Nikah: Perlu, Harus, atau Mau?

elderly, couple, walking-2914879.jpg

Selama ini nikah kayak suatu keharusan. Kalo udah masuk ke batas usia tertentu-yang seiring waktu batasnya berubah-ubah-rasanya ada tekanan tersendiri untuk harus menikah. Entah dari orang tua, sekitar, atau bahkan diri sendiri yang ngasi  limit di umur sekian aku harus udah nikah. Sampe kalo udah lewat dari batas usia tertentu seakan diri ini kadaluarsa, udah susah cari pasangan, perawan tua, bujang lapuk, gak laku lagi, dan label-label menyakitkan lainnya. Label ini kadang cuma datang dari lingkungan, tapi kalo pelan-pelan udah masuk ke otak sendiri, udah diresapi, bisa jadi kita melabeli diri sendiri dengan stigma kadaluarsa itu. Makin tambah usia, makin desperate kenapa kok gak ketemu-ketemu jodoh padahal udah kepingin nikah. Atau ada yang sebaliknya, justru jadi membenci dunia yang bikin nikah itu suatu keharusan padahal dianya gak mau.

Aku dulu termasuk yang benci disuruh-suruh nikah. Jangankan disuruh, diceng-cengin mau nikah meski udah ada rencana aja aku kesal. Satu sisi aku mau idup sama orang yang aku sayang sampe akhir hayat dalam satu atap, visi, dan misi. Di sisi lain aku gak ngerti kenapa orang-orang nyuruh aku nikah padahal yang ditunjukkan dari pernikahan tu cuma yang pait-pait. Kayak manis-manisnya cuma di awal nikah, tapi seterusnya pasangan tu kayak berjarak jauh, gak ada obrolan, gak ada intimasi, sibuk kewalahan ngurus anak, saling gak peduli, lelah, frustrasi, berantem, dan sebagainya. Belum lagi drama menantu-mertua. Tuntutan mesti get along new family. Belum lagi kalo perempuan tuntutannya segunung. Sampe pernah dulu aku mikir, kalo memang nyari pahala sesusah itu, aku milih jalan pahala lain aja yang lebih gak sakit. Aku gak ngerti kenapa kita disuruh nikah.

Dulu juga pernah seorang teman bilang, secara naluriah semua orang pasti pingin nikah. Aku gak percaya. Masa iya? Kalo memang iya kenapa banyak orang yang mutusin gak mau nikah? Kenapa alasan orang nikah hanya karena harus, kalo gak mau takut dosa, meski yang dinikahi gak dicintainya bahkan orang asing yang sama sekali gak dikenal? Aku gak paham.

Aku juga nikah dalam keadaan bingung. Aku liat tulisanku dulu, alasanku nikah di waktu itu adalah karena aku gak mau egois, takut malu-maluin orangtua karena anaknya perawan tua. Memang, waktu itu aku udah pacaran cukup serius sama suamiku sekarang, tapi secara kesiapan fisik mental, finansial, ilmu, aku, kami berdua, gak siap sama sekali. Meski kami saling sayang, kami nikah di saat itu bukan karena keinginan kami, tapi karena memenuhi keinginan orang tua.

Tapi aku gak nyesal sama sekali nikah di waktu itu. Aku yakin itu memang waktu yang tepat. Meski kurang bekal, aku makin ke sini gak berenti upgrade ilmu soal pernikahan. Nyari tau jawaban segudang pertanyaan “kenapa” yang gak pernah aku dapat dari siapapun. Dan akhirnya aku percaya kalau secara naluriah semua orang pada dasarnya ingin, butuh, dan perlu menikah. Karena Allah udah menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Terus kenapa kok kita banyak yang resisten sama pernikahan? Karena conditioning. Pengaruh-pengaruh luar. Bentukan lingkungan. Apa aja?

Role model pernikahan nomor satu adalah orang tua

Coba kita lihat orang tua kita. Gimana kehidupan rumah tangganya? Gimana mereka memperlakukan diri? Satu sama lain? Memperlakukan kita sebagai anak-anaknya? Itu yang selama ini kita lihat dan kita serap dari kita di kandungan sampe dewasa. Misalnya kita perempuan, kalau yang kita lihat ibu adalah “jantung” keluarga, yang handle semua urusan rumah tangga, yang mungkin juga jadi pencari nafkah, yang mengurus anak, sampai gak peduli tentang dirinya sendiri, bisa jadi kita gak mau nikah karena gak mau menjalani kehidupan kayak gitu. Merasa bebas cuma ngurusin diri sendiri rasanya happy. Bahkan kadang kita merasa gak butuh laki-laki karena kita lihat ibu kita tanpa ayah pun bisa survive, so what’s the point of marriage?

Tapi bisa aja keadaan serupa berdampak beda sama orang lain. Misalnya dengan role model seperti itu justru dia kepingin nikah dan menciptakan kehidupan versi dia yang jauh berbeda dari orang tuanya. Bisa aja itu jadi motivasi dia untuk menikah. Tapi hati-hati kalo gak diperbaiki pemahaman bawah sadarnya bisa jadi dia menarik orang yang serupa dengan orang tuanya meski dia menginginkan yang sebaliknya. Jadi kunci di sini adalah: healing. Sembuhkan luka masa kecil biar gak dibawa-bawa ke pernikahan dan generasi selanjutnya.

Media sosial

Sebelum media sosial menjamur, masyarakat sekitar kita yang sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan pemahaman kita. Kanan kiri depan belakang rumah nikah di usia early 20s, misalnya. Kita jadi ikutan merasa harus nikah di umur itu. Dari dalam diri bisa timbul keharusan, dari luar juga udah mulai nanya “kapan kawin”. Meski mungkin mereka menyaksikan kalo disekitarnya pernikahan tu miserable, mereka tetap kepingin nikah di usia muda.

Tapi sejak media sosial menjamur, semakin banyak orang speak up bahwa dia gak pingin nikah karena nikah itu mengekang, mereka bahagia hidup sendiri, mereka gak tau kenapa harus, dan sebagainya. Kita-kita ini yang dari dulu merasakan hal serupa jadi merasa banyak temennya. Jadilah diri “memusuhi” laki-laki. Duh, dunia ini memang penuh noise. Kadang kita bingung-atau gak sadar kalo bingung?-mana yang betul-betul pemikiran dan pemahaman sendiri mana yang terpengaruh orang lain. Bukan cuma soal nikah, soal pekerjaan juga. Mana yang betul-betul dilakukan karena keinginan diri mana yang cuma sekedar membungkam mulut tetangga, sering samar. Coba, tanya betul-betul ke dalam diri emang iya gak mau nikah? Kenapa? Apa iya pernikahan yang sebenarnya memang kayak yang kita saksikan selama ini.

Kurang ilmu jadi gak tau semestinya kayak apa

Aslilah, kita gak mesti percaya apa yang kita liat selama ini sebagai hal yang seharusnya kok. Gak semua hal di dunia ini mutlak kebenarannya. Pernikahan yang kita liat miserable, yang cuma manis di awal, bukan suatu keniscayaan. Kenapa Allah memuliakan orang yang nikah dan ngasi pahala yang banyak bukan karena penderitaan yang harus ditanggung di pernikahan itu. Justru karena nikah itu membahagiakan. Terlebih lagi, memang fitrahnya kita memang hidup berpasangan. Kalo udah paham itu fitrah, mestinya kita gak takut tapi justru bahagia.

Terus gimana sebetulnya pernikahan itu? Bisa dicari tau dengan banyak baca, dengar dari profesional, ikut seminar, kajian dan sebagainya yang membuat diri paham, tercerahkan, dan clear pemikirannya. Biar kita tau mana yang memang kayak gitu, mana yang hasil conditioning lingkungan. Misal, selama ini kita taunya perempuan yang jadi jantung keluarga yang handle semua-muanya. Jatung keluarga, mungkin betul, memang terima gak terima, mood ibu tu ngaruh ke seisi rumah. Tapi justru karena itu, kita mesti ngomong dengan hormat ke suami saat kita perlu sendiri atau istirahat atau perlu bantuan. Terus misal selama ini kita taunya laki-laki tu gila hormat? Ya mungkin ada betulnya, laki-laki merasa dia perlu merasa dihormati, tapi mereka juga secara naluri ingin membahagiakan pasangannya. Jadi ya para istri berikan rasa hormat itu saat mengungkapkan sesuatu, insyaAllah suaminya berusaha penuhi.

Menurutku sangat-sangat penting untuk bisa membedakan mana yang fitrah mana yang hasil conditioning. Meski ada satu dua hal yang kita pandang selama ini sebagai kepahitan, saat tau itu fitrah justru rasanya sangat membebaskan loh. Makanya perlu upgrade ilmu terus. Harus terima bahwa apa yang kita bawa sejak kecil gak semuanya bisa kita bawa sampe mati. Mungkin ada banyak yang mesti kita tinggalkan.

Memang rasanya pingin hal-hal dasar kehidupan tu diajarin dari kecil, termasuk tentang pernikahan ini. Tapi orang tua, keluarga, lingkungan, guru kita juga punya keterbatasan. Mereka ajarkan sama kita sebatas apa yang mereka pahami saat itu. Ilmu terus berkembang, jadi jangan berenti upgrade ilmu. Dan paling penting, ketika dalam diri merasa ada yang salah, bertanya “kenapa” terus, jangan diabaikan. Itu sinyal bahwa kita mesti belajar dan nyari tau solusinya dan diterapkan di kehidupan.

Jadi, nikah tu harus apa enggak? Bukan harus, tapi seharusnya kita mau untuk nikah. Nikah tu bahagia, tapi jangan lupa bahagia tu gak bisa datang sendiri, tapi diupayakan.

Terakhir aku mau bilang, hidup tu jangan terlalu maksain. Meski rasanya desperate kayak kok yang dipingin gak dapat-dapat, gak datang-datang, pasrahkan aja. Cuma diri yang tau gimana caranya nata hati untuk tetap berharap ke Allah dengan yakin tapi gak ngoyo. InsyaAllah pasti Allah dekatkan 🙂 Dan untuk yang tetap keukeuh bahwa dia pingin sendiri aja, girl, you’re not. Meski kamu bilang kamu bahagia sendirian, coba liat diri, gimana cara kamu bilang “aku bahagia kok sendirian”? Pasti ada ngegas-ngegasnya kan meski nadanya dibikin santai? Defensive. That’s your ego speaking. Karena I’ve been there. I know how it feels 😀

4 thoughts on “Nikah: Perlu, Harus, atau Mau?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart