
Aku percaya tiap fase hidup dan kejadian-kejadian yang menyertainya selalu membawa pelajaran. Kita sebagai manusia pasti bisa ngambil pelajaran dari peristiwa yang udah kita alami. Tapi yang namanya belajar pasti ada ujiannya. Kalau proses belajarnya udah dijalani, pelajaran dan kebijaksanaannya diambil dan dipahami, lalu ujiannya dikasi. Terus indikator lulus atau tidaknya di kehidupan bukan kayak sekolahan yang keluar nilai. Indikator kelulusannya adalah ujian yang sama gak akan pernah terulang lagi. Kalau ujian yang sama masih terulang, artinya pemahaman yang kita ambil untuk menjawab soal-soal ujian itu kurang tepat. Hal ini tentu ada spektrumnya, mulai dari gagal total sampai lulus total. Diantaranya, mungkin ada transisi dari yang betul-betul gak paham sampe ngulang ujian berkali-kali, lalu melewati ujian yang mungkin masih mirip tapi kesulitannya terasa berkurang karena satu-persatu jawabannya ketemu. Sampe di titik akhirnya kita betul-betul paham jawabannya dan kebijaksanaan yang dibawa tepat, ujian yang sama gak lagi berulang. Itu baru bicara satu ujian dari satu kejadian, belum yang lain-lain? Ribet? Kalo dipandang ribet ya ribet, tapi namanya hidup di alam dunia ini ya ambil serunya aja sebagai wahana eksplorasi sambil siapin bekal di alam yang lebih abadi.
Tapi sebagaimana ujian sekolah, ujian kehidupan juga ada fasenya. Gak selalu sepanjang waktu ujian terus. Ada fase ujian, ada fase jeda. Nah kalo ternyata pas ujiannya udah lewat ternyata pemahaman yang dibawa kurang tepat, ujiannya memang udah lewat, tapi jangan kaget ujian yang sama bisa berulang lagi. Bentukannya bisa persis sama, atau bisa beda tapi bentuknya sama. Misal, ujiannya diselingkuhin. Udah lewat fase misalnya pasangannya yang selingkuh udah minta maaf. Kan udah lewat ni fase ujiannya. Kalo pelajaran yang diambil betul, kesalahan yang merupakan andil diri yang menyebabkan pasangan selingkuh disadari dan diperbaiki, atau sadar gak ada yang bisa dilakukan selain meninggalkan orang itu, bisa aja hal yang sama gak akan terulang. Tapi kalau setelah ini pasangannya selingkuh lagi, artinya ada yang keliru dari pelajaran yang diambil (atau gak belajar sama sekali?). Atau mungkin gak belajar sama sekali dari kejadian itu, main victim mentality dan meninggalkan pasangannya, lalu berulang hal yang sama saat menjalin hubungan dengan orang lain. Artinya ada yang perlu diselami, disadari, dan diperbaiki dari akar dalam diri. Kejadian-kejadian ini tentu gak selalu datan berturut-turut. Bisa jadi ada selang beberapa minggu, bulan, bahkan bertahun-tahun. Jeda itu semestinya diambil untuk merenung dan belajar agar gak menghadapi ujian yang sama lagi.
Ujian yang sedang kualami sekarang kaitannya erat sama fase-fase hidupku terdahulu, yang kalo ditarik lumayan jauh ya dari keputusan yang kuambil tahun 2013 lalu: ngambil S2 jurusan Sains Atmosfer. Aku udah pernah cerita di artikel ini. Dulu, setidaknya sampe akhir tahun lalu, aku masih berpikir (catat kata kunci di sini adalah berpikir) keputusanku dulu tepat, karena menghantarkanku sampai ke posisi ini: punya mata pencaharian yang membuatku bisa bebas jajan apa aja yang aku pingin tanpa nimbang-nimbang diijinkan suami/gak ya. Tapi ini terasa sangat berat. Sejak 2014 aku masuk S2, aku perdana mengalami ngantuk di kelas yang betul-betul ngantuk gak tertahan yang sebelumnya gak pernah aku alami. Setiap hari dihantui rasa takut, tersesat, frustrasi, terjebak, bodoh, gak pantes, dsb. Setiap hari aku alihkan rasa dan pikiran-pikiran itu dengan main, nonton, dan main Instagram mindlessly, padahal 2013 tu aku sama sekali gak main media sosial dari smartphone. Tapi dari sana jalanku kebuka untuk dapat pekerjaan sekarang, dan tetap aja rasa tersiksa yang sama (yah mungkin sedikit lebih ringan karena gak merasa dikejar-kejar bimbingan tesis) masih ada. Tiap masuk kerja selalu dihantui rasa luar biasa gak nyaman dalam diri, penolakan keras yang bikin organ-organ dari tenggorokan sampe perut bawahku kerja keras sampe buat aku kelelahan. Lalu, apa iya pelajaran yang kuambil adalah susah-payah yang kulalui dari 2014 itu memberi hasil yang pantas? Ukuran pantasnya apa, sih? Uang. Selalu uang. Yang aku rasa sebagian besar dunia sekelilingku masih setuju akan hal ini.
Tapi sejak aku belajar lebih jauh dan menyelami diri lebih dalam, aku tau ada yang gak beres dari pemahaman ini. Meski keliatan lurus dan benar, dari kuliah sampai kerja, aku merasa (catat kata kunci di sini adalah merasa) tersiksa. Sampe di tahap aku merasa uang yang aku hasilkan dari sini gak sebegitu berartinya. Apakah aku masih menikmati uang hasil pekerjaanku? Tentu. Aku masih enjoy uang ini dan masih kupakai untuk hidup. Tapi apakah aku merasa uang ini pantas diperjuangkan dengan cara ini? Sayangnya enggak. Meski saat ini aku belum punya sumber penghasilan lain, bahkan suami pun sedang gak berpenghasilan, aku gak bisa jelasin kenapa masalah uang adalah hal terakhir yang aku pikirkan.
Sejak sadar kalau aku harus cari jalan lain, harus jeda untuk menyelami diri lebih dalam, belajar lebih banyak dan memilih apa yang mau aku dalami dari sekian banyak yang aku pelajari, aku merasa penuh harap dan keyakinan. Aku yakin kehidupanku segera akan jauh lebih membaik kalau aku melepas block yang masih menyumbat kehidupanku saat ini. Keyakinan yang sebetulnya penjelasannya kuat untuk aku, tapi ternyata di mata orang lain masih lemah dan ngawang-ngawang. Di mataku sekarang, ketidakpastian masa depan gak semenakutkan itu, malah aku lebih ke arah excited menyambut apa yang ada di depan nanti. Aku excited apa yang akan menghampiriku sebagai kesempatan belajar dan mempraktekkannya dalam kehidupan. Aku excited di bidang apa nanti uang sebagai bagian dari kesejahteraan akan mengalir deras ke kehidupanku sebagai buah dari apa hal yang membangkitkan minatku dan akhirnya kukuasai. Aku excited bersedia melalui hal itu dengan segala tantangannya. Aku excited karena belum pernah aku membebaskan diriku menjalani hal semacam itu. Aku excited menyambut kebebasan, meski kebebasan ini hal yang sedang kuperjuangkan.
Sayangnya, aku dapat spirit ini dari sosial media dan komunitas online. Semangat untuk mencoba jalan yang berbeda 180° yang sangat menjanjikan, karena pake kompas hati kemanapun pergi. Tapi di dunia nyata, orang-orang yang kuhadapi tatap muka langsung, masih berorientasi materi. Materi maksudku bukan cuma uang, tapi juga mengandalkan logika dengan totalitas dan merasa harus bisa memprediksi belasan tahun ke depan, yang masih berpikiran gimana kalo nanti gak punya ini itu. Padahal untukku sekarang, besok pun aku buka kesempatan untuk bereksplorasi apapun yang mau kulakukan. Untukku, menjalani hal-hal menyenangkan dari hari ke hari lah yang menuntunku pada jalan yang benar. Apahak hal menyenangkan itu selalu gak ada hambatannya? Ya gak selalu. Misalnya aja untuk ngemall, kan menyenangkan. Tapi menuju ke sana bisa aja melewati macet dulu, panas-panasan kalo pake ojol, tapi rasa di hati tetap senang kan meski ada bete-betenya dikit. Meski kadang ada rasa khawatir mampir. Yang namanya media sosial pasti banyak menjanjikan yang baik-baik, tapi kenyataan yang aku liat di sekeliling gak sebaik itu. Masa aku mau percaya gitu aja sama apa yang kudapat di media sosial? Tapi di saat yang sama aku merasa:
- Sedikit banyak aku udah praktekin edukasi-edukasi dari media sosial dan hasilnya luar biasa rasanya untuk transformasi diri
- Orang-orang yang mengedukasi ini adalah orang-orang riil yang beneran ada, cuma gak terjangkau tangan aku. Meski sekelilingku belum ada yang sepemikiran, ada kok orang-orang riil ini yang udah nunjukin bukti menjalankan hidup sesuai fitrah tanpa mengedepankan materi sebagai kompas
- Aku pasti akan menyesal kalo gak nyoba. If you never try, you never know.
- Kalaupun ternyata jalan ini gak kayak yang aku bayangkan atau kebijaksanaan yang aku ambil belum tepat, aku akan cari jalan lain dengan tetap menjadikan hati sebagai kompasku (magnetic monopole)
- Gak perlu khawatir, toh yang aku yakini saat ini belum tentu relevan terus selamanya. Lepaskan aja kemelekatan sama output yang aku harapkan. Yang relevan saat ini, jalani saat ini. Udah, cukup di situ aja. Tutup kuping sama siapapun yang bilang hal ini gak dewasa, karena it is just how my body and soul work as a human being.
Ujian jangan sampe dilalui begitu aja tanpa belajar apa-apa. Memang ujian akan berlalu, tapi apakah mau di masa depan ujian yang sama terulang lagi? Artinya hidup gak ada perkembangannya. Namanya manusia pasti pemahamannya terbatas, gak selalu dikasi ujian langsung lulus, apalagi baru nyoba. Aku jalani apa adanya, tapi yang pasti aku gak akan mau lagi mengabaikan sinyal diri yang udah kencang menolak. Dan aku gak akan pernah lagi membiarkan siapapun mengontrol diriku kecuali Allah dan diriku sendiri.
An intriguing discussion is worth comment. I do think that you should publish more on this topic, it might not be a taboo subject but generally people dont speak about such subjects. To the next! Cheers!!