Overrated Introvert

person, sit, bench-5956897.jpg

Makin ke sini aku merasa introvert-extrovert-ambivert tu istilah overrated, terutama introvert. Ada rasa muak sama istilah ini. Kayak apa ya, introvert jadi tameng sekaligus senjata orang-orang dengan skill komunikasi minim dan canggung dalam sosial, dan extrovert jadi pembenaran orang-orang yang gak nyaman sama dirinya sendiri dan selalu nyari kesenangan dan kenyamanan berada bersama orang lain terus-menerus. Entahlah apakah istilahnya yang bermasalah, atau sebenarnya netral tapi karena diomongin dimana-mana dengan berbagai macam konteks dan gaya bahasa persepsi orang jadi beda. Orang-orang cuma ngambil secuplik maksud dari istilah itu dan make untuk memvalidasi bagian diri bahkan menjadikannya identitas yang firm. Belum lagi postingan media sosial yang ngasi bumbu kayak “penelitian menunjukkan orang introvert cenderung berprestasi di sekolah” atau “orang introvert cenderung sukses dalam karier.” Bisa dibilang istilah ini malah dipake untuk muasin ego dengan tipikal kalimat “ya aku emang gini” tapi gak pada tempatnya.

Aku kenal istilah introvert-extrovert-ambivert sekitar 12-13 tahun lalu, waktu aku awal-awal kuliah lah. Waktu aku kenal istilah itu, aku bisa menyimpulkan kalo aku introvert garis keras. Kenapa aku sulit komunikasi sama orang lain, kenapa aku sulit get along sama sekumpulan orang baru apalagi yang udah saling kenal, suka menyendiri, mending memendam maksud, dll yang biasanya karakteristik introvert. Banyak masalah yang timbul dengan “keintrovert”an aku ini, paling banyak dari missed-communication. Maksud aku A, yang orang lain tangkap B. Aku menghindari percakapan sulit dengan siapapun yang serumah denganku, mau orang tua, saudara, teman kos, bahkan suami. Belum lagi, aku kesulitan masuk di lingkungan baru yang aku anggap orang-orangnya lebih baik dari aku dalam segi apapun, bahkan sesimple saat orang-orang ini selow dan mudah berbaur atau mudah bikin percakapan sama siapapun. Aku pasti minder dan narik diri. Dulu aku terlalu ngikat diri dengan si introvert ini bahkan jadiin dia identitas. Aku merasa, “ah aku kan emang gitu orang aku introvert.”

Sampe suatu ketika dulu saat masih pacaran sama suamiku sekarang, aku maksa dia tes MBTI dan nunjukin ada part introvert ku di situ yang 90% lebih. Aku nyolot waktu itu maksa dia yang merasa itu gak penting. Akhirnya dia tes dan nunjukin, dan komentar dia “terus kenapa?” karena dia merasa gak perlu ngasi label diri dari tes-tes begitu. Waktu itu aku gak ngerti. Aku memaksakan pandangan dan pemahaman kalo aku introvert dan banyak bagian diriku yang sulit tapi harus dimaklumi. Tapi suamiku dulu bilang “gak kok, kamu gak introvert, kamu gak kesulitan berteman.”

Seiring waktu aku merasa, iya juga. Aku gak sesulit itu berteman. Aku mulai ingat-ingat dulu jaman masih kecil, aku sangat mudah berteman. Aku gak butuh waktu lama akrab sama orang. Cukup hitungan jam terus-terusan sama-sama bisa buat aku akrab sama orang baru. Terus apa yang bikin aku jadi nyaman melabeli diri dengan istilah introvert?

Ternyata ada bagian diriku yang harus bertumbuh tapi enggan karena gak pernah diajarin dan gak pernah belajar juga, yaitu komunikasi. Aku gak pernah diajarin cara komunikasi yang clear di depan orangnya langsung. Aku tumbuh dengan kebiasaan ngomongin orang di belakang meski gak diumbar-umbar tapi itu terasa enak. Saat ada yang perlu diomongin sama si A, bukannya ngomong sama si A, aku justru ngomongin orang ini sama si B yang kupercaya dan ceritain apa yang pingin aku omongin sama si A ke si B. Sampe sekarang aku masih struggle sama ini. Masih ada dorongan untuk ngomongin orang di belakang dan bukannya nyampein langsung. Peer besarku sekarang komunikasi. Sedang bertumbuh dari hal fundamental dulu, misalnya komunikasi dengan suami yang jelas satu atap sama aku. Jangan sampe curhat tentang suami ke orang lain (kecuali untuk orang yang merasa perlu bantuan profesional karena masalahnya pelik, ngomonglah sama profesional, bukan sama teman atau keluarga). Pingin menguasai dan terampil berkomunikasi sama keluarga dan komunitas juga.

Satu lagi yang perlu bertumbuh dan masih berkaitan sama komunikasi buatku adalah bersosialisasi. Manusia sejatinya adalah makhluk sosial. Tapi dunia sekarang membentuk kita jadi manusia individualis yang sanggup hidup tanpa berinteraksi sama siapapun berbulan-bulan di sekotak tembok dan melabeli diri “ya kan aku introvert, aku nyaman begini.” tapi apa iya? Coba perhatikan, si yang ngaku-ngaku nyaman sendirian ini adalah orang-orang yang gampang ketrigger sama apapun di luar. Gak kuat dan gak nyaman sama trigger sedikitpun. Gampang tersinggung. Gampang draining. Gak kuat sama rasa gak nyaman. Ngobrol santai pun bisa bikin dia kepikiran bermalam-malam saat ada satu kalimat yang nyentil dari lawan bicara yang ketemu cuma sesekali. Boundary yang dibuat bukan dengan menyampaikan rasa gak nyamannya ke lawan bicara dengan baik, tapi malah diem dan nutupin pura-pura gak kejadian apa-apa dan dibawa pulang gak bisa tidur, atau malah reaktif jadi “kenceng” ngomongnya ke lawan bicara. Yup, that’s me beeertahun-tahun belakangan dan baru “bangun” beberapa waktu ini. Satu sisi itu hal yang wajar karena aku masih awal-awal perjalanan healing, individuation yang adalah perjalanan sunyi sepi dan mesti menyingkir jadi wajar aku lebih sensitif. Tapi di sisi lain, sebelum perjalanan ini aku udah super sensitif sama trigger apapun dan gak suka jadi aku mending menyingkir dari masyarakat. Kek apapun yang kudengar dari orang lain tu bikin marah. Dan itu gak sehat. Untuk proses individuation “menyingkir” perlu untuk nguatin dan bebersih diri agar lebih selaras dan lebih siap melihat dan menghadapi dunia, tapi kalo kamu masi banyak luka dan ngasi diri label “introvert” karena gak kuat sama berisiknya dunia, men you have to do some work for yourself.

Manusia fitrahnya adalah makhluk sosial. Tapi sayangnya modal untuk bisa hidup dengan cara itu adalah komunikasi, dan kemampuan komunikasi itu bukan sesuatu yang natural kita kuasai. Perlu belajar, latihan, dan keberanian untuk menghadapi segala ketidaknyamanan diri saat melakukannya. Mesti berani nyemplung dengan vulnerable sekaligus firm. Berani menghadapi kalo ternyata diri canggung. Mesti berani menghadapi kalau ternyata ada beberapa kata yang dilontarkan lawan bicara adalah trigger yang bikin diri merasa gak nyaman tapi juga memasang kesadaran bahwa yang dilontarkan orang lain bukan tentangmu tapi tentang diri mereka. Mesti berani mengakui kalau ada bagian diri yang gelap saat berinteraksi dengan orang lain, misalnya ternyata diri kita sombong dan merasa lebih baik dari orang lain, atau justru merasa kecil karena gak bisa apa-apa tapi artinya harus melakukan sesuatu untuk improve. Berani menghadapi itu semua dibarengi dengan penerimaan diri apa adanya saat itu dengan potensi tertinggi maupun terendahnya, memaafkan diri atas apa yang kurang berkenan selama ini, rasa berharga dalam diri bahwa kita pantas bertumbuh terlepas apapun yang telah dilewati, juga rasa terimakasih untuk diri dan Tuhan atas semua yang udah diberikan dan dilewati selama ini.

So, if you have zero social and communication skills, please, I beg you, enough for hiding yourself from “introvert wall” because it is so dis-empowering, seriously. Coba melek berapa banyak orang introvert yang komunikasinya bagus, social skill nya bagus, jadi pembicara dimana-mana dengan bahasa sangat lancar. Gak nyaman itu pasti ada tapi yaudah, itu sesuatu yang perlu dihadapi dan akan jadi nyaman seiring waktu kamu terus berlatih dengan berani. Improve diri. Kadang rasa gak nyaman ada di antara masyarakat juga karena merasa kualitas diri kurang bagus sehingga jadi gak pede, misal kurang disiplin diri, kurang pengalaman, kurang baca, kurang belajar, dll. Gak selalu alasan kamu gak berani nyemplung dan berada di antara orang lain tu karena introvert.

Tulisan ini ternyata menggambarkan diriku dulu dan sekarang HAHAHAHA. Yah begitulah, kadang saat gemas melihat dunia jadi refleksi, oh ada bagian itu juga di diriku. Mungkin gemas karena aku udah melewati fase itu, mungkin juga gemas karena merasa “dang, kenapa gak pernah ada yang ngasi tau aku soal ini” dan jadi peer saat ini (oops, nyalahin di luar enak ya hahaha). tapi itulah, kadang pesan dari Allah lewat alam semesta (entah dari orang-orang yang ditemui atau dari siapapun/apapun) ibarat alarm hape. Dia udah bunyi, tapi kadang kita gak bangun. Entah karena terlalu sering mengabaikan suara alarm sampe jadi kebal kupingnya gak bisa bangun, atau sebenarnya dengar tapi pura-pura bobo~ jadi yoook bangun yok. Jangan gampang disetel apalagi disetir sama postingan media sosial, termasuk soal extrovert-introvert ini.

2 thoughts on “Overrated Introvert”

  1. Setuju, aku pun sama seorang introvert tapi ternyata dalam perjalanannya introvert bisa juga bergaul, bersosialisasi, berbicara di depan publik yang tidak pernah terbersit sedikit pun waktu dulu. Mengakui keintrovertan sekaligus belajar dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart