Dilema Perempuan

blonde, girl, book-1866951.jpg

Banyak sekali dilema yang dialami manusia jaman sekarang, khususnya untuk perempuan. Pilihan-pilihan yang tersedia entah kenapa rasanya membingungkan. Memutuskan ingin sekolah, tapi dihantui dengan tuntutan dunia untuk bekerja sesuai apa yang dibutuhkan dunia. Memutuskan ingin bekerja, tapi meski jadi punya penghasilan hati kecil menjerit merasa terkungkung. Memutuskan ingin menikah dengan belahan jiwa, tapi kenapa pernikahan terasa pahit? Memutuskan ingin menjadi ibu, tapi kenapa pekerjaan yang harusnya dinikmati rasanya justru menyiksa. Jadi sebetulnya apa yang kita inginkan? Apa yang kita butuhkan? Mengapa semuanya terasa membingungkan? Mengapa antara panggilan jiwa dan kenyataan rasanya gak nyambung dan bertolak belakang?

Di sana-sini muncul gerakan-gerakan feminist-so-they-say, yang kebanyakan memperjuangkan hak-hak perempuan, yang gak jarang jadi memancing rasa benci pada laki-laki. Kentara rasa marah yang dipancarkan dan disebarkan perempuan-perempuan ini karena merasa dipandang sebagai makhluk nomor dua di bawah laki-laki, yang gak bisa berdiri sendiri. Terutama untuk yang sudah menjadi istri, muncul rasa marah kenapa dia gak punya kebebasan seperti laki-laki untuk melakukan apapun yang dia mau. Kenapa sampai sekarang selalu aja ada yang nyinyir soal perempuan mencari nafkah? Tapi di saat yang sama, kenapa perempuan merasa marah dan meradang kalau dia udah berperan sebagai pencari nafkah lalu suaminya lebih loose soal ini dan menaruh tanggung jawab itu di pundak istri? Tapi kalau istri memutuskan tidak bekerja, kenapa jadinya beban untuk mengurus keluarga jadi ada di pundaknya? Kenapa mau istri bekerja ataupun memutuskan jadi ibu rumah tangga saja, keduanya membuat istri kelelahan?

Terlalu banyak standar masyarakat yang membuat para perempuan bingung dan kehilangan sense of themselves. Tuntutan untuk harus mampu mengurus rumah tangga setelah menikah tanpa lelah bertentangan dengan keinginan natural perempuan untuk menikah, sehingga timbul rasa marah merasa diharuskan menikah padahal setelah menikah yang dia amati adalah kehidupan menyedihkan. Tuntutan untuk perempuan sekolah tinggi-tinggi dan punya karier tapi di saat yang sama disuruh cepat-cepat nikah dan punya anak dan mampu mengurus semuanya sendiri, sampai perempuan bingung “jadi untuk apa sekolah tinggi,” atau “oke sekolah tinggi, jadi untuk apa menikah apalagi punya anak kalau hanya jadi beban?” Lalu para perempuan bayak yang memutuskan untuk tidak punya anak setelah menikah karena mungkin dia melihat orang tua dan sekitarnya dulu gak terlihat bahagia setelah punya anak, meski orang tuanya bilang meski lelah tapi di hati rasanya bahagia. Tapi mereka selalu ada dalam rasa marah, merasa ditekan kanan kiri agar segera punya anak, atau menyayangkan keputusan mereka. Tapi apakah iya yang menyebabkan marah hanya itu? Bagaimana jika kemarahan timbul karena gak ketemu antara hasrat jauh di lubuk hati yang bahkan udah gak kedengaran lagi bahwa sebenarnya masih ingin punya anak dengan kenyataan yang dilihat yang bikin diri enggan punya anak? Hal yang sama berlaku untuk keputusan menikah/tidak menikah.

Kenapa banyak sekali kemarahan di hati perempuan? Kemarahan ini ada yang tampak dalam bentuk marah ataupun abai seperti “yah mau gimana lagi, emang gini jadi perempuan. Sayangnya, keduanya menumpulkan kata hati yang menuntun pada jawaban.

Tapi kali ini aku pingin bahas tentang karier dan rumah tangga. Mungkin seperti kebanyakan orang, perempuan juga memutuskan untuk berkarier khususnya berkarier di kantor karena ingin punya penghasilan. Sayangnya, kebanyakan keputusan ini diambil bukan berakar dari rasa cinta pada satu bidang dan ingin berkontribusi di sana, tapi sedangkal prospeknya bagus, gajinya besar, aman sampai pensiun, atau sekedar sesuai dengan jurusan kuliah, pokoknya dengan bekerja akan berpenghasilan. Lalu hidup berjalan, bulan demi bulan, tahun demi tahun, meski mungkin karier meningkat dan penghasilan mengikuti, ada rasa bosan di hati. Hubungan dengan suami mulai hambar, waktu untuk anak sedikit. Penghasilan ada tapi banyak keluar untuk menutupi kredit rumah, transportasi, sekolah anak, atau daycare. Lalu perempuan hanya melakukan semuanya demi keluarga, gak mempedulikan diri lagi. Selama keluarga tercukupi, bahagialah dia – atau begitulah yang dipikirnya dia rasakan.

Mungkin satu-dua orang yang dia temui in person atau dari sosial media ada yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Tapi para ibu ini juga tetap kelelahan. Mungkin kerjaan rumah tangga yang sebelumnya dihandle asisten rumah tangga jadi dihandlenya semua, mungkin karena pertimbangan biaya karena penghasilan udah ful dari suami jadi pincang, harus ada yang dikorbankan. Meski ful di rumah, kenapa ibu rumah tangga juga kelelahan? Mereka juga kehilangan dirinya, ful mengurus rumah tangga. Urusan rumah tangga beres, bahagialah dia – atau begitulah yang dipikirnya dia rasakan.

Perempuan terpisah dari dirinya. Diri sejatinya dan apa yang dipikirnya sebagai dirinya udah gak nyambung bahkan gak ketemu lagi. Yang dipedulikannya hanyalah keluarganya. Dalam diri ada rasa marah yang besar, yang terekspresikan sebagai marah ataupun diam. Yang ditunjukkan atau ditutupi.

Aku bertanya-tanya, kenapa sih kayak gak ketemu, antara apa yang diinginkan perempuan dengan apa yang selama ini dituntut lingkungan? Lingkungan, bahkan sering orang-orang mengutip dalil, bahwa perempuan semestinya di rumah aja. Tapi makin ke sini aku pikir sebenarnya mungkin itu justru maksudnya membantu perempuan – meski bukan artinya “ngurung” perempuan di rumah aja. Yang keliru adalah selama ini dikira perempuan di suruh di rumah tu artinya dia ngurus sepenuhnya urusan rumah dan gak boleh punya waktu untuk berkarya. Itu yang gak ketemu. Gimana kalo maksudnya perempuan disuruh dirumah adalah agar dia santai dan gak mengemban rasa harus terlibat dalam memenuhi nafkah? Bukan literally disuruh “dirumah aja?”

Perempuan yang fitrahnya memiliki energi feminin yang dominan perlu banyak relax dan banyak bersenang-senang. Dengan melakukan itu, perempuan bisa terhubung dengan dirinya dengan baik sehingga dia bisa tau apa yang sebenarnya ingin dia lakukan. Meski awalnya terlihat “main-main”, perempuan yang relax bisa berkarya dengan baik, dan karyanya powerful. Bukan hanya berdampak baik untuk dirinya, tapi juga mempengaruhi keluarga inti, lingkungan sekitar, bahkan lingkungan yang lebih luas. Perempuan yang relax bisa memancarkan aura positifnya dan membuat pernikahannya lebih hangat. Perempuan yang relax, yang sudah terhubung dengan diri sejati dan tau ingin melakukan apa, bisa menarik kesejahteraan dalam hidupnya bukan hanya dalam bentuk uang, bahkan bisa menghasilkan jauh lebih banyak dari suaminya. Ini yang akan menjadi kariernya, yang pasti bukan lagi soal bekerja di rumah atau di kantor, tapi tentang bidang apa yang benar-benar ingin dijalaninya sebagai karier. Kalau hal ini tercapai, dari luar bisa kelihatan dia santai tapi menghasilkan banyak, atau dia terlihat super sibuk tapi dia sebenarnya merasa enjoy dan happy menjalani perannya. Happy untuk dirinya sendiri. Perempuan bisa mencapai ini kalau dia bebas tekanan, salah satunya tekanan harus andil mencari nafkah (untuk yang bekerja) atau harus mengurus rumah tangga sendirian (untuk ibu rumah tangga).

Cara awal untuk terhubung dengan diri sendiri tentunya adalah dengan memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Lalu, sebagai perempuan yang mungkin seumur hidup terpisah dengan diri, yang udah gak tau atau bahkan gak peduli lagi maunya apa (sering jawabannya “aku cuma mau keluargaku bahagia” yang sebenarnya gak maksimal tercapai – atau kalaupun tercapai keluarga gak merasa sepuas yang dia harapkan dari hasil kerja keras dia – kalau dia sendiri abusive sama diri sendiri dengan kerja habis-habisan) pasti perlu usaha lebih dengan mundur lebih jauh dari titik dia saat ini, yaitu dengan ingat kembali apa hal yang senang dia lakukan waktu kecil atau remaja. Mungkin senang gambar/melukis, menjahit, nyanyi, home decor, baking, you name it. Dengan melakukan apapun yang kita senangi waktu masih kecil, pelan-pelan akan kebuka apa lagi yang kita pingin lakukan, pingin belajar apa lagi. Pelan-pelan, cepat atau lambat, akan sampai ke titik kita tau mau memulai karier – sebetul-betulnya karier – yang ingin kita jalani. Dengan melakukan dan menjalani ini, insyaAllah akan terhubung apa yang kita lakukan dengan rasa yang ingin kita rasakan. Udah gak lagi merasa marah dan kelelahan padahal udah memenuhi keinginan untuk bekerja. Udah gak lagi merasa marah dan kelelahan padahal udah habis-habisan ngurus keluarga, dan keluarga juga gak merasa bahagia dengan usaha habis-habisan itu.

Dunia udah banyak memutar balikkan fakta dengan dan tanpa media. Kehidupan pernikahan dan menjadi orang tua yang seharusnya bisa bahagia malah ditunjukkan oleh keluarga sendiri sebagai keadaan melelahkan dan menyedihkan. Coba lihat sekitar, baca buku, konten edukasi sosial media, atau siapa pun public figure yang menunjukkan bahwa memperjuangkan diri sendiri, merawat diri, melakukan hal-hal yang disenangi akan membawanya pada kesejahteraan dan keberlimpahan. Pasti ada. Jangan terus-terusan merujuk pada orang-orang yang kehidupan karier dan pernikahannya menyedihkan, sampai kitapun mewawarkan kehidupan sebagai orang dewasa memang seharusnya tidak menyenangkan. Aku percaya, sangat percaya, bahwa Allah sama sekali gak mau hamba-Nya susah, tapi hamba-Nya suka nyusahin diri sendiri, mungkin karena trauma dan conditioning/bentukan lingkungannya membekas terlalu dalam.

Ini tulisan untuk aku sendiri, yang masih memulai perjalanan menuju diri sejatiku. Aku mau mengajak teman-teman juga bisa percaya bahwa kehidupan menyenangkan dan membahagiakan bisa kita capai di dunia dan gak mengurangi esensi pahala yang kita tabung untuk di akhirat nanti. Aku percaya, bahwa dengan memperjuangkan kebahagiaan di dunia, kebahagiaan sejati, akan menuntun kita pada jalan Allah dan semoga lebih mudah menuju surga di akhirat nanti. Mungkin selama ini kita melihat kehidupan Rasulullah SAW yang miskin sehingga kita juga merasa “gak papa kesulitan dan kelelahan di dunia, biar nanti istirahatnya di akhirat aja.” Tapi jangan lupa, aslinya Rasulullah SAW itu kaya dan berharta, tapi karena hati dan jiwa Rasulullah SAW penuh rasa keberlimpahan, gak ada keraguan di hati Rasulullah SAW bahwa harta yang beliau keluarkan sepenuhnya pasti diganti Allah dengan apapun yang jauh lebih baik dan gak mesti selalu dengan harta yang sama. Lagi pula, siapa yang menjamin kalau berlelah-lelah di dunia nanti kita bisa “istirahat” di akhirat? Gimana kalo justru karena terlalu lelah di dunia kita jadi lalai, lupa sama diri sendiri dan Allah? Karena hubungan dengan diri sendiri dan Tuhan adalah dua hal yang gak bisa dipisah. Jadi please para perempuan, ayo kita relax, kenali diri, ketahui apa keinginan diri sejatimu, dan belajar cara mengomunikasikannya dengan baik, terutama dengan suami. Ekspresikan keinginanmu dengan rasa hormat.

Semoga para perempuan semangat untuk mencintai dirinya lewat rasa dan aksi agar bisa menebar kebaikan powerful yang bermanfaat besar untuk diri, keluarga, lingkungan, bumi, dan alam semesta. Amin.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart