Salah satu jalan untuk merasa damai adalah dengan melepaskan keinginan untuk terlalu menjelaskan diri kalau disalahartikan. Sungguh damai rasanya kalau kita biarkan aja orang salah mengerti diri kita. Tapi jujur aku masih belum bisa. Masih gelisah kalo orang salah menghighlight pesanku. Misalnya yang pingin aku tekankan A, tapi yang dihighlight orang B. Ya sebetulnya wajar aja, karena akupun sering gitu, terutama kalo misalnya ada tulisan yang inti pesannya A tapi bagian B yang relate sama kehidupanku, fokusku ya di B.
Belakangan aku triggered sama kata-kata kuat dan semangat untukku dari beberapa cerita yang kubagikan, karena aku merasa pesanku gak nyampe. Tapi ini bukan cuma soal diriku sih, melainkan kesalahpahaman orang-orang tentang hal ini, setidaknya dalam perspektif baruku terutama untuk perempuan khususnya lagi istri atau ibu.
Kalo cerita aku yang dulu (mungkin sisa-sisanya masi ada sekarang), aku selalu merasa kecil saat melihat ada seorang ibu yang bisa sekolah tinggi sambil ngurus anak-anaknya. Atau ada ibu yang bisa total ngurus anak-anaknya sendiri tanpa bantuan nanny, apalagi sambil kerja. Aku merasa mereka kuat sekali dan hebat, intinya terkagum-kagum lah. Apalagi kalo ibunya sambil sekolah, rasanya kok bisa ya dia bisa konsentrasi sambil ngurus anaknya. Kalo dulu dengan rasa rendah diri kayak “apalah aku yang S2 aja telat, dah gak sanggup lagi sekolah-sekolah lah apalagi sambil urus anak”, masih ada rasa tertantang melakukan hal yang sama. Dulu masih ada tu cita-cita pingin lanjut sekolah sesuai jurusan S2 ku yang susahnya masyaAllah mau mampos kalo udah jadi orang tua, padahal diri sadar, selain aku sebenarnya gak ada interest di jurusan itu sehingga otaknya gak nyampe, peer ku tentang mental health masih banyak yang belum selesai.
Tapi seiring jalan, aku terpapar sama ilmu ini itu yang bikin aku jadi melek, ooh pantesan beberapa hal ini terasa berat dan salah selama ini, tapi karena pemahaman lama yang masih aku bawa, aku dulu tetap ada rasa kepingin dan kagum. Salah satunya adalah tentang energi feminin yang dominannya ada di perempuan, apalagi kalo dia seorang istri atau ibu. Perempuan ini fitrahnya dia adalah penerima dan pencipta. Dia bisa berkarya maksimal kalau dalam kondisi relax. Hubungannya dengan suami juga akan lebih harmonis kalau dia membuka diri untuk menerima servis. Energi maskulin, yang dominan ada di laki-laki adalah kebalikannya, fitrahnya dia ngasi servis dan perlu rasa hormat. Kalau perempuan over functioning, kebanyakan ngasi servis, mulai dari handle kerjaan rumah tangga, ngurus anak, kerja abis-abisan, dia melawan fitrahnya. Hasilnya muncul rasa marah ke pasangan dan orang-orang sekitar, kelelahan, kurang rasa self worth, iri sama pasangan kok dia santai-santai tapi kitanya gak berenti-berenti kerja. Lalu si laki-laki juga kalau liat istrinya kerja terus, dia merasa kehilangan peran dan secara gak sadar merasa peran dia di ambil dan kurang direspek, jadi sekalian aja gak usah dibantu. Dua-duanya gak terpenuhi kebutuhannya: istri gak dapat servis, suami gak dapat respek.
Kenapa aku bahas ini? Karena aku pingin bilang, bahwa perempuan yang melakukan ini itu sampe kelelahan, gak ada ruang untuk dirinya sendiri, gak bisa diartikan sebagai kuat. Dia melawan fitrahnya. Mungkin selama ini yang kita liat kasat mata perempuan melawan fitrah tu adalah tomboy. Mau sefeminin apapun tampilannya, kalo dia overfunctioning, dia melawan fitrah karena jadi maskulin, bukan kuat. Memang, hidup kadang gak melulu lurus-lurus aja. Contohnya aku sekarang, sementara semua kuhandle sendiri, mulai dari cari uang sampe ngurus anak, asli gengs, bukan artinya aku kuat. Aku lemah, selemah-lemahnya. Mungkin terlihat kuat karena aku terlihat sanggup. Tapi di dalam, kalo aku gak banyak kerjain inner work ku, aku burden. Karena ya itu tadi, aku melawan fitrahku sebagai makhluk yang dominan energi femininnya. Aku bilang kayak gini bukan berarti aku lemah juga. Tapi ini pilihan aku. Di fase hidupku kali ini, di segmen hidup yang ini, aku memilih terima keadaan ini dan menjalaninya. Aku terima, bahwa untuk sementara waktu, mungkin mau gak mau aku masukin energi maskulin ke diri aku. Aku berkorban sedikit untuk support suamiku untuk sementara waktu dengan cara ini. Aku terima ketidaknyamanan ini. Tentu aku gak boleh pasrah gitu aja. Melawan fitrah tu energinya banyak terkuras, jadi makin getol pula aku harus ngisi gelasku. Makin urgent untuk curi-curi waktu self care.
Untuk bagian urus anak sendiri bahkan sambil kerja, sebetulnya itu juga bukan sesuatu yang aku glorifikasi. Aku lakukan itu karena ada bagian diriku yang gak bisa dan gak siap ngasi kepercayaan untuk handle anakku sama siapapun. Apakah anaknya susah sama orang? Sama sekali enggak. Tapi aku gak mau ngasi kepercayaan sama nanny untuk jagain anakku, dan itu pure standarku sendiri. Untuk ibu-ibu yang pake nanny, aku juga salut sama mereka, karena mereka bisa punya kepercayaan itu ke orang, yang aku gak punya.
Aku juga pernah liat postingan Psychedmommy yang ini tentang apa yang banyak ibu-ibu rasakan saat dia bilang kalo semuanya terasa berat tapi tanggapan orang-orang “you’re so strong, you’ve got this, semangaaat” bukan menenangkan dia, tapi bikin dia merasa perasaannya gak valid, gak disupport, dan disalah mengerti. Yes, that’s exactly what I feel tiap kali disangka kuat. Meski aku coba pahami bahwa orang-orang tulus niatnya ngasi support, aku gak bisa abaikan bagian diri aku yang merasa kayak di atas saat dibilang kayak gitu. Aku pribadi lebih nyaman kalo dibilang “wah gak kebayang beratnya kayak apa, mudah-mudahan kamu dikasi kekuatan terus untuk bertahan sampe semua ini berlalu”.
Cuman sisi lainnya apa ya, aku kasi compassion juga ke semua yang udah ngasi semangat. Makasih karena udah berusaha support. Aku terima energi cintanya, makasih banyak. Karena keterbatasan kita juga sebagai orang timur, mungkin gak kayak orang amerika yang dari kecil didikannya bagus untuk ngasi kata-kata supportive untuk orang yang membutuhkan. Jujur dalam hal ini aku iri sama mereka, aku juga pingin punya keterampilan kayak gitu. Jago rangkai kata untuk bikin orang yang membutuhkan betulan nyaman mendengarnya.
Intinya aku mau bilang, yang kuhighlight dari cerita-cerita tentang struggle aku bukan seberapa kuat aku hustling melakukan segalanya sendiri, bukan juga seberapa menderita aku sampe gak ada semangat. Tapi aku kuat karena menerima bahwa ini gak mudah, cukup menyakitkan, melelahkan, tapi bersedia melakukannya. Aku kuat karena aku sadar akan kelemahanku tapi selalu ada Allah yang memudahkan. Aku kuat karena aku sadar aku gak mampu, tapi Allah yang selalu ngasi jalan biar aku sanggup. Percayalah, ini semua berat, tapi gak seberat yang teman-teman bayangkan. Aku sanggup melalui ini semua sampai sini bukan karena aku banyak tenaga, tapi begitu banyak kemudahan yang Allah kasi. Dan aku percaya, kemudahan gak berenti di sini, tapi selalu mengikutiku sampai kapanpun. Karena percaya atau enggak, sehari aku masih punya waktu untuk nonton dua film meskipun gak begadang. Hehe. Yang tentunya bisa diisi dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat (kalo aku lagi waras :D)