Selaras

mushrooms, moss, nature-8232731.jpg

Selama ini aku merasa ketemu orang-orang yang selaras selalu menyenangkan, dan aku pikir akan selalu seperti itu. Selaras/sefrekuensi dalam kamusku dulu adalah orang-orang yang ada di perjalanan yang sama, satu cerita dan nyambung, dan membuat diri bisa menjadi seapa adanya. Tapi makin ke sini, setelah menghadapi kenyataan manis dan pahit sepanjang perjalanan penyembuhan, aku jadi mikir lebih jauh tentang keselarasan. Selaras sama siapa? Selaras dengan versiku yang mana? Karena dengan definisiku dulu soal selaras, setelah diamati dan dirasakan, di beberapa aspek aku nyaman membicarakan hal yang baik-baik, minim drama, dan membawa ke pertumbuhan diri ke orang terdekat. Di sisi lain, aku juga masih enjoy berkeluh kesah dengan victim mentality. Bahkan kalo kuingat-ingat, masih sering aku bungkam dan gak nimbrung di percakapan yang murni membicarakan perjalanan spiritual yang aku amini dengan hati, tapi malah lancar bicara dan terasa lebih “enak” saat ngomongin soal penderitaan sepanjang perjalanan. Ada apakah ini?

Aku ingat awal tahun lalu, aku liat di grup komunitas Menatar Bawah Sadar (MBS) kalo tanggal 22 Januari 2023 akan ada acara gathering di Jogja. Awalnya aku gak tergerak ikut karena merasa jauh dari Jakarta (aku waktu itu masih tinggal di Jakarta) dan aku gaktau akan rela/gak ngeluarin effort ke sana bawa-bawa anak, karena saat itu gak ada yang bisa kutitipin anak sebentar. Tapi ujung-ujungnya aku putusin ikut, karena pingin ketemu sama orang-orang seperjalanan menemukan diri sejati. Pingin dengar secara langsung obrolan yang selama ini aku cuma dengar dan baca online. Pingin ngerasain gimana sih rasanya ketemu sama orang-orang bervibrasi tinggi. Lagipula tanggalnya dekat dengan tanggal ulang tahun anakku, jadi kupikir sekalian lah biar ngerasain pengalaman baru.

Saat perjalanan ke Jogja, dan makin parah saat udah nyampe Jogja, aku mual dan pusing. Kupikir wajar karena emang tiap perjalanan jauh aku emang mabokan. Tapi pas nyampe di villa tempat gathering, aku makin sakit kepala dan mual. Mixed feeling antara aku langsung dihadapkan kenyataan bahwa ketemu orang baru masih bikin aku anxious apalagi orang-orangnya high vibe semua. Plus aku masi lelah perjalanan dan masi mesti handle anak. Aku happy dan bersyukur ada di sana, tapi rupanya harus menghadapi hal lain yang aku deny waktu itu: detox. Tadinya aku merasa kek gak mungkin ini detox. Inimah cuma kecapean di perjalanan sama anxious aja jumpa banyak temen baru.

Sampe besokan harinya bangun pagi abis sarapan aku muntah-muntah. Padahal udah istirahat tapi aku makin mabok. Aku masi merasa itu cuma karena masuk angin dan anxious sama keramaian. Tapi alhamdulillah, aku dan beberapa teman berkesempatan mampir dulu ke rumah Mba Momi setelah check out dari villa. Di sana aku sempat istirahat dan tidur nyaris 2 jam dan anakku dijagain bentar sama temen-temen yang ikut. Tiap ingat ini pingin nangis, karena gak pernah ada momen aku bisa nitipin anakku betul-betul istirahat. Pingin nangis aku merasa dijaga, merasa nurtured. Makasihhh banget teman-teman yang jagain anakku waktu itu. Itupun aku masi ada rasa gak pantes dan gak sopan nitipin anak, segitu bermasalahnya aku sama kemampuan menerima.

Detox aku masi berlangsung. Nyampe Jakarta aku masih super sensitif. Aku meledak ke anak, ke suami. Hal yang gak aku sangka, rupanya ketemu temen-temen yang high vibe, yang aku harap bisa sefrekuensi sama mereka, artinya ada bagian diri yang udah gak selaras lagi yang mesti dimurnikan biar jadi sefrekuensi. Dan rasanya gak enak. Naik level gak pernah enak. Bener-bener kurasakan ketidaknyamanan dan aku hadapi, karena mau gak mau, demi ketemu diri sejati.

Nah di awal tahun juga, Qintari sebagai ketua geng MBS juga udah ngasi sekelebat info kalau bulan Juni insyaAllah akan ada retreat di Tangkahan. Waktu itu aku pikir, ah insyaAllah aku bisa ikut karena aku April insyaAllah udah di Banda Aceh, dan masi besar kesempatan aku bisa nitipin anak sama keluarga. Udah kuniatin, apapun ceritanya, meski penghasilanku lagi Rp0, insyaAllah aku pasti ikut. Sampe waktunya, aku udah di Banda Aceh, pengumuman retreat keluar di akhir Juli untuk retreat awal Agustus. Nama kegiatannya Tadabbur Alam.

Aku sempat gamang melihat harga. Tapi gak lama aku bulatin tekad aku akan ikut. Aku atur strategi sedemikian rupa biar aku bisa pergi dengan tenang. Sejak momen aku putusin ikut, aku udah mulai merasa gak enak. Aku teringat pengalaman di Jogja, gimana anxiousnya aku ketemu orang-orang baru yang high vibe, gimana maboknya aku sampe muntah-muntah. Aku mulai khawatir, gimana nanti kalo aku mabok di tempat. Ini retreat bukan cuma duduk-duduk, cerita-cerita, santai-santai, ini fisiknya juga harus kuat. Namanya juga tadabbur alam. Aku pingiiin tracking di hutan (yang jadi salah satu agenda di Tangkahan) udah dari lama, dan aku udah lama juga menunggu untuk bisa ketemu teman-teman baru, ketemu Qintari yang aku anggap guru karena aku banyak belajar dari dia. Tapi di saat yang bersamaan aku mulai takut. Mulai detox terjadi, bahkan sebelum pergi. Aku sakit kepala, naik asam lambung, sampe demam. Aku khawatir, karena hari H makin dekat. Aku demam di H-2 berangkat. Tapi di momen itu aku mikir, semoga detoxnya selesai sebelum aku berangkat, sebelum aku retreat. Dan alhamdulillah, besokannya aku merasa jauh lebih baik, dan aku berangkat dengan keadaan cukup sehat meski masih sakit kepala.

Saat di Tangkahan pun, meski sakit kepala mulai berkurang, aku harus menghadapi lagi kegelapan dalam diriku. Diriku yang kuharapkan bisa selaras dengan teman-teman baru yang kutemui harus menghadapi sisi gelapnya. Rasa takut, gak percaya diri, kecil menciut, malu, dan gak pantas ada di sana muncul ke permukaan. Aku merasakan setiap orang yang kutemui di sana adalah sepotong-sepotong representasi bagian diriku yang sejati, tapi justru yang kurasakan di diriku adalah sebaliknya. Gak mudah dan pahit rasanya, tapi di saat yang bersamaan perasaan terbebaskan nyaris kayak terbang aku rasakan. It is complicated to describe, terlalu terbatas kata-kata yang menggambarkan. Bahkan sampai saat ini aku masih mencerna dan pemahaman baru masih terus kucerna hingga detik ini, setelah sebulan aku pulang dari Tangkahan yang cuma 3 hari. Tapi yang jelas aku pulang dari sana dalam keadaan 100% sehat. Alam semengejutkan itu untukku dalam memurnikan dan menyembuhkan, dan itu adalah pengalaman pertamaku merasakan penyembuhan sebegitunya.

Tapi satu hal yang bisa kupetik dari perjalanan Tangkahan, dan perjalanan sebelumnya dengan komunitas yang sama (meski orang-orangnya berbeda yang kutemui) di Jogja, adalah tentang keselarasan. Perpektifku jadi berkembang, ternyata:

  1. Bertemu dengan orang-orang yang selaras gak selalu menyenangkan.

Kenapa? Karena kadang kita gak tau ini selaras di bagian mana dulu? Apakah selaras dengan diri sejati, atau selaras dengan ego yang terluka dan shadow dalam diri? Kalau selaras dengan diri sejati dan itu adalah pertemuan pertamamu dengan mereka, maka harus bersiap ego, trauma, dan shadow mu akan termurnikan a.k.a naik ke permukaan untuk kamu liat dengan jelas. Bertemu dengan orang-orang bervibrasi tinggi gak akan langsung nyaman, karena kamu gak langsung bisa familiar dengan rasa dan pengalaman itu. Dan memang ketemu dengan orang-orang familiar dengan pola yang lama, suka menikmati cerita penderitaan, rasanya lebih enak. Tapi coba dengarkan lagi tubuhmu, apa iya emang menyenangkan? Bukannya diri sejatimu juga menjerit di dalam dan bilang “gak seharusnya kamu ngobrol tentang itu” dan juga tersiksa?

  1. Meski gak nyaman, hadapi rasa takut karena itu satu-satunya jalan untuk bertumbuh

Agar selaras dengan diri sejati, satu per satu sisi gelap dan luka dalam diri harus disadari, dihadapi, dimurnikan, dan dilampaui. Dan itu rasanya gak enak. Aku literally sampe muntah hanya dengan bertemu bahkan sebelum bertemu dengan teman-teman yang selaras dengan diri sejatiku. Terlepasnya “not-self” dari diri adalah keharusan dalam proses ini meski menyakitkan. Dari perjalananku, memurnikan diri di saat sedeng sendiri sama pentingnya dengan mempertemukan diri dengan orang-orang yang selaras dengan diri sejati, karena keduanya ternyata membuat detox di diriku.

  1. Seleksi alam akan terjadi, dan ini juga cukup menyakitkan

Yang selaras dengan diri sejati akan mulai saling menemukan, yang gak selaras akan saling meninggalkan. Ada yang dengan effort, ada yang tanpa effort. Cukup menyakitkan saat menyadari ternyata perlahan orang-orang yang kita harap selalu ada di perjalanan kita udah gak satu cerita, udah gak saling relate, realitanya makin berbeda. Tapi yaudah, meski pahit, kita ternyata tetap bisa menyayangi orang-orang yang gak selaras di realita 3D ini, karenya sejatinya, tanpa selubung 3D kita semua adalah satu, terutama dengan orang-orang yang kita sayangi, diri sejati kita gak pernah terpisah.

2 thoughts on “Selaras”

  1. hai mbak, salam kenal yaa, aku tau mbak dari grup wa komunitas webinarnya kak qin yang akhir desember kemarin. Glad to find your blog and read your story 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart