
Sebagai manusia yang sadar betapa pentingnya berjuang untuk diri sendiri, ada satu hal yang aku amati cukup konsisten ada di diriku dalam keadaan apapun, mudah atau sulit, senang atau susah, lega atau tertekan: konsisten memperjuangkan maunya apa. Aku bersyukur punya kualitas ini. Mau sedang dalam keadaan apapun, mau seluruh dunia menentang segimanapun, aku selalu keukeuh sama apa yang aku mau perjuangkan. Meskipun rasanya sakit dan berat di dada saat menghadapi kicauan orang sekeliling atau penolakan dari orang-orang yang mungkin terlibat dalam proses ini, aku selalu fokus jalan ke depan. Aku barusan ngerti makna Channel of Focus ku dalam Human Design, mungkin kualitas ini maksudnya.
Hidup selama tiga dekade, cukup banyak ups and downs yang aku lalui. Beberapa peak pernah terjadi, alhamdulillah gak sering-sering. Capek juga kalo sering-sering. Misalnya kayak waktu milih universitas, keluar dari tesis, konflik sama teman serumah, dan masa-masa pertama kali punya bayi. Kayaknya sepanjang hidup hal-hal ini yang banyak ngasi pelajaran. Gak banyak, tapi cukup nampol. Di tiap masa sulit itu hal yang paling berat untuk aku adalah menghadapi komentar dan pandangan orang terdekat yang terlibat dan kena dampak langsung atau gak langsung dari tindakan atau keputusanku. Berat, sangat berat. Rasa di dada campur aduk. Rasa marah karena merasa gak dimengerti, dilawan, dan terlalu dipertanyakan. Belum lagi rasa dianggap kekanak-kanakan karena rencana dan keputusanku dianggap gak masuk akal. Meski begitu, alhamdulillah gak pernah mempengaruhi keputusanku. Aku tetap fokus liat jalan yang lurus sesuai maksudku tanpa liat kiri kanan.
Hal yang paling menyiksa adalah sering otak, hati, dan badan belum sinkron. Hati tau ini jalan yang cocok untuk saat ini dan insyaAllah akan jadi langkah kecil sedikit demi sedikit menuju jalan yang selaras. Otak juga tau kalau komentar orang gak akan mempengaruhi keputusanku karena dia mengamati hati udah yakin. Tapi bagian tubuh yang lain masih merasa sesak, kontraksi, panas, dan sensasi-sensasi lainnya. Mungkin itu yang membuatku masih jadi manusia. Aku masih punya emosi yang bahkan jadi inner authority ku. Emosi ini datang dan pergi, kadang terasa gak nyaman dan attached sama bagian-bagian tubuhku. Aku terima apa adanya, kuijinkan dia hadir sampai dia siap pergi. Tapi gak kuijinkan dia jadi penggerak keputusanku. Biar hatiku yang menuntun saat dia siap pergi.
Saat ini aku sedang mengalami peak lain dalam transformasiku sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini. Aku sedang memperjuangkan kebebasanku. Meski udah dikasi kisi-kisi dari banyak referensi yang kubaca tentang transformasi, dan meski mungkin udah lebih siap karena udah ada gambaran, ternyata sama sekali gak mengurangi intensitas rasanya. Beberapa hal yang aku alami di fase ini yang membuat hati berat adalah:
- Kesulitan mengomunikasikan maksud
Saat aku mulai sadar ada yang perlu diubah dari fase hidup saat ini, aku mulai merancang cara mengomunikasikan maksudku ke orang-orang terdekat. Meski sejatinya aku gak perlu membuat orang mengerti maksud dan tujuan aku tapi cukup bilang aku ingin dan akan melakukan apa sebelum eksekusi, ternyata gak segampang itu. Karena cara pandangku gak sama lagi dengan sekelilingku. Dan saat menyadari ini, rasanya sangat sendirian dan kesepian. Merasa gak ada yang bisa ngerti padahal aku udah effort menjelaskan. Meski aku udah berusaha menjelaskan dengan bahasa rasa, orang-orang yang perlu aku ajak komunikasi masih sangat perlu benang merah logis. Mereka masih mempertanyakan apa rencanaku, padahal aku tau aku gak perlu tau semuanya sekarang. Ini sangat berat, tapi aku juga tau meskipun berat aku gak perlu memaksakan diri untuk mencari cara untuk menjelaskan semuanya secara logis versi orang lain. Untukku sekarang alasan paling logis adalah hati dan tubuhku tau ini benar maka ini benar.
- Dianggap kurang dewasa
Mungkin orang-orang gak gamblang bilang hal ini, tapi tanggapan semacam “serius? Coba dipikir lagi. Terus anakmu nanti gimana? Terus penghasilan nanti gimana?” dan sebagainya aku tangkap sebagai bahasa lain dari “kamu kurang dewasa dan gak mikir panjang.” Sebenarnya ini juga cukup menyakitkan. Aku masih gak ngerti (dan mengerti di saat bersamaan) kenapa orang-orang nganggap aku gak punya rencana hidup hanya dari satu kalimat yang aku lontarkan. Aku masih terganggu sama orang-orang yang merasa aku kurang persiapan padahal aku luar biasa kepo sama apa-apa yang bikin aku tertarik untuk diasah sebagai keterampilan diri dan mengambil keputusan. I have spent almost entire year to be a deep dive bitch dan lumayan invest banyak untuk self development. Lagi-lagi, meski otakku tau aku berharga dan sangat berkapasitas untuk mengambil keputusan besar dalam hidupku yang gak kayak kebanyakan orang, masih sesak rasanya menghadapi ciutan kanan-kiri yang merasa lebih tau padahal mereka sama sekali gak kepo sama yang aku pelajari cukup lama
- Berubah demi kebaikan diri dianggap egois
Meski dimana-mana orang-orang udah banyak yang menggaungkan self care is not selfish, pada kenyataannya sebagian besar orang belum bisa embody itu. Saat aku mengungkapkan maksudku, orang-orang langsung menghalangi dan otomatis bilang jangan. Padahal keputusanku sebenarnya gak ada hubungannya sama dia. Pun aku udah ngambil strategi untuk mulai proses di saat aku udah gak terlalu banyak terlibat. Aku gak ngerti (dan mengerti di saat bersamaan) kenapa orang-orang segitu resistennya sama perubahan bahkan yang gak ada sangkut pautnya sama dirinya. Tapi aku tau, saat mereka menahanku (atau kesannya kayak gitu) bukan karena aku yang gak boleh eksekusi, tapi ada bagian diri mereka yang gak terwakili dan terpenuhi kebutuhannya untuk bisa bebas atau sekedar terima bahwa hidup bisa loh lebih simple asalkan mau melepas banyak ketakutan dan kekhawatiran. Di mata mereka aku kekanak-kanakan karena I choose to think and live in a simpler way, dan ada bagian diri mereka yang kepingin merasakan itu tapi gak mau karena masih terikat sama paham bahwa kehidupan dewasa sulit dan berat. Lagi-lagi, otak dan hatiku paham, tapi tetap ada emosi yang hadir dan membuat rasa gak nyaman di badan.
- Merasa sendirian
Dr. Nicole Le Perra pernah nulis di Twitternya bahwa orang-orang jarang ngasitau kalau proses healing itu membuat kita merasa sangat kesepian, apalagi kalau kita udah mulai sadar betapa banyak hal-hal yang salah di society kita yang sebagian besar masih hidup dalam 3D conciousnes hampir di segala aspek kehidupannya. Orientasi masih uang dalam apapun keputusan yang dia ambil, apapun itu. Pekerjaan dilakukan karena butuh uang untuk sandang, pangan, papan, pendidikan, dan pensiun. Soal suka/gak suka sama pekerjaannya belakangan, gak penting. Bekerja mindlessly, gak peduli, yang penting beres dan “profesional”, biar uang mengalir lancar. Sebenarnya 3D conciousness tetap kita perlukan untuk bisa merasa berkah ruang dan waktu saat ini, detik ini. Tapi kalau semua aspek kayak gitu, jadinya gak bisa hidup dengan lega. Aku gak mau nunggu nanti hidup lega, aku mau sekarang. Aku tau pasti yang namanya hidup ada masa beratnya, tapu aku juga tau apapun proses yang dijalani, sedang berat ataupun ringan, lega di hati gak bisa dibohongi, dan selalu jadi kompas. Hal ini yang selalu bikin aku tercekat. Tercekat karena masih ada bagian diri aku yang bilang “gak perlu ceritain ini sama orang ini karena dia gak bakal ngerti, paham dia belom sampe sana” dan berakhir cengengesan. Satu sisi aku kepingin blak-blakan dan pede aja sama alasanku, tapi di sisi lain aku males boros energi, karena tiap menjelaskan belum ada yang bisa mengerti utuh, dan berujung aku merasa sendirian lagi.
- Khawatir soal waktu
Meski hati dan otak tau kalau waktu gak bisa dikontrol, masih ada bagian diri yang khawatir “gimana nanti kalo semua berakhir gak ada apa-apa? Gimana kalo aku gak bisa konsisten? Gimana kalau sumber daya habis sebelum aku bisa menghasilkan?” sesekali, dan yang ini lumayan jarang mampir di kepala. Tapi sekalinya datang lumayan mengganggu. Tapi aku tetap yakin, semua datang di waktu yang tepat. Bukan tugasku ngasi-ngasi limit waktu. Tugasku cuma upgrade ilmu terus di hal apapun yang aku rasa perlu dan sukai. Tugasku juga untuk belajar disiplin diri dan gak nyerah memperjuangkan apa yang ada depan mata.
Proses transformasi aka hijrah gak pernah nyaman. Apalagi di momen siap “lompat” nya, paling berat. Tapi hati selalu tau itu hal yang benar dan perlu dilewati. Sekarang aku gak mau lagi melihat cobaan sebagai sesuatu yang ditangisi dengan rasa lemah, tapi ditangisi cukup karena perasaan intens dalam hati lalu sadar ada sesuatu yang perlu dipelajari dan diubah dari hidup. Cobaan ada bukan sekedar untuk dilalui gitu aja, tapi harus lulus biar gak ngulang cobaan yang sama aka remedial. Transformasi meski dijalani oleh diri juga menimbulkan ketidaknyamanan di sekeliling, bahkan orang-orang yang gak ada hubungannya dengan proses ini. Meski berat udah bisa diekspektasi, jangan biarkan pandangan orang lain mempengaruhi keputusan diri, karena orang lain bukan berbicara tentang kamu tapi tentang dirinya sendiri.