
Dalam perjalananku mencari jati diri, aku udah melewati beberapa fase dan hikmah yang beda-beda di tiap fase itu.
- Fase pendidikan awal: disuruh sekolah biar waktu dewasa bisa cari uang dengan mudah dan lebih sejahtera
- Fase remaja menuju dewasa: menikmati kuliah dengan tujuan sederhana sebatas suka aja sama pelajarannya tanpa peduli nilainya bagus/gak, apalagi nanti pekerjaannya apa
- Fase dewasa muda: mulai gamang dan cari bidang yang agak beda yang bisa jadi strategi bisa dapat pekerjaan tanpa banyak saingan, gak peduli suka atau enggak sama bidangnya
Sayangnya, dunia yang kujalani sekarang adalah buah dari fase nomor tiga. Satu hal yang pasti tentang itu yang kutarik adalah kalau tujuan akhir yang diharapkan adalah materi, siap-siap aja menerima kekosongan hati, kebingungan pikiran, kehilangan arah, dan rasa tersiksa.
Satu sisi aku gak mau menyalahkan lingkungan. Tapi aku gak bisa bohong, niat lurus dan pure aku di fase nomor dua mulai ternodai karena terus-menerus menerima informasi dan masukan dari keluarga, dosen, dan teman-teman tentang “ilmu ini mau dijual kemana? Mau kerja apa?” karena jurusanku adalah ilmu murni yang sulit “dijual” kalau gak aplikatif. Aku mulai mengambil keputusan yang sampai sekarang nyata dampaknya dan semakin menyiksa. Itulah yang disebut tidak sustainable. Mungkin niat materi di awal-awal karier gak masalah dan masih sanggup ditanggung. Tapi semakin lama rasa tersiksanya luar biasa. Awal gejala aku bahkan gak terpikir bahwa permasalahannya adalah gak cocok di pekerjaan ini. Malah dulu aku menyalahkan yang lain-lain, bahkan anak aku salahin, seakan yang membuat pekerjaanku berat adalah karena punya bayi. Tapi lucky me, Allah masih menuntun aku pada jawaban bahwa masalahnya jauh lebih mengakar dari sekedar stress jadi ibu dan lelah bekerja.
Seperti yang udah banyak aku tulis di blog ini, aku mulai serius dalam healing journey sejak akhir 2021, dipantik oleh perkenalan dengan Human Design di pertengahan 2021. Sejak itu aku mengorek akar masalah diriku yang salah satunya adalah terlalu lama mengabaikan kata hati dan mengandalkan pikiran dalam mengambil keputusan. Aku mulai mengumpulkan keberanian mengungkapkan true desire ku dan bukan cuma itu, aku beranikan diri memperjuangkannya. Karena saat sadar masalahnya apa dan masih ada di keadaan yang sama, rasa tersiksanya berkali lipat, dan dorongan untuk keluar dari keadaan ini juga makin besar.
Tapi meski udah mengekspektasi bahwa sekelilingku mungkin masih memberikan penolakan dan berbagai pertanyaan yang sulit dijawab dengan logika, ternyata saat menghadapinya sama sekali gak mudah. Penolakan yang kuhadapi memang agak mild dan masih bisa kuperjuangkan dengan memberi alasan jujur. Tapi hal paling berat adalah menghadapi ketidakpahaman orang lain. Ternyata mengekspektasi hal ini pasti terjadi sama sekali gak membantu saat udah menghadapinya. Berat, berat sekali untukku menghadapi kesalahpahaman orang lain, apalagi kalau aku harus menjelaskan dengan hal yang sangat abstrak yang sulit diungkap dengan kata-kata. Di dunia yang sarat materi ini gimana coba berharap banyak orang-orang bisa mengerti dengan alasan “it just feels right for me”
Tapi selama proses perjuangan ini aku jadi menarik kesimpulan bahwa sebegitu materialistiknya kita dibentuk dan dibesarkan. Semua alasan harus ada materi sebagai tujuannya. Sekolah harus yang pinter dan dapat nilai bagus. Nilai bagus adalah materi. Kalo udah dapat nilai bagus bisa lanjut kuliah di jurusan favorit aka yang prospek kerjanya bagus. Kerja bagus adalah materi. Kerja di bidang yang bagus ini menghasilkan banyak uang. Uang juga materi. Uang bisa dipake untuk hidup, berkeluarga, punya anak dan membesarkannya dan menyekolahkannya nanti. Buat apa nyekolahin anak? Biar dia bisa cari uang sendiri. Lagi-lagi materi. Terutama untuk perempuan khususnya istri harus bisa cari uang sendriri juga biar gak nyusahin suami, anak, dan keluarga di masa tua karena aman punya uang sendiri. Materi lagi. Selalu tujuan akhirnya materi. Bahkan beribadah dan berbuat baik di dunia pun selalu dengan tujuan mengharap surga. Meski Allah mungkin gak mempermasalahkan niat mengharap surga, tapi pola pikir transaksional yang mengharap materi sebagai tujuan akhir terasa mengganjal.
Apakah salah? Sebenarnya uang adalah bagian dari kehidupan, tapi yang jadi masalah adalah menjadikannya tujuan, bukan melihatnya sebagai bagian kehidupan yang sebenarnya akan tertarik sendiri di kehidupan kita kalau kita hidup selaras apa adanya sesuai kata hati. Apa pernah dulu kita diajarin untuk mengikuti kata hati, pokoknya selama terlihat hilal uang di tujuan akhir maka pilihan itu yang paling benar. Gak peduli diri tersiksa, kalau bisa diabaikan, abaikan rasa tersiksanya. Kalau memilih melepaskan apa-apa yang berpotensi menghasilkan uang dicap gak bersyukur karena katanya orang lain banyak yang susah dan gak punya jalan untuk mendapatkan uang sejumlah itu, seakan susahnya jalan hidup orang lain ada hubungannya dengan jalan yang kita pilih, seakan itu tanggung jawab kita.
Kalo diurai, ada beberapa hal keliru menurutku yang perlu diluruskan soal pilihan hidup yang kaitannya dengan materi.
- Pinter sekolah/berhasilnya proses belajar diukur dari nilai.
Padahal seseorang dikatakan berhasil dalam belajarnya menurutku adalah saat dia menemukan kenyamanan dalam apa yang dia pelajari dan menikmati proses belajarnya. Kenyamanan ini muncul dalam bentuk merasa berdaya, paham dan bisa punya insight/buah pikiran sendiri dari apa yang dipelajarinya, merasa terpanggil jiwanya, merasa ada dorongan untuk melakukan manfaat untuk semesta sesuai bidang yang dia suka, sesuai minat dan bakat alaminya. Bakat alami ini juga bisa ketemu dalam proses belajar dan eksplorasi. Kalau nilai jadi patokan, keinginan mengeksplorasi ini jadi terblok dan memilih yang penting nilainya bagus, sehingga gak ketemu true gift dalam diri. Di sini materinya adalah nilai. Padahal nilai bagus ini akan mengikuti tanpa dikejar, dan gak perlu maksa bagus di semua bidang.
Pelajari hal apapun yang kamu mau, yang saat mempelajarinya kamu merasa hatimu mengembang, penuh, bahagia, berdaya, tercerahkan, dsb. Saat kamu merasakan itu sepanjang perjalananmu, percayalah kamu akan menemukan peranmu di dunia yang perlahan membawamu sebagai manfaat bagi semesta dan semesta memberi lebih banyak untukmu atas izin Allah.
- Kuliah di bidang yang potensi cuannya tinggi
Dunia terus berkembang dan berputar. Apa yang terjadi saat ini gak pernah kita bayangkan sebelumnya (kecuali oleh pemikir-pemikir ulung yang mungkin udah terbayang konsep kehidupan saat ini, itupun aku yakin gak persis, hanya konsepnya). Pekerjaan yang dulu disangka uangnya banyak mungkin sekarang udah digantikan mesin. Bahkan pekerjaan yang gajinya besar banyak yang destruktif. Kalau tujuannya selalu uang, dan Bumi makin rusak, siapa lagi dan dari mana lagi kita dikasi rejeki berlimpah? Bukankah rejeki berlimpah apa adanya justru dititipkan dan disalurkan Allah lewat Bumi?
Itu baru satu hal. Hal lainnya kalau tujuannya selalu uang meski bidangnya gak suka, bukankah jadinya malah mengkhianati diri? Mungkin di masa muda masih bisa handle, tapi semakin lama seluruh tubuh akan teriak, dan kalau kita gak mau dengar, jangan heran selalu sakit di masa tua. Ada yang lebih aneh lagi, yaitu pola pikir mesti secure secara finansial biar kalo tua udah gak sanggup kerja lagi aka lemah udah ada uangnya, kalo sakit udah aman. Cry. Kenapa malah mau sakit?
- Gak papa lelah bekerja, yang penting hasilnya halal
Oke hasil halal mungkin gak didapat dari hasil korupsi, nyuri, riba, judi. Tapi kalau didapat dengan mengkhianati diri dan menjalankan peran yang bukan perannya apakah baik? Kalau didapat dengan mengabaikan kata hati yang udah teriak-teriak “aku gak mau jalani ini, ini bukan tempatku, bukan jalanku” dengan kata-kata “di sini udah secure udah ada penghasilan, kalo kelelahan dan tersiksa terima aja. Toh kalo ngikutin kata hati belum jelas maunya apa boro-boro uangnya” apakah baik? Coba definisikan ulang arti halal. Bukan hanya bebas dari yang haram-haram, tapi cara mendapatkan dan menjalankannya pun harus diperjuangkan dengan baik, dengarkan jawaban dari Allah dengan tune in dengan kata hati. Gak perlu tau semua jawaban sekarang, percaya aja sama kata hati.
Soal lelah bekerja adalah jihad, ini juga harus hati-hati. Aku gak percaya lelah yang dimaksud di sana adalah mengabaikan sinyal diri yang minta haknya. Aku yakin maksudnya adalah gak gampang menyerah memperjuangkan apa kata hati, apa yang selaras dengan fitrah diri. Gak gampang menyerah meski seisi dunia menentang. Penentangan dunia tidak berarti, selama itu gak mempengaruhi keputusan kita. Berat? Sangat. Nah, itulah makna berlelah-lelah buatku, bukan memperbudak diri yang penting kerja aja mindlessly buat mencari nafkah. Rasanya pasti beda saat berlelah-lelah berusaha selaras dengan kata hati dibandingkan dengan lelah “asal kerja” untuk cari nafkah.
- Kalau sebelumnya orang lain pernah mengalaminya, hal itu juga bisa terjadi padaku
Sering kan kita minta pendapat orang lain saat mau mengambil keputusan. Perhatikan cara kita bertanya (jujur aku masi terjebak di sini sesekali). “kalo kamu dulu gimana? Gimana enurut kamu? Aku mesti gimana ya?” lalu si temen/siapapun kerabat kita ini memberikan saran sesuai dengan pengalaman dia. Di sini sebenarnya perlu hati-hati melihat nasehat teman/kerabat ini, karena perlu dipahami kalau namanya ujian hidup soalnya beda-beda tiap orang, gak bisa nyontek. Kalaupun minta insight dari luar, lihat dari sisi yang lebih tinggi juga lebih dalam, apa pesan mendasar yang bisa kita tarik dari nasehatnya. Bahkan kalo datang ke profesional pun, misalnya ke guru agama, spiritual, atau ke praktisi mental health apapun, tetap jawaban masalah hidup dikembalikan ke kita. Guru/praktisi ini hanya bisa memberi kebijaksanaan yang mendasar, tapi bagaimana eksekusinya hanya kita yang bisa.
Itu baru bicara mencari nasehat sendiri. Makin berat saat kita menghadapi nasehat yang gak diminta. Ini lebih sering terjadi (makanya kurang-kurangin curhat ke sembarang orang ya sis, terutama ke orang yang hidupnya sendiri kacau). Seringnya orang ini malah balik cerita masalah dia dan merefleksikannya ke masalah kita dan menyimpulkan solusi masalah kita berdasarkan pengalaman dia (astaghfirullah aku masi sering juga terjebak di sini, maapkeun).
Ada lagi versi lain yang lebih pait. Sekelilingnya banyak yang mengalami cobaan hidup berat sampe tanpa minta nasehat kita menyimpulkan solusi dan langkah-langkah hidup kita berdasarkan masalah orang lain ini dengan alasan takut mengalami hal yang sama. Like, hallo itu kan hidup orang. Itulah bahayanya mengelilingi diri dengan orang-orang menderita. Kasi tameng buat diri, kasi afirmasi, “aku turut menyayangkan apa yang terjadi padamu, semoga kamu selalu dalam lindungan dan diberi petunjuk jalan keluarnya dan dimudahkan melaluinya, tapi itu bukan hidupku. Itu bukan hidupku”. Yakinlah penderitaan orang lain gak akan terjadi sama kita selama kita bisa melihat lebih dalam apa yang membuat orang ini mengalami hal pahit, dan memberi batasan kapan kita bisa nerima nasehat berselubung curhat ini. Kalau memang gak sanggup, keluar dulu dari lingkaran orang-orang yang menderita agar gak ketularan mental menderitanya. Ini gak cuma soal penderitaan finansial, tapi juga soal lainnya, temasuk hubungan dalam rumah tangga.
Cara orang berkomunikasi pada kita biasanya menggambarkan diri dia, sulit untuk objektif memandang diri kita. Itulah makanya, solusi untuk keluar dari masalah adalah justru mengenal diri lebih dalam, karena jawaban itu udah dititip Allah dalam hati, asalkan kita mau mendengar.
- Masa depan terutama finansial harus direncanakan detail dari sekarang biar secure
Gak jarang semenderita apapun kita sekarang kita terlalu takut berjuang dalam jalan Allah, jalan yang sesuai fitrah yang dititipkan Allah sama diri kita, dengan alasan security. Paling sering “ah ini udah secure mau cari dan gambling apa lagi? Masa depan makin gak jelas”. Tapi bukankah di sana letak manisnya iman, saat kita tau itu benar meski gak tau kedepannya akan bagaimana?
Nasehat-nasehat yang kuterima rasanya berat bahkan mendengarnya karena aku jadi tersadar, sebegitu materialistiknya dunia sekelilingku. Bahkan yang lebih taat beragama daripada akupun segitu materialistiknya, selalu mengaitkan semuanya dengan uang. Mungkin mereka gak sadar mereka sematerialistik itu. Menghakimi aku egois dan gila saat mereka tau aku mengutamakan diri dan belum tau ke depan mau menghasilkan uang dengan cara apa untuk security diri dan anak. Belum lagi menakut-nakutiku akan masa depan. Satu sisi aku sadar sekeliling aku belum bangun soal ini dan pasti mengerutkan kening melihat aku sekarang. Tapi di sisi lain, tubuhku belum bisa menerima apa yang otak dan hatiku udah terima. Masih sesak, masih susah tidur, masih gemetar, masih sakit kepala dan berkeringat dingin saat menerima tanggapan-tanggapan yang memaksakan keyakinan harus bisa dilogikakan.
Tapi satu hal yang pasti aku lakukan, aku gak mungkin, gak akan mungkin melakukan apapun berdasarkan rasa takut yang ditebar orang-orang. Aku yakin aku adalah lilin yang dengan cahayanya sekarang akan membagikan cahayanya ke lilin-lilin lain di sekitarku. Aku tau butuh waktu, namun kupasrahkan kapan dan dimana itu terjadi. Pokoknya sekarang aku gakmau lagi terjebak di dunia yang terlalu materi ini. Materi adalah bagiannya, tapi bukan tujuan akhir.