
Sering ditemui di sekeliling kita orang yang beragama gak punya kualitas spiritual yang baik. Kenapa bisa begitu? Karena buat sebagian besar orang yang dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang pengetahuan agamanya bagus tidak menanamkan makna dari semua ritual keagamaan yang dianut. Sangat disayangkan. Ibarat rumus fisika, sampai keluar rumus itu ada ceritanya dulu, gak ujug-ujug muncul si rumus. Agamapun seharusnya gitu, ada ceritanya dulu. Kenapa sampai keluar suatu perintah, pasti karena ada alasannya, dan hampir semua alasannya adalah cinta. Kenapa diwajibkan sholat 5 waktu? Karena sepenting itu terhubung dengan Allah dan diri. Perlu dicas berkala, sehari lima kali. Kalo gak dicas, diri jadi loss. Kalo udah loss, kesadaran pentingnya merawat jiwa berkurang, ujung-ujungnya melakukan perbuatan keji dan mungkar. Gak mungkin Allah sampe mewajibkan segitunya kalo gak penting dan urgent untuk kita. Karena penting, perlu dilakukan dengan mindful, penuh kesadaran. Tapi sayangnya part ini sering diskip waktu kita kecil. Dalam kasus aku malah gak ada. Pokoknya disuruh sholat karena nanti di akhirat jadi yang paling pertama ditanya pertanggungjawabannya. Kalo gak dikerjakan jadi dosa besar dan masuk neraka. Pendekatan kayak gini mungkin bekerja, tapi sayangnya gak sustainable. Kalo pendekatannya adalah takut, hati gak main di sana. Jadi melenceng jauh dari tujuan awal perintah ini yang sebenarnya untuk makanan jiwa berupa cinta dengan cara terhubung dengan Allah dan diri.
Aku paham kalo pendekatan orang beda-beda dalam beragama. Ada yang mesti mild, ada yang ekstrem mesti ditakut-takuti dulu. Tapi kalo bisa coba jadi renungan. Islam masuk ke dunia ini dulu caranya kayak apa. Pelan-pelan, bahkan dimulai dari sembunyi-sembunyi da’wahnya, padahal gak ada keraguan sama sekali sama kebenaran Islam dan kebaikan yang dibawanya. Bahkan sebagian besar isi Al-Qur’an isinya adalah kisah-kisah penuh hikmah, hukum-hukum hanya sebagian kecil. Bukan gak penting, tentu penting untuk pegangan kita dalam beragama. Tapi segitu pentingnyalah membangun pondasi iman biar lebih mudah melaksanakan kewajiban atas dasar cinta. Buatku cinta adalah substansinya iman, inti dari keterhubungan dengan diri, Allah, dan sesama.
Masalah pendekatan agama dengan rasa takut ini jadi menjalar kemana-mana. Disuruh sholat biar gak masuk neraka membuat kita menjadi manusia yang transaksional, gak peduli makna di antaranya yang penting hasil akhirnya apa. Kan ini sangatlah bermasalah. Sampe dalam kehidupan semua dilakukan dengan intensi dapat imbalan khususnya materi. Sekolah biar bisa dapat uang. Besarin anak biar anaknya balas budi. Nolong orang biar nanti kalo lagi susah ditolong orang itu, kalo gak ditolong balik sakit hati. Kerja yang penting dapat uang, gak peduli kerjanya suka atau enggak. Sampe kebahagiaan diri juga gaktau definisinya apa, sampe kalau ditanya “apa yang membuatmu bahagia” jawabannya “kalau melihat orang tua/anak bahagia”. Ini kan masalah juga, seakan kebahagiaan kita bergantung orang lain. Terus apa maknanya hidup kalo cara berpikirnya kayak gini? Kalau apa-apa harus ada balasan berupa materi atau mendasarkan pada orang lain?
Tentu menuju ke sana gak gampang. Harus mau melihat dan mengenali lapis-lapis trauma dan sisi gelap diri. Tapi pantas diperjuangkan. Mental transaksional ini muncul karena mental berkekurangan/scarcity mentality. Merasa apa-apa yang dipunya sekarang gak cukup sehingga apapun dilakukan biar nanti mendapat imbalan. Gak perlu menyalahkan sekeliling yang membentuk scarcity mentality ini, meski proses menyalahkan itu mungkin mau gak mau dilewati juga, tapi percayalah setelah melaluinya kita jadi lebih mudah melepaskan keterikatan dengan ekspektasi masa depan terutama yang berupa materi. Dan jangan lupa, seberat apapun proses melepaskan ini pasti akan datang waktu leganya dan jangan ditarget, karena dalam proses healing target adalah bentuk ekspektasi lainnya.
Thx!