Kalo diingat-ingat keputusanku ngambil online course inner child healing dari Menatar Bawah Sadar (MBS) di akhir 2021 ternyata keputusan besar yang efeknya jadi kemana-mana. Sangat besar. Betul-betul kayak ripple effect. Sejak saat itu cara pandangku satu per satu berubah. Banyak informasi yang aku baru tau. Kepercayaanku satu persatu dirombak. Tabir yang menyelubungi mata pelan-pelan terangkat. Gelap dan terang jadi semakin jelas, dan melihat kegelapan bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan dihindari, tapi dihadapi aja karena percaya kalau diri berdaya.
Aku kepingin share apa aja yang berubah, apa aja yang kutemui, pemahaman apa yang kudapat, dan apa keputusan besar yang aku ambil setelah ngambil inner course itu.
- Menyembuhkan inner child adalah kunci healing
Sejak belajar Human Design aku jadi jauh lebih paham dan mengamini apa itu fitrah. Sejak itu aku punya kepercayaan lebih dalam kalau sejatinya kita bisa hidup effortlesly, in ideal world, kalau kita hidup sedekat-dekatnya sama fitrah, persis seperti saat kita dilahirkan. Tapi kenyataanya adalah, kita tumbuh besar di dunia bersama orang tua dan lingkungan yang udah duluan hidup, yang udah duluan membawa kepercayaan, didikan, dan trauma masing-masing. Kita yang masih bersih sekaligus rentan sangat mudah terkondisi sama hal ini. Belum lagi kognitif masih awal perkembangan, kita rentan salah paham sama apa yang terjadi di sekitar kita, khususnya dari orang tua. Kesalah pahaman ini yang direkam tubuh, tersimpan di bawah sadar, dan terbawa sampai besar. Akibatnya ada bagian dalam diri yang tidak mendewasa seiring kita tumbuh. Gejalanya macam-macam lah, teman-teman pasti udah tau, tapi mungkin gak semua mau melihat dan mengakui kalo itu ada dalam diri (ini juga ada spektrumnya, ada trauma yang lebih mudah kita akui, ada yang kita liat aja gak mau). Lucunya adalah, ternyata semua ini bukan untuk dilihat sebagai hal buruk. Kayak, yaudah emang begitu adanya. Kita yang memilih orang tua yang ini dengan segala spesifikasinya (termasuk trauma yang dibawanya yang kita juga yang kena), karena kita emang mau ngambil pelajaran dari sana. Di sinilah peer inner child healingnya: proses kita memahami apa yang terjadi sama kita di masa kecil, melepas apapun yang membuat kita gak selaras dengan fitrah, dan menjadi orang tua yang kita butuhkan saat kita kecil yang mungkin bagian itu gak kita dapatkan dulu. Beresin ini tentu akan terus seumur hidup. Beres satu, jeda, beres yang lain, jeda, dst. Tapi beresin trauma inner child adalah langkah awal yang akan membuka jalan kemana-mana, yang mungkin gak disangka-sangka.
- Bikin blog sebagai teman perjalanan
Aku jadi bikin blog sendiri sebagai media aku sharing perjalanan. Dari sini aku merasa menjalankan blue print ku. Ternyata aku emang terlahir untuk banyak sharing apa yang aku rasa dari pengalaman aku dan menawarkan solusi dari sana. Solusi yang selama ini mengisi bolong-bolong pemahamanku, karena kehidupan terasa banyak bolongnya yang aku gak ngerti dan gak tau nyambunginnya gimana. Lucunya adalah, aku yang dulu gak pernah betul-betul konsisten melakukan sesuatu dalam waktu lama, khusus untuk sharing lewat tulisan aku bisa konsisten. Hal baru yang aku pahami tentang diriku
- Berganti haluan karier
Gak pernah kepikiran sama sekali aku berenti kerja di awal aku masuk kerja dulu. Aku pikir ya namanya kerja pasti gak enak (tetot! Ini false belief yang udah kayak kanker di masyarakat kita). Tapi setelah menjalani dan banyak jelek-jelek dalam diri jadi naik ke permukaan, dan mulai proses inner child healing, pikiran pertama yang muncul adalah ingin berhenti dari pekerjaan karena aku merasa selama ini menekan dan mengabaikan sinyal kuat kalau aku gak selaras sama pekerjaan ini. Aku gak bisa serve dengan baik dan hanya akan menyusahkan banyak orang. Aku juga merasa penolakan dari dalam tubuh tiap kali masuk kerja tu menyesakkan ampun-ampunan. Banyak hal yang kupelajari dari sana, tapi aku harus keluar untuk kepentinganku dan kebaikan orang lain juga. Terus aku mau jadi apa? Gaktau, karena aku gak mau lagi ngasi label apapun sama apa yang kulakukan sekarang. Tapi sekarang aku lagi enjoy membuka diri untuk membantu orang lain lewat layanan hasil aku belajar trauma cleansing dan Human Design.
- Sudut pandang lain tentang kesehatan
Dari komunitas MBS (yes, kalo udah ambil course atau ambil sesi 1:1 hypnotherapy akan dikasi akses ke grup komunitas) aku jadi banyak tau kenyataan lain tentang hebatnya tubuh. Tentang kenapa kita bisa sakit. Bahwa ternyata kesehatan tu gak bisa cuma dilihat dari fisik aja. Fisik, mental, spiritual terhubung: kalau yang satu terganggu, yang lain pasti terpengaruh. Ilmunya banyak dan aku gak paham detail, belum belajar juga. Tapi aku jadi tau kalau sebenarnya manusia emang gak diciptakan untuk menderita. Makanya kalo kita terus-terusan stress, terus-terusan makan makanan yang bentukannya udah jauh dari bentuk aslinya (ultra-processed food), gak mau bergerak (gagoleran all day), gak kena matahari, kebanyakan milih sendirian sampe canggung dan gak mau hidup berdampingan sama orang, mempercayakan obat dan vaksin (yang dimaksudkan hit penyakit A tapi bagian tubuh lain-lainnya kena) untuk kesehatannya instead of support kesehatan tubuh untuk melawan kuman apapun, membirakan trauma ada terus di badan dan gak diberesin, badan kita jadi sakit. Ternyata sakit tu datangnya bukan dari Allah. Sakit tu karena dosa sendiri. Allah selalu mau kita sehat dan memang sejatinya diciptakan seperti itu.
- Homeschooling
Ini juga aku baru tau dari komunitas. Segala yang mengganggu di sistem pendidikan formal ternyata ada solusi lain yang namanya homeschooling. Aku jadi ketemu Rumah Inspirasi (foundernya orang tua yang homeschooling kan anaknya udah 22 tahun dan anaknya bisa kuliah juga kok) yang nilai-nilainya menjunjung spiritualitas, kesehatan mental, kebebasan berkehendak, dan kepercayaan diri orang tua dan anak. Aku juga tau dari sana ternyata homeschooling bukan berarti mindahin sekolah ke rumah dan ngurung anak sampe gak punya teman. Dan kunci homeschooling memang orang tua yang sehat fisik, mental, spiritual, jadi cocok sama value aku yang lagi beresin diri dulu sebelum anak masuk usia sekolah. Homeschooling ini jadi salah satu solusi untuk orang tua yang gak mau anaknya dibentuk sistem yang menghomogenkan manusia, sedangkan manusia sejatinya gak ada satupun yang sama.
- Mandiri pangan
Dari komunitas MBS aku jadi tersadarkan lagi betapa pentingnya mandiri pangan dan gak bergantung sama orang lain a.k.a ngandalin “beli aja” untuk supply makanan. Dunia makin gila, biar kita tetap bisa jejeg mau gak mau harus belajar mandiri dan berkomunitas biar bisa berbagi. Ini juga jadi bahan penyesalan aku karena blok nya terlalu tebal. Gak tau apa yang ngeblok aku untuk bisa nanam makanan di rumah, padahal sejak kecil aku tinggal di desa, sering di bawa ke kebun, bahkan sampe sekarang halaman belakang rumah orang tua banyak tanamannya. Dulu alm nenek juga pelihara ayam. Tapi aku enggan menyentuh apalagi ngurusin. Ini masih peer besar untuk aku. Pelajaran riil ada di depan mata selama tumbuh tapi enggan nengok apalagi nyentuh dan ngurusin.
- Bertemu langsung dengan orang yang kuanggap healer yang punya andil besar dalam prosesku
Aku punya dorongan besar untuk ini dan masuk ke dalam cita-citaku. Ajaibnya, kejadian. Kenapa aku punya dorongan besar untuk ketemu? Meski gak mungkin healer-healer ini adalah benda artifisial yang cuma kutengok di instagram, aku kepingin betulan ketemu dan memastikan mereka benar-benar manusia. Plus, aku kepingin dapat wisdom langsung saat ketemu, karena gak bisa dipungkiri energi saat ketemu langsung tu beda. Aku jadi merasakan mereka benar-benar manusia sama halnya seperti aku: artinya mereka punya fisik sekaligus jiwa yang kalau ketemu itu akan membuat rasa humble, setara, sekaligus berekspansi. Masih banyak healer-healer yang perannya besar dalam perjalananku (meski mereka gak kenal aku karena ya kliennya banyak) yang aku pingin ketemu langsung.
- Mengeluarkan uang untuk belajar
Aku jadi cukup royal ikut kelas (kebanyakan online) ini itu. Kelas yang memang pingin aku ambil, bukan kayak waktu kerja yang trainingnya disuruh ambil karena tuntutan dan gak ada kesempatan milih: tiba-tiba aja keluar undangan training yang ada namaku padahal setitik minatpun gak ada untuk itu. Dulu training ya karena kita dipaksa paham dan menguasai satu hal dan diharapkan bisa improve kemampuannya. Ini total nonsense. Kalo minatnya gak ada di sana, dijejal sampe muntah pun gak akan paham dan masuk ke otak (okay, jadi ngamuk hahahaha). Kasian trainer, kasian trainee, hanya buang-buang tenaga. Sekarang aku baru bisa ngerasain ngambil training yang betul-betul aku cita-citakan, aku pilih dengan sadar, kujalani sepenuh hati, dan sertifikatnya aku banggakan karena ada rasa puas. Dulu? Sertifikat gak ada harganya: cuma untuk ngumpulin nilai untuk suatu saat naik gaji. Selama sesuatu hanya diukur dari berapa duit yang bisa dihasilkan dari sana, men, you’ll be meesed up in this life time: tidak sustainable yang begitu-begitu di era kreji yang akan makin kreji semakin ke depan. Invest sesuatu untuk dirimu, pure untuk dirimu, bukan hanya untuk wang, wang, dan uwwwaaaaangggg.
- Menyadari pentingnya terhubung dengan manusia lain
Aku teringat dulu waktu aku mutusin tinggal di apartemen cuma bertiga sama suami dan anak, jauh dari keluarga besar gak punya siapa-siapa. Teman-temanku melihat dan menyayangkan, ngasi saran kenapa gak pindah aja kerjanya ke dekat orang tua. Atau kenapa gak ngontrak di rumah biasa aja, di apartemen kan betul-betul gak punya siapa-siapa, gak punya tetangga. Ditambah waktu harus berjauhan sementara sama suami, salah satu temanku bilang “udah denger belom berita ada ibu bunuh tiga anaknya” hahahaha. Dulu aku meradang di gituin HAHAHA kayak, apa sih, orang aku enjoy. Ya memang enjoy. Sampe menderita merasa sebatang kara aja enjoy hahahahaha. Itulah nyata adanya bentuk luka masa kecil: merasa bisa sendiri semuanya dan gak bisa minta tolong dan merasa gak ada yang salah sama itu. Padahal sejatinya manusia diciptakan, fitrahnya, adalah makhluk sosial. Aku ternyata masuk ke perangkap narasi “sendiri lebih baik” dan berujung chaos: berhubungan sama orang lain canggung tapi kelelahan tapi gak tau cara minta tolong. Muter-muter di sini cukup bikin gila. Sampe aku menyadari emang betul yang dibilang teman-temanku. Aku gak sehat kalo sendirian. Aku harus dekat sama orang lain terutama keluarga. Aku perlu pertolongan terutama dalam membesarkan anak. Saat aku menyadari dan udah menerima blind spot aku, aku cuma bisa ngetawain diri yang keras kepala dan memang agak lemot memahami hal ini. Udahlah programming “kamu harus bisa melakukan semuanya sendiri” sangat tebal, tambah lagi aku perlu waktu lebih lama untuk mencerna. Yah gitulah, it is what it is teman-teman. Aku makasih banyak sama kalian, meski aku banyak meradang tapi gakpapa, kusimpan somewhere inputnya untuk suatu saat kutengok lagi apakah selaras apa enggak. Kebetulan input untuk dekat sama keluarga akhirnya mashok ke kepala dan hatiku hahaha. Sendirian itu tidak baik, teman-teman. No doubt. Gak sehat untuk badanmu di segala level juga. Kuncinya saat ada dalam keadaan sendirian itu adalah terbuka dulu sama kenyataan bahwa manusia gak diciptakan untuk sendirian. Kalo udah open, berdoa sama Allah bukakan jalan, tunjukkan, terangkan, gimana caranya biar bisa hidup berdampingan dan saling support sama orang lain, dan kasi aku keberanian dan kekuatan untuk melalui jalan itu.
- Melihat kegelapan dengan jujur dan berani
Selama ini aku takut kegelapan. Gak mau membahas apa lagi belajar tentang entitas lain yang ada di dunia ini. Kalo udah menyentuh bahasan itu aku langsung pasang mindset bahwa aku gak akan mungkin lah terpengaruh entitas gelap apapun dari luar, toh aku kan gak ngijinin. Dulu aku beranggapan bahwa selama aku sedikitpun gak mengijinkan “mereka” mempengaruhi aku, meski aku masi banyak melakukan dosa, aku gak akan mungkin terpengaruh. Sampai akhirnya aku belajar energy healing dan menyadari bahwa pengaruh entitas gelap itu bukan lantas kayak kesurupan atau tau-tau jerit-jerit atau sesak napas. Tapi subtle sampe aku gak sadar. Aku lihat lagi kelakuan/perilakuku yang aku benci tapi gak bisa berenti meski aku berusaha sekuat tenaga. Di sanalah letak entitas gelap mempengaruhi aku. Kuncinya di mana? Beresin energi dulu. Beresinnya gimana? Tengok apa yang merusak bagian energi itu, yang gak jauh-jauh dari trauma masa kecil. Dan mirisnya lagi, selama ini aku pikir entitas gelap hanyalah jin. Tapi ternyata, di dalam diri juga ada bagian gelap itu. Kacamata 3D kita yang gak sanggup mencerna unity: kita sanggup liatnya ya terpisah-pisah antara aku-kamu-dia. Padahal kegelapan juga emang ada dalam diri. Bagian dalam diri. Saat tau ini aku cukup tergoncang: takut sekaligus lega karena akhirnya paham, dan karena paham aku kayak gak takut lagi sama entitas gelap (meski aku tetap berharap jangan sampe 5 sense 3D ku bisa ngeliat wujudnya). Ternyata kegelapan emang bagian dari kita yang hidup berdampingan dan bahkan bagian dari diri, tinggal kita mau jadi orang yang kayak apa: ambil andil untuk klaim kekuatan untuk jadi manusia sejati atau mau disetir yang gelap-gelap itu. Aku ketawain diriku dulu yang udah songong selama ini. Hahaha.
- Jadi Human Design Reader
Aku ingat pertama kali aku kenal Human Design di pertengahan 2021. Aku masih di level penasaran aja. Lalu aku ketemu podcast DayLuna. Dengarin mereka bikin aku gemetar: ini ilmu terasa benar sampe level jiwaku, tapi masih terlalu baru untuk aku cerna dan kuputuskan apakah aku bisa percaya apa enggak, apakah ini bertentangan dengan imanku. Di waktu bersamaan dengan rasa bingung ini karena ini masih sangat baru menggetarkan kepercayaan yang kupegang selama ini, aku justru makin merasa bersyukur jadi seorang Muslim. Makin merasa Islam sebegitu sempurnanya untukku. Makin merasa Allah Maha Besar dan terlalu banyak yang aku gak akan bisa cerna kebesaran-Nya. Human Design ini secuplik hal besar yang menjelaskan nyaris semua hal yang aku sadari itupun pasti cuma setetes air di ujung jarum dibanding luasnya ilmu Allah. Aku gak pernah lupa rasanya. Gemetar yang gak keliatan sampe sulit tidur. Lalu di satu malam sebelum tidur aku cerita sama suami tentang Human Design yang aku baru tau, kuceritakan gamangnya aku. Suamiku cuma bilang “selama apapun yang dipelajari bisa makin mendekatkan diri sama Allah, lanjut aja” dan aku langsung lega. Intinya semua ilmu itu, kan? Untuk berkali-kali merasa kagum dan mengonfirmasi keyakinan bahwa Allah Maha Besar.
Sejak saat itu aku gak bisa berenti belajar Human Design lewat podcast-podcast panjang DayLuna. Baca postingan-postingan tentang Human Design. Aku coba lebih aware dan praktekin strategy dan authority ku, juga tips dasar lainnya yang selaras dengan blue print ku. Aku juga bercita-cita suatu hari akan ambil sertifikasi reader karena aku betul-betul pingin belajar dan menyebar manfaat ini. Dua tahun kemudian, di 2023 ini, terbuka kesempatan untuk mewujudkan cita-citaku: aku ambil sertifikasi sama Tsamara Fahrana. Sekarang aku udah certified Human Design reader untuk level Foundation. insyaAllah akan terus belajar sampe level advance. Such a dream come true.
Segitu besarnya dampak beresin inner child. Jadi kemana-mana. Mengubah cara pikir. Membuka kesempatan. Mempertemukanku dengan orang-orang yang aku gak habis pikir: begitu asli dan otentik. Yang tadinya aku merasa sendiri, makin ke sini aku makin bertemu banyak teman baru, meski berjauhan tapi makasih sama teknologi akhirnya bisa bertemu dan terkoneksi. masyaAllah tabarakallah. Tapi kalo semua perjalanan ini diukur sama materi (a.k.a apa-apa yang kelihatan mata) gak akan bisa. Ukurannya adalah rasa ekspansi di jiwaku. Jadi gimana, mau coba mulai beresin inner child juga? Gak ada pilihan selain harus sebenarnya. Hehe. Mari bersama-sama bergandengan dalam perjalanan ini.
Hallo kak, aku yg termasuk suka sama tulisanmu, dan hampir baca semua tentang perjalanan kaka yg di tulis disini, karena akupun sedang dalam perjalanan ingin membersihkan diri ini agar selaras. Mari berdoa dan berjalan bersama sama 🙂
Hi kak! Makasih udah mampir. Glad to know you enjoy this blog. Mari sama2 bertumbuh yaa kak.