmu ini dan melihat lagi realita yang ada sekarang, aku merasa miris. Pertama, karena pernikahan yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan dan romansa seperti harapan kita pada awalnya seakan jadi hal yang tidak mungkin bisa bertahan lama. Kedua, persoalan ini terlihat sebagai penderitaan di lapisan atas, tapi ada lapisan di bawahnya yang seakan orang-orang menikmati keadaan ini dengan mencari teman/komunitas yang mengalami hal serupa, entah dari konten di media sosial yang dirasa berhubungan, atau dalam percakapan sehari-hari, dengan kata lain, menikmati drama. Mirisnya penderitaan ini jadi konten untuk jualan, sehingga banyak pembuat konten yang menjadikan hal ini konten di media sosial karena pasti laku: orang-orang merasa penderitaannya dilihat dan merasa tidak sendiri. Sayangnya tanpa solusi. Ketiga, di pernikahan yang seharusnya bahagia (bahagia di sini bukan berarti hanya merasakan senang setiap saat tapi bisa memainkan dinamika dalam hubungan dengan harmonis dalam keadaan apapun), perempuan/istri banyak yang selalu dalam keadaan bersiap-siap untuk pergi/ditinggalkan. Keempat, kenyataan ini seakan adalah hal mutlak yang pasti akan terjadi dan gak ada cara lain selain jalani aja.

Keadaan ini gak mutlak, dan bisa kita perbaiki. Bawa pada kesadaran.

Bagaimana pasanganmu memperlakukanmu adalah cerminan bagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri.

Kamu tidak dihargai/dipedulikan/dijadikan prioritas kesekian? Coba cek di bagian mana kamu tidak menghargai/menghormati/mengutamakan dirimu sendiri. Apakah kamu selalu mementingkan suami, anak, orang tua, keluarga, teman, rekan kerja, bos, di atas dirimu sendiri? Itu satu check point kalau kamu gak menghargai dirimu. Hal ini bisa tercermin juga pada caramu berinteraksi dengan suami yang berbentuk tidak respek. Tidak respek pada suami bukan cuma cara ngomong yang nyablak atau bernada memerintah, tapi juga memperlakukannya seperti anak kecil seperti mengurusinya dari ujung kepala sampai kaki, ngecek apakah dia makan sehat/tidak hari ni, mengingatkannya berulang kali untuk meletakkan barang pada tempatnya, mengambil alih tanggung jawab memberi nafkah karena merasa sudah independen, dan sebagainya. Hal yang diajarkan ke kamu soal jadi istri yang baik kalau bentuknya “mengurus suami” justru adalah bentuk tidak respek pada suamimu. Jangan heran kalau kamu sudah habis-habisan melakukan semuanya untuk keluarga suami justru tidak bisa memberikan perhatian yang kamu butuhkan. Karena seringnya suami tidak sadar bahwa sebenarnya dia merasa tidak dihormati.

Lalu bagaimana?

Pertama, minta petunjuk Tuhan dengan meningkatkan kualitas hubungan dengan Tuhan dan bawa dalam doa. Kedua, coba lakukan self care dengan baik. Self care adalah bentuk self love yang nyata. Rawat diri dengan penuh hormat karena kamu sangat mencintai dirimu. Utamakan kesehatanmu, fisik, mental, dan spiritual. Ketiga, amati bagaimana interaksimu dengan suami: caramu berbicara dengannya, memperlakukannya, intensi yang kamu bawa saat berinteraksi dengannya. Apakah kamu minta tolong dengan nada memerintah? Apakah kamu berbicara dengan emosional? Atau kamu memanipulasi dengan cara berbicara, meski dengan halus, dengan intensi mengatur apa yang suami harus lakukan? Itu semua bisa memicu sisi defensif suami sehingga semakin enggan memberi empati apalagi membantu. Aku tau ini sulit, bahkan mungkin perlu seumur hidup untuk berlatih untuk minggir saat sedang emosional dan kembali saat sudah tenang baru ngomong baik-baik. Isi omongannya juga perlu diperhatikan. Kata-kata menyalahkan atau memerintah meskipun dengan nada selembut apapun akan tetap memicu sisi defensif suami. Fokus pada apa yang kamu rasakan tentang suatu kejadian dan apa yang kamu inginkan. Lepaskan kontrol bagaimana cara suami untuk memenuhi keinginan kamu, biarkan dia melakukan dengan caranya sendiri. Dan jangan lupa atur ekspektasi, terutama jika kamu baru sekali mencoba. Kamu sedang berusaha berubah, begitupun suami sedang beradaptasi dengan cara komunikasimu yang baru. Kalau cara ini bekerja di usaha pertama, alhamdulillah. Tapi jangan ditarget, dan gantungkan harapan hanya pada Allah. Bawa seluruh usaha dalam doa. Kalau setelah melakukan segala usaha hubungan tidak juga membaik, dengan penuh kesadaran dan respek pada dirimu sendiri, kamu punya kehendak bebas apakah mau melanjutkan pernikahan atau tidak.

Setelah mempelajari dan coba praktek dengan ketidaksempurnaanku, aku bisa melihat perubahan di hubunganku dengan pasangan. Kesimpulanku yang paling utama adalah, memang nyata adanya yang selama ini dinasehatkan, bahwa kunci keseimbangan rumah tangga yang membawa kebahagiaan di dalamnya adalah perempuan/istri. Jadi kalau mau rumah tangga bahagia, kuncinya, mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, istri harus mau belajar dan berusaha terus mencintai dirinya dengan benar sebelum melakukan apapun. Self care bukan bonus, justru adalah yang paling utama.

Aku cerita sedikit kejadian beberapa waktu lalu. Saat aku merasa gak happy sama mukaku yang sedang break out, aku sampaikan ke suami kalau aku gak happy. Tanggapannya: gimana caranya dia bisa bikin aku happy? Aku bilang aku pingin sate hahaha. Dan dia beliin. Lalu waktu udah sampe rumah, dia bawa sebungkus sate, niatnya mau makan bareng satu bungkus sama-sama. Tapi dia biarin aku makan sampe puas, dan dia makan sisanya. Dia ngamatin aku makan dengan happy. Yes, happiness is fuel for husband to provide his wife. Tapi di tengah-tengah percakapan aku sempat bahas tentang tempat beli sate itu. Dulu jaman pacaran, not so long ago, beberapa bulan sebelum nikah lah, pernah sekali waktu makan di sana dan suami gak inget. Di situ ada bagian diriku yang terpantik dan jadi nanya, sebetulnya dulu jaman pacaran apakah dia ada niatan serius untuk nikah, dan dia jawab iya. Ada dorongan dalam diriku untuk mengulang pola lama yang bisa ngambek semalaman karena menilai dia dulu gak berniat serius nikah sama aku karena lupa momen dating itu. Tapi aku diem sebentar, ngasi tau diri bahwa, hei Sefri, liat kenyataan sekarang, dia menikahi kamu, dan meski capek dia pergi beliin kamu sate yang kamu makan dengan happy sekarang, dan it is all that matter. He loves you. He wants you to be happy. Lalu aku lanjut makan hahaha. Masi ada ego dalam diri yang minta diperatiin dan pingin ngambek namun I choose not respond to that. Hitungan menit betenya berlalu dan aku lanjut merasa happy, even happier.

Dan di banyak waktu aku semakin mengamati bahwa nyata adanya happy nya istri adalah fuel suami. Berkala suami ngecek whether I am happy or not. Di satu dua kesempatan kalau aku menunjukkan ekspresi tertentu dan lupa menyampaikan apa yang aku rasakan, suami membantu memantik pertanyaan apa yang aku rasakan dan instantly he responds to that. I am beyond grateful.

Semoga siapapun yang tergerak membaca tulisan ini juga bersedia ikut mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang perlu dilakukan untuk menjadi wanita yang dominan energi femininnya saat berinteraksi dengan suami. Kuncinya self care, komunikasi dengan bahasa rasa, lepaskan kontrol, dan perlakukan suami dengan respek. Jangan kejar kesempurnaan karena kesempurnaan itu tidak ada, tapi selalu berusaha yang terbaik saat ini untuk ada dalam keadaan seimbang dan selaras dengan fitrah diri yang sejati.

Mungkin itu hanya hal sepele, tapi coba lihat dengan sadar hal-hal kecil dalam interaksimu dengan suami. Mungkin banyak bentuk cinta suami yang luput dari perhatianmu. Mungkin sebenarnya suami sudah sangat sweet tapi kamu set standar yang tidak masuk akal tentang sweet harus seperti apa.

Kalau mau belajar dan coba praktek, coba mampir di instagrammnya @qintariditha di sana ada beberapa highlight soal love and relationship, misalnya ini. Semua ada di sana.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart